Kabar itu disebarkan via WA hingga penduduk desa mendatangi tempat kejadian. Penjelasan yang ingin mereka ungkapkan tidak digubris. Mulailah lemparan batu hingga pemukulan melanda. Salah satu dari pemuda masih bersusah payah meklarifikasi kebenaran, tapi gagal. Melihat situasi genting mobil mereka nyalakan dan melaju untuk menghindari amukan massa.
Di desa Murki massa menghadang dengan blokade kayu gelondongan- karena sudah dikontak salah satu penduduk Handikera. Mohammad Azzam dan rombongannya memacu mobilnya dengan kecepatan tinggi hingga terbalik.
Dalam kondisi inilah mereka diseret dipukuli. Beruntung polisi datang dan dua dari mereka disembunyikan di bagasi mobil. Sayangnya, Mohammad Azzam sudah dikalungi tali dilehernya.
Software engineer di Google itu jadi bulan-bulanan. Digebuki dengan arit, pisau, tongkat. Polisi dengan lima kendaraan berupaya menyelamatkan malah jadi sasaran amuk. Delapan aparat terluka. Didesa inilah nyawa Mohammad Azzam melayang. Tragis.
Apakah kita tidak mau memetik pelajaran dari kasus diatas?. Padahal sudah 20 orang lebih tewas jadi tumbal kabar burung sejak April 2018 lalu. Bahkan ada yang digantung! Iiiiihh....
Dulu masa kecil saya merasakan kesan damai dalam berkehidupan. Diakui, rezim orde baru berhasil mencuci otak rakyat Indonesia agar selalu waspada dan membenci etnis China. Dibenak kami-anak-anak kecil dan lugu-orang China atau sipit identik dengan PKI. Itu terus dipupuk oleh rezim. Padahal penguasa dijaman itu selalu kerjasama dan mengambil untung dari mereka. Sebuah kontradiktif.
Saya kecil hidup di sebuah kampung dengan memiliki tetangga orang China. Dan kami sekeluarga biasa saja. Saling sapa, bermain, tak ada silang sengkarut.
Entah kenapa setelah reformasi, isu SARA terlihat kian masif. Dan hoaks mendapat panggung. Korban berjatuhan, baik nyawa atau materi.
Ketika reformasi 98 meledak. Saya menjadi saksi dari sekian ribu saksi, bagaimana kotaku ingin dihancurkan oleh sekelompok bajingan busuk. Dan mereka bermain dengan metodenya. Jualan SARA! Akibat phobia merayap, toko-toko ditulisi Pribumi agar tidak dijarah dan dibakar.
Mereka itu berkelompok kecil sekitar 6 sampai 8 orang memprovokasi massa agar mengikuti tindakan mereka. Jika berhasil, mereka pergi dan mengincar toko lain. Jadi mereka berpindah-pindah.
Saya berani berpendapat setelah mengamati gerak-gerik mereka mau bakar toko roti, beruntung satu warga kami marah dan memaki mereka, sehingga upaya pembakaran gagal. Andai berhasil, kebakaran juga akan menghanguskan rumah-rumah orang jawa serta sebuah sekolah Dasar Negeri di belakang toko tersebut.