Sebelum beranjak, mas satpam memberikan penjelasan,"Pak, nanti kalau mengambil gambar jangan pakai blitz. Baik dari HP atau kamera. Serta jangan sekalipun menyentuh koleksinya".
Yang pernah aku alami, biasanya, anjuran itu untuk pertunjukan theater atau event khusus. Tapi ikuti saja. Sebagai tamu harus tunduk pada peraturan.
"Baik, mas"
Saya seperti memasuki tanah asing. Padahal saya ingat banget, puluhan tahun silam kaki saya pernah menginjak lantai museum.
Untuk diketahui, sebelum dijadikan Museum dulunya destinasi ini rumah seorang warga Belanda, Johannes Busselaar, yang dibeli oleh Pakubuwono X. Sebutannya Lodji Kadipolo.
1. Teras: di sini pandangan saya dimeriahkan oleh arca batu Durga Mahisasuramardini (diyakini berasal dari abad 7-10 Masehi, ditemukan di Prambanan Klaten), arca Ganesha, meriam beroda, meriam tanpa roda (mirip meriam Si jagur), (mirip) lumpang batu (terletak dipojok-saya yakin pengunjung akan menafikannya).Â
Beberapanya sepasang dan diletakkan di kiri kanan. Mengamati secara dekat merupakan kesukaan saya. Guratan tatahan menyisakan jejak berabad-abad lampau.
2. Ruang tamu: meja marmer dan kursi (ada yang jebol alasnya) berjumlah empat menempati kiri dan kanan. Sebuah layar led menyajikan cerita andilnya bangsa Eropa dalam putaran sejarah bangsa ini. Beragam topeng berjejer, topi kebesaran militer kraton, tali kepangkatan kraton, sabuk/ikat pinggang, kuluk songkok bupati, kuluk penghulu, Â blangkon cateman, blangkon pengantin, blangkon pletrekan, blangkon yogyakarta, kuluk kanigoro, kuluk kanigoro pangeran, sabuk boro, samir.
Ketika akan mengambil gambar saya benahi dulu fitur kamera HP. Blitz diposisikan off. Â