Perjalanan ini adalah rangkaian dari jelajah di kawasan geopark Gunung Sewu. Setelah tertunda masuk ke Museum Karst Indonesia di Pracimantoro, saya melanjutkan ke arah Gunungkidul menuju Cagar Alam Geologi Gunung Batur.Â
Lepas dari perempatan lampu merah di pusat keramaian salah satu kecamatan di Wonogiri, arah angin selatan menjadi tujuan selanjutnya. Banyak perubahan yang terlihat, diantaranya infrastruktur jalan. Para pelintas dimanjakan oleh mulusnya ruas hotmik.Â
Di wilayah inilah jalur Lintas Selatan Jawa memanjang dari Banyuwangi hingga ujung barat pulau jawa. Belum tuntas seluruhnya, karena masih dilakukan pembangunan. Beberapa ruasnya sudah dapat kalian nikmati walau di titik tertentu kembali diarahkan ke jalur lama.
Melewati padukuhan Wuni dengan liukan khas pegunungan karst aku ambil. Dukuh dengan kukungan bukit-bukit memaksa saya melahap sensasi kelokannya. Tapi hati-hatilah, karena kita melewati padukuhan dengan menemui aktifitas warga.
Di puskesmas Girisubo saya memutuskan bertanya pada perempuan baya yang kebetulan lewat. Dari dia saya disuruh balik arah barat. Karena Djepitoe masih berjarak tiga kilometeran.Â
Gunung Batur ternyata masuk kawasan wisata pantai Wediombo. Itu saya ketahui setelah Google maps mengarahkan. Dalam penjelajahan ini, saya mengandalkan felling, papan petunjuk, bertanya dan aplikasi Google maps (walaupun tidak harus tergantung banget). Jalan arah selatan membawa maticku melayang tenang. Angin kering bagaimanapun sentakannya lumayan memberi kipasan agar badanku tidak terlalu panas.
Sebuah gerbang memaksa mesin motor saya matikan. Petugas loket menjulurkan tiket dan saya menjulur uang kertas Rp.5 ribu. Setelah mengucapkan terimakasih gasspol menyala. Disebuah spot dengan papan petunjuk mengarahkan motorku untuk belok kanan.Â
Siap! Memasuki kawasan pertanian kering. Nikmati suasana desa di pegunungan seribu. Kondisi jalan masih mencirikan pegunungan karst. Menerjang batu, tanah kering yang membumbungkan debu di wajah. Akhirnya sampai juga di tujuan.
"Piyambakan, mas?" (sendirian, mas?)
"Inggih, pak. Leres niki wisatanipun?"Â (Iya, pak. Betul ini wisatanya?)
Petani itu mengiyakan dan menunjukkan kalau gunung Batur puncaknya hanya beberapa meter saja. Tidak tinggi. Â
Saya siap menaiki Gunung Batur (sebenarnya lebih tepat disebut bukit). Batu-batu menjadi pijakan. Melewati pematang dengan ladang penduduk di kiri kanan. Hamparkan lah  sapaan khas masyarakat jawa, "Monggo pak, monggo bu"
"O inggih mas. Saking pundi?"(inilah pertanyaan paten, menanyakan dari mana asal. Memang begitulah keramahan penduduk pedesaan. Jawablah dengan elegan dan hormat)
Saya terengah-engah. Antara panas menyengat dan tanjakan ekstrem memaksa tubuh diistirahatkan, langkah kaki dihentikan. Itu saya lakukan beberapa kali. Tergolek di bebatuan hitam, inikah hasil letusan jutaan tahun yang lalu? Warna hitam tergambar pada bebatuan.
Akhirnya puncak tercapai. Dari petunjuk seorang petani, puncak itu ditandai oleh rambu suar yang didirikan oleh Kementerian Perhubungan-Dirjen Perhubungan Laut Distrik Navigasi Kelas III Cilacap.
Laut membentang nan luas. Pemandangan itulah yang bisa kalian dapatkan dari puncak Gunung Batur. Kawasan pantai Wediombo tampak dari kejauhan. Buih serta ombak mempersembahkan tamparan ke pasir dan karang terjal. Andai saya datang sore, mungkin akan betah berlama-lama diatas. Berhubung panas sedemikan kejam, saya menyudahi dengan segera.
