Apakah kalian tahu pemegang rekor Museum Tertua di Indonesia? Yap! benar, Museum Radya Pustaka. Rekor tersebut sampai sekarang belum pernah terpatahkan, dan saya rasa tidak akan pernah (hal yang mustahal-hil yang mustahil). Â Usianya sekarang 128 tahun! Â Destinasi ini pernah menjadi kebanggaan kota Solo.Â
Bahkan ikon terpuncak ketika masa awal pembukaan, hingga tahun tahun setelahnya (hanya redup ketika jepang menginvasi republik ini serta masa class I dan Class II).
Ketika seragam putih merah masih kami kenakan, tiap sekolah dipastikan punya agenda mengunjungi museum Radya Pustaka. Seperti sebuah virus atau kewajiban, kalau tidak berkunjung akan di "kutuk", paling minim dicibir. Oleh karena itu setiap sekolah akan menggiring muridnya mirip barisan bebek menuju sawah. Dibagi beberapa kloter bersenjata buku tulis dengan menggenggam pensil untuk mencatat apa yang di dalam sana, sebagai bagian dari tugas sekolah.
Sehabis mengantarkan adik, stang motor aku arahkan ke kawasan Sriwedari. Dalam perjalanan, benak saya diganggu beberapa pertanyaan, apakah item yang dipajang masih seperti dulu? Ini sebenarnya pertanyaan bodoh. Sebab, saya tahu kasus yang menggegerkan publik Solo bahkan tanah air tentang pemalsuan artefak serta pencurian di Radya Pustaka menjadi awal raibnya beberapa koleksinya.
Sekitar tahun 2007 sorotan masyarakat tertuju pada kepala museum Radya Pustaka KRH Darmodipuro alias mbah Hadi bersama dua pegawainya yang dijadikan terdakwa dalam kasus kriminal di tempatnya bekerja. Aparat mencokok mereka. Sebuah kenyataan pahit. Bahkan adik Prabowo Subianto (Hashim Djojohadikusuma) sempat diperiksa polisi karena arca yang dicuri ditemukan di kediaman beliau.
Kasus tersebut kian menyengat, karena saksi ahli dari Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3), Lambang Babar Purnomo diketemukan tewas mengenaskan di tepi jalan. Padahal tinggal 10 hari sidang akan digelar. Publik menilai kematiannya tidak wajar.
Motor aku parkirkan di bekas bangunan yang terbengkalai. Tukang parkirnya seorang tua yang duduk terkantuk-kantuk menunggu jejeran roda dua yang nanti akan berubah jadi lembaran 2 ribuan per unitnya.
Mas satpam mengarahkan aku untuk menulis di buku tamu.
Sebelum beranjak, mas satpam memberikan penjelasan,"Pak, nanti kalau mengambil gambar jangan pakai blitz. Baik dari HP atau kamera. Serta jangan sekalipun menyentuh koleksinya".
Yang pernah aku alami, biasanya, anjuran itu untuk pertunjukan theater atau event khusus. Tapi ikuti saja. Sebagai tamu harus tunduk pada peraturan.
"Baik, mas"
Saya seperti memasuki tanah asing. Padahal saya ingat banget, puluhan tahun silam kaki saya pernah menginjak lantai museum.
Untuk diketahui, sebelum dijadikan Museum dulunya destinasi ini rumah seorang warga Belanda, Johannes Busselaar, yang dibeli oleh Pakubuwono X. Sebutannya Lodji Kadipolo.
1. Teras: di sini pandangan saya dimeriahkan oleh arca batu Durga Mahisasuramardini (diyakini berasal dari abad 7-10 Masehi, ditemukan di Prambanan Klaten), arca Ganesha, meriam beroda, meriam tanpa roda (mirip meriam Si jagur), (mirip) lumpang batu (terletak dipojok-saya yakin pengunjung akan menafikannya).Â
Beberapanya sepasang dan diletakkan di kiri kanan. Mengamati secara dekat merupakan kesukaan saya. Guratan tatahan menyisakan jejak berabad-abad lampau.
2. Ruang tamu: meja marmer dan kursi (ada yang jebol alasnya) berjumlah empat menempati kiri dan kanan. Sebuah layar led menyajikan cerita andilnya bangsa Eropa dalam putaran sejarah bangsa ini. Beragam topeng berjejer, topi kebesaran militer kraton, tali kepangkatan kraton, sabuk/ikat pinggang, kuluk songkok bupati, kuluk penghulu, Â blangkon cateman, blangkon pengantin, blangkon pletrekan, blangkon yogyakarta, kuluk kanigoro, kuluk kanigoro pangeran, sabuk boro, samir.
