Rencana mengunjungi museum Karst Indonesia akhirnya tergapai. Pagi menjelang siang saya telah berdiri tegak di pintu gerbang obyek wisata. Deretan kata 'Museum Karst Wonogiri' terpampang membentuk setengah lingkaran di area publik. Beberapa ornamen berwarna tembaga menjadi elemen mempercantik tempat itu. Tapi, apakah benar-benar cantik? Simpan kesimpulannya, biarkan saya melanjutkan penjelajahan. Dari gerbang besar melesat lurus kira-kira 100 an meter ada pos loket kecil. Kondisinya sepi. Dari belakang motor dan mobil masuk tanpa beli tiket. Sayapun ikut-ikutan. Kok nggak bayar, om? Jawabannya nanti ya.Â
Menelusuri sudut-sudutnya mendapatkan fakta, bangunan ini kalah oleh ganasnya cuaca. Beberapa tegel geripil bahkan ketika terinjak ada yang berbunyi seperti mau lepas, catnya memudar dibeberapa sudut. Itu ternyata dialami juga oleh bangunan lain yang menjadi daya dukung museum. Persis diseberang museum ada bukit yang dijadikan penginapan. Beberapa bangunannya terlihat tidak terawat. Sampah berserakan dibuang seenaknya. Toiletnya bikin kalian geleng-geleng kepala.Â
Kertas, plastik, tisu bahkan beberapa botol bekas minuman keras tergeletak teronggok. Ketika kaki menginjak kedalam dan mencoba putar keran, tidak ada gemericik air. Mati. Lubang toilet berwarna coklat, pertanda bekas air kencing yang mungkin sudah berhari-hari atau berbulan-bulan mengambang tanpa gangguan. Saya pastikan, kalian akan cepat-cepat pergi meninggalkan toilet ini. Awalnya mungkin, penginapan ini diharapkan menjadi tempat yang asik ketika bermalam. Tapi harapan tinggallah harapan. Faktanya, begitulah.
"Mungkin karena lupa saja untuk membersihkan, om"
"Lupa? Sebuah alasan untuk bela diri?"
Sampai disana terlihat sebuah sepeda motor sudah terparkir. Segera saja saya memasuki mulut goa. Tapi harus saya urungkan. Karena ada dua remaja sedang berciuman di mulut goa. Waduh, ini sudah tidak bener. Destinasi ini  terkontaminasi oleh beberapa oknum remaja yang bertindak diluar batas. Wisatawan jadi terganggu, jengah oleh kelakuan mereka.
Saya gagal masuk ke goa, hanya ambil gambar disekitarannya. Sampah masih tetap betebaran. Sangat disayangkan kelakuan oknum pengunjung. Kalau tidak bungkus rokok, botol air kemasan, bahkan kemasan alat kontrasepsi merek 'Sutera' menjadi bagian penyumbangnya. Ampuun...begitu miris.
Suasana sepi ditengah perbukitan jati. Saya melongok. Dua gazebo berdiri diseberang embung. Didirikan untuk istirahat bagi pengunjung. Tapi, apakah ada yang mau beristirahat disini, sedang tak jauh darinya gundukan sampah yang dibakar serta menimbulkan bau menyengat menjadi hal buruk bagi kawasan itu. Sampah memang menjadi masalah bagi kehidupan manusia. Tapi bukankah manusianya yang bikin masalah? Mau enaknya sendiri.
Kembali menuju museum Karst. Ada sebuah tulisan, 'Pintu Masuk Museum Lewat Pintu Belakang". Kenapa harus lewat pintu belakang?
Sebuah pita sejenis garis polisi terikat memanjang didepan pintu depan museum. Sekelompok gelombang kecil pengunjung mengalami nasib seperti saya diawal datang. Celingak-celinguk, mana pintu belakangnya?
Karena saya sudah dapat info dari salah satu petugas yang juga penduduk disekitaran museum, maka ketika satu dari mereka bertanya, inilah infonya:
Jam buka museum karst pukul 08.30 s/d 15.30 wib. Bisa dikunjungi dari Senin sampai sabtu. Dengan catatan, hari Jum'at serta tanggal  merah tutup alias libur. Jadi hari ini, 22 Agustus 2018 bertepatan dengan hari raya Idul Adha dipastikan saya dan beberapa rombongan kecil itu terima nasib, gagal masuk museum. Mohon dimengerti. Yah, apes deh.
Kalau sudah begini, apakah kita akan melakukan pembiaran terus menerus? Harusnya pihak pengelola menertibkan hal-hal yang mengganggu kenyamanan wisatawan. Jangan sampai cap buruk menempel ketat. Marilah kita rawat dan jaga destinasi wisata sebagai bagian dari kepribadian bangsa.[selesai]
*Catatan kaki:
~Yang betul Kars atau Karst? (pakai huruf 'T' atau tidak? Karena tulisan digerbang masuk berbeda dengan di bangunan museum.
~Yang tepat Museum Karst Wonogiri atau Museum Kars Indonesia?
"boleh saya jawab, om?"
"Silahkan, nak"
"Itu tidak perlu dipermasalahkan, om. Pakai huruf 'T' atau tidak, Wonogiri atau Indonesia sama saja"
"Ooo...begitu ya?. Makasih" (sebenarnya jawabanmu ora nggembris-tidak bermutu)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H