Di badan gunung saya melihat seorang petani tua menata kulit singkong dijemur diatas batu. Sebuah pertanyaan  mengapung, buat apa ya?
Usai mendekam di Gunung Batur, arah kemudi aku lesakkan ke pantai Wediombo. Sebenarnya saya pernah tiga kali kesini, bisikan menyuruh saya untuk mengulangi. Disuguhi manisnya jalan membawa kenyamanan tersendiri.Â
Di pinggir jalan mau dekat kawasan pantai Wediombo, terlihat seorang petani berjalan memegang sabit dan salah satu sepatu karet. Sepertinya mengalami lecet. Aku memacu motor berkubang hembus kesejukan.
Menjumpai jalan nyawang (mirip ketapel), satu kearah pantai Sedahan, satunya ke Pantai Wediombo. Ada kebimbangan menyergap. Lanjut nggak ke tujuan? Suara adzan Ashar beberapa menit lalu menyuruhku agar menyudahi saja jelajah hari ini. Aku putuskan kembali pulang. Sekalian menghampiri petani yang jalan tadi.
"Kulo goncengke, pak?"
"Inggih, mas"
Bapak petani langsung meloncat di belakang. Melajulah bersamanya. Dari perbincangan selama perjalanan, saya mengetahui kenapa binatang piaraan (sapi) mereka diletakkan di alas atau perbukitan. Ternyata, menurut keterangan si bapak agar tidak menganggu tetangga. Konsekuensi dari beternak adalah bau kotoran serta kondisi sekitar kandang.Â
Agar tidak menimbulkan polemik dengan tetangga, warga pedesaan membangun kandang di alas (hutan) yang jauh dari pemukiman penduduk. Keuntungan lain, kotoran serta air kencing bisa diolah sebagai pupuk kemudian digunakan buat merawat tanaman produksi mereka.
Makanya, jarak antara rumah dengan kandang ternak bisa berkilo-kilo. Seperti si bapak, rumahnya di pertigaan jalan menuju pantai Wediombo, sedang kandang sapinya didekat alas pantai Wediombo. Kalau perkiraan saya jauhnya hanya 3 kilometer dengan jalan naik turun. Si bapak tadi sebenarnya punya motor, tapi berhubung trouble beliau terpaksa hari itu jalan kaki. Wow....
Selesai mengantarkan si bapak sampai depan rumah, kembali aku lanjut untuk pulang.[Selesai]