Menuruni gunung dengan langkah gontai. Mencari dimana jalur yang benar untuk saya pijak. Berhati-hatilah agar tidak terpeleset.
Beberapa singkong dijemur untuk dijadikan gaplek. Makanan pokok ini bagi rakyat pegunungan seribu menjadi ikon penyelamat disaat kemarau panjang melanda serta hantaman kelaparan. Dari cerita orangtua dulu, gaplek adalah bahan makanan anti gaya. Orang sering mempersepsikan kalau gaplek identik dengan kemiskinan.Â
Tidak salah, tapi perlu digarisbawahi, banyak kisah menuturkan kalau gaplek penyelamat kaum pejuang. Bagaimana bisa? Dalam perang kemerdekaan di tahun 1948, pasukan Jendral Sudirman dikepung Belanda disebuah hutan dikawasan pinggiran kota Kediri.Â
Lima hari diblokade membuat logistik habis terkuras. Kondisi ini mempengaruhi kesehatan sang Jendral. Salah satu ajudan beliau, Supardjo Roestam kasihan melihat kondisi panglimanya akhirnya nekat menembus blokade Belanda untuk mencari bahan pengganjal perut.Â
Timbul pertanyaan, barang apa yang bisa dijual? Sedangkan pasukan tidak mempunyai barang berharga. Akhirnya didapatkan sarung serta baju dengan kondisi kumal milik satu diantara mereka. Dengan bekal itu, Supardjo Roestam berupaya lolos dari blokade dan berhasil menukar dua barang kumal tersebut dengan beberapa bungkus gaplek.
Di badan gunung saya melihat seorang petani tua menata kulit singkong dijemur diatas batu. Sebuah pertanyaan  mengapung, buat apa ya?
Usai mendekam di Gunung Batur, arah kemudi aku lesakkan ke pantai Wediombo. Sebenarnya saya pernah tiga kali kesini, bisikan menyuruh saya untuk mengulangi. Disuguhi manisnya jalan membawa kenyamanan tersendiri.Â
Di pinggir jalan mau dekat kawasan pantai Wediombo, terlihat seorang petani berjalan memegang sabit dan salah satu sepatu karet. Sepertinya mengalami lecet. Aku memacu motor berkubang hembus kesejukan.
Menjumpai jalan nyawang (mirip ketapel), satu kearah pantai Sedahan, satunya ke Pantai Wediombo. Ada kebimbangan menyergap. Lanjut nggak ke tujuan? Suara adzan Ashar beberapa menit lalu menyuruhku agar menyudahi saja jelajah hari ini. Aku putuskan kembali pulang. Sekalian menghampiri petani yang jalan tadi.
"Kulo goncengke, pak?"
"Inggih, mas"
Bapak petani langsung meloncat di belakang. Melajulah bersamanya. Dari perbincangan selama perjalanan, saya mengetahui kenapa binatang piaraan (sapi) mereka diletakkan di alas atau perbukitan. Ternyata, menurut keterangan si bapak agar tidak menganggu tetangga. Konsekuensi dari beternak adalah bau kotoran serta kondisi sekitar kandang.Â
Agar tidak menimbulkan polemik dengan tetangga, warga pedesaan membangun kandang di alas (hutan) yang jauh dari pemukiman penduduk. Keuntungan lain, kotoran serta air kencing bisa diolah sebagai pupuk kemudian digunakan buat merawat tanaman produksi mereka.
Makanya, jarak antara rumah dengan kandang ternak bisa berkilo-kilo. Seperti si bapak, rumahnya di pertigaan jalan menuju pantai Wediombo, sedang kandang sapinya didekat alas pantai Wediombo. Kalau perkiraan saya jauhnya hanya 3 kilometer dengan jalan naik turun. Si bapak tadi sebenarnya punya motor, tapi berhubung trouble beliau terpaksa hari itu jalan kaki. Wow....
Selesai mengantarkan si bapak sampai depan rumah, kembali aku lanjut untuk pulang.[Selesai]
*Daftar pustaka:Â Tribunnews.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H