Ketika akan mengambil gambar saya benahi dulu fitur kamera HP. Blitz diposisikan off. Â
Di kanan kiri lorong ada ruangan yang saya sebut saja ruangan SAYAP KIRI SATU. Kemungkinan dulunya adalah kamar tidur si empunya rumah. Beberapa jenis piring kuno, guci kuno, gelas kristal berbagai model, menjadi bagian dari ruangan ini.
Sedangkan di ruangan SAYAP KANAN SATU, berbagai keris kuno, tombak, pedang leres, pedang luwuk, tersusun rapi untuk dinikmati.
~ Para peneliti wajib membawa surat ijin penelitian dari instansi masing-masing.
~ Bagi penelitian untuk skripsi, tesis, desertasi membawa surat dan proposal pengajuan penelitian.
~ Para peneliti wajib mengisi formulir pengajuan  penelitian yang disediakan petugas.
~ Tidak diperkenankan mengambil gambar/memotret naskah dengan alat kamera maupun kamera handphone.
~ Ketika membaca naskah kuno diharuskan  menggunakan sarung tangan yang disediakan petugas.
~ Tidak diperkenankan membawa makanan didalam ruang naskah.
~ Menjaga ketertiban dan ketenangan selama didalam ruang naskah.
~ Menjaga kebersihan dengan cara melepaskan sepatu/sandal ketika masuk ruang naskah.
~ Jika peraturan dilanggar/tidak dipatuhi, dengan terpaksa akan kami, "TENGGELAMKAN!! (point terakhir saya pribadi yang buat...he...he...he...nggak usah serius...)
Barang barang dari logam: cangkir, piring, wadah buah, centong, darpana, wadah sesaji, potongan rambut Budha, potongan tangan, lonceng gajah, Prabha, stupika, juga beberapa prasasti yang terdiri dari;
* Prasasti Mantyasih I: Ditemukan di wilayah Kedu, Jawa Tengah. Â
Isinya: Pada tanggal 11 paro gelap bulan Caitra tahun 829 Saka (11 April 907 Masehi)
Sri Maharaja Rakai Watukura Dyah Balitung Sri Dharmodaya Mahasambhu meresmikan beberapa daerah menjadi Sima (tanah perdikan). Daerah itu ialah Mantyasih termasuk hutannya di Munduan dan Kayupanjang, tanah perumahan di Kuning Kagunturan termasuk sawahnya di Wunut  dan hutan  Susundara dan Sumwing.
Bagian penutup berisi permintaan tolong pada dewa dan arwah para raja yang telah meninggal agar turut membantu melindungi isi prasasti.
* Prasasti Kasugihan: Kedua sisinya ditulis dengan aksara dan bahasa Jawa kuno. Bentuk huruf pada jaman Erlangga. Sisi depan prasasti berjumlah 7 baris dan sisi belakang berjumlah 8 baris.
Isinya: pada tanggal 10 paro terang bulan Margasira tahun 829 Saka (18 November 907 Masehi), Rakryan Kalangbungkal dyah Manuku menganugerahkan desa Kasugihan kepada Wahuta Tunggu Durung. Pemahat prasasti adalah Wapaguhan.
* Prasasti Wurutunggal (Kurunan): Prasasti ini ditulis dalam aksara dan bahasa Jawa kuno pada satu sisi dengan 13 baris tulisan. Ditemukan di dukuh Plembon, desa Randusari, kecamatan Prambanan, kabupaten Klaten Jawa tengah.
Isinya mengenai akta jual beli sebidang tanah. Disebutkan bahwa pada tanggal 10 paro terang bulan Jyesta tahun 807 Saka ( 29 April 885 Masehi) Dang Acaryya Munindra membeli sawah di Kurungan dari para pejabat desa Parhyangan wilayah Wurutunggal seharga 1 kati untuk di jadikan Sima guna membiayai bangunan suci. Penulisnya ialah Sang Jyo.
* Prasasti Banjaran II: Prasasti ini dibuat pada 974 Saka (1058 Masehi). Sebenarnya, prasasti ini merupakan salinan dari masa Majapahit dibuat pada 1336 Masehi. Ditemukan di desa Banjarum, kabupaten Tuban Jawa Timur. Â
Isinya menceritakan mengenai desa Banjaran sebagai sima (daerah merdeka bebas pajak untuk kerajaan), anugerah raja kepada Samya Haji di Banjaran yang telah membantu memulihkan kembali kekuasaan raja.
