Dari kejadian '98 itulah saya mulai paham, ternyata ada sekelompok bayangan yang hidupnya dengan menerima order bikin rusuh. Mencari keuntungan diatas derita orang.
Negeri ini berdiri dari perjuangan rakyat dengan lintas etnis dan lintas agama. Sudah menjadi kesepakatan para pendiri negara untuk mengedepankan kepentingan bangsa agar pondasi kerukunan tidak runtuh. Perbedaan apapun adalah pasti, tapi jangan dijadikan kunci untuk membuka konflik tapi gunakanlah untuk mengunci konflik.
Dalam diri saya dengan lingkar kehidupan, pertemanan, bersosialisasi merupakan ujud kita sebagai homo socius humanus. Jadi wajar saja lintasan-lintasan itu bertemu karena kepentingan.
Di sekolah, berorganisasi menjadi cara kita memupuk rasa senasib sebangsa dalam koridor Bhinneka Tunggal Ika.
Teman saya beragam etnis dan agama, Batak, China, Jawa, Arab, Madura, Sunda, Kristen, Katholik, Budha sebuah anugerah buat saya agar mengenal semakin erat.
Dari masa prasekolah hingga jenjang bekerja putaran itu menghadirkan saling memahami. Baik buruk jangan digebyah uyah. Tindakan oknum tidak boleh menyulut kebencian untuk menyamaratakan.
Manakala menjejakkan kaki di ibukota dan menimba ilmu disebuah institusi pendidikan kembali mempertemukan saya dengan kebhinekaan. Tak ada masalah, wong Tuhan menciptakan perbedaan agar kami saling mengenal dan mengerti. Saling bantu, sharing, bahkan saya pernah tidur, makan dirumah mereka.
Jadi apa yang salah? Yang salah adalah ada beberapa kelompok begajul kecil ingin kota kita rusuh negara runtuh. Dan itu harus dilawan. Sebab, bibitnya betebaran menetas di media sosial. Kalau dibiarkan musim semi arab bisa saja memercik negeri ini. Apakah kita rela negara yang sudah dibangun dan terus membangun diacak-acak segelintir manusia durjana? Tidak!![Selesai]
Daftar Pustaka:
- Intisari online
- Wikipedia.org
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H