Saya siap menaiki Gunung Batur (sebenarnya lebih tepat disebut bukit). Batu-batu menjadi pijakan. Melewati pematang dengan ladang penduduk di kiri kanan. Hamparkan lah  sapaan khas masyarakat jawa, "Monggo pak, monggo bu"
"O inggih mas. Saking pundi?"(inilah pertanyaan paten, menanyakan dari mana asal. Memang begitulah keramahan penduduk pedesaan. Jawablah dengan elegan dan hormat)
Saya terengah-engah. Antara panas menyengat dan tanjakan ekstrem memaksa tubuh diistirahatkan, langkah kaki dihentikan. Itu saya lakukan beberapa kali. Tergolek di bebatuan hitam, inikah hasil letusan jutaan tahun yang lalu? Warna hitam tergambar pada bebatuan.
Akhirnya puncak tercapai. Dari petunjuk seorang petani, puncak itu ditandai oleh rambu suar yang didirikan oleh Kementerian Perhubungan-Dirjen Perhubungan Laut Distrik Navigasi Kelas III Cilacap.
Laut membentang nan luas. Pemandangan itulah yang bisa kalian dapatkan dari puncak Gunung Batur. Kawasan pantai Wediombo tampak dari kejauhan. Buih serta ombak mempersembahkan tamparan ke pasir dan karang terjal. Andai saya datang sore, mungkin akan betah berlama-lama diatas. Berhubung panas sedemikan kejam, saya menyudahi dengan segera.
Menuruni gunung dengan langkah gontai. Mencari dimana jalur yang benar untuk saya pijak. Berhati-hatilah agar tidak terpeleset.
Beberapa singkong dijemur untuk dijadikan gaplek. Makanan pokok ini bagi rakyat pegunungan seribu menjadi ikon penyelamat disaat kemarau panjang melanda serta hantaman kelaparan. Dari cerita orangtua dulu, gaplek adalah bahan makanan anti gaya. Orang sering mempersepsikan kalau gaplek identik dengan kemiskinan.Â
Tidak salah, tapi perlu digarisbawahi, banyak kisah menuturkan kalau gaplek penyelamat kaum pejuang. Bagaimana bisa? Dalam perang kemerdekaan di tahun 1948, pasukan Jendral Sudirman dikepung Belanda disebuah hutan dikawasan pinggiran kota Kediri.Â
Lima hari diblokade membuat logistik habis terkuras. Kondisi ini mempengaruhi kesehatan sang Jendral. Salah satu ajudan beliau, Supardjo Roestam kasihan melihat kondisi panglimanya akhirnya nekat menembus blokade Belanda untuk mencari bahan pengganjal perut.Â
Timbul pertanyaan, barang apa yang bisa dijual? Sedangkan pasukan tidak mempunyai barang berharga. Akhirnya didapatkan sarung serta baju dengan kondisi kumal milik satu diantara mereka. Dengan bekal itu, Supardjo Roestam berupaya lolos dari blokade dan berhasil menukar dua barang kumal tersebut dengan beberapa bungkus gaplek.