(semua dipahat pada lempengan tembaga)
Dibuat oleh putra mahkota Pakubuwono IV yaitu Raden Mas Sugandhi/KGPAA Mangkunagoro III, dari kayu jati dari hutan Donoloyo, Â Wonogiri. Namanya diambil dari tokoh wayang purwa, Raden Rajamala. Duplikatnya disimpan di museum Karaton Solo) dan benda sejarah lainnya.
Sebuah layar led melengkapi pengembaraan kalian, akan mengisahkan peran sungai Bengawan Solo semasa raja  Surakarta menggunakan jalurnya untuk pelayaran menuju ujung timur.
Sebuah lemari kayu kuno dengan kaca sebagai ornamen pelindung, didalamnya tampak beberapa pelana kuda beserta perangkat pendamping juga foto seekor kuda.
Padahal diawal masuk saya tidak lupa suluk salam, "Assalamu'allaikum". Ah, baureksone pasti tidak berkenan. Saya coba mengambil gambar sekali lagi dan dilambari, "Bismillahirrohmanirrohim...." eh, berhasil. Satu saja cukup deh. Baginya, mungkin saya dianggap kurang sopan.
"Nggak ada maksud nganggu kok, mbah. Saya hanya niat untuk bagikan buat kompasianer".
Ada sebagian kalian mesti beranggapan, "Tahayul! Efek kokean nonton 'Dunia Lain' yo ngene iki. Dasar menungso Endonesa!"
"Terserah elu, deh. Kalian yang paling bener. Tapi apakah sampeyan sempet buka Al-Qur'an dibagian surat dengan ayat yang bunyinya: Aku Ciptakan jin dan manusia untuk beribadah kepadaKu. Jadi, didunia ini tidak hanya manusia yang berhak hidup. Jin peri perayangan juga dikasih tempat oleh Tuhan. Kemungkinan di museum ini salah satunya. Yang mengaku muslim pasti pernah buka kitab sucimu?"
Ups, nggak usah diperdebatkan. Kembali ke bahasan museum ini ya?
Benarlah, hanya segelintir orang dengan niatan, "Aku ingin tahu, apa sih isi museum?" yang rela menyisihkan waktu untuk berani berkunjung.
Radya Pustaka siang itu hanya disambangi lima orang, terdiri dari: saya, 2 orang fotografer dari sebuah komunitas dan sepasang bule.
Sekarang orang lebih gemar ke mall dan destinasi lain ketimbang berkunjung ke "mbah buyut". Anak-anak sekarang tidak banyak yang mengenal museum dikota ini. Padahal pihak pengelola sudah meng-Gratis-kan biaya masuk alias tidak dipungut restibusi!
"Lha museum isinya kurang menarik. Barang "rosok" semua, om"
"Siapa bilang? Kamu pernah mendatangi? Jangan hanya mendengar kabar atau 'katanya'. Datangi dulu baru komentar"
Begitu kita membutuhkan informasi tentang benda bersejarah-yang awalnya milik kita-harus dipaksa menempuh jarak ribuan kilometer serta biaya tinggi menyatroni negara benua Eropa atau Amerika. Hanya gigitan jari yang bisa kita lakukan.
Bila pihak sekolah rutin mengagendakan kunjungan ke museum sebagai bagian dari kegiatan pembelajaran, saya rasa hal itu akan mengubah stigma tentang benda-benda didalamnya. Memang tidak bisa "Bim salabim...prok..oprok... oprok..." langsung mengubah mindset anak didik kita. Tapi paling nggak kenalkan dulu tentang apa museum itu dan manfaatnya bagi pendidikan mereka. Memang harus pelan-pelan.
Didirikan oleh para walisongo pada masa pemerintahan Raden Patah di Demak Bintoro. Miniatur ada dua, satu tersimpan di Radya Pustaka sedang satunya lagi di museum karaton Surakarta), miniatur areal pemakaman raja-raja kraton Surakarta dan kraton Ngayogjokarto di Imogiri-Bantul (dibuat  dari kayu jati oleh Raden Tumenggung Ngreksadiningrat-abdi dalem bupati Kalang-diberikan ke museum pada 1921).
Dikoridor pintu keluar museum jejeran arca, yoni, nisan kuburan kuno menjadi pagar bisu sebelum kalian mengakhiri Tour de Radya Pustaka.
(Selesai)
~ Jam kunjungan museum Radya Pustaka sebagai berikut:
Selasa s/d Kamis jam 09.00 wib s/d 15.00 wib
Jum'at jam 08.30 wib s/d 11.00 wib
Sabtu jam 09.00 wib s/d 15.00 wib
Minggu jam 09.00 wib s/d 13.00 wib
SENIN LIBUR! Catat ya? Biar tidak kepao.
~ Daftar pustaka: majalah TempoÂ
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H