Sangiran? "Balung Buto?" apa kaitannya? Kalau kalian asing dengan kata Sangiran dan "Balung Buto" bahkan gelap sama sekali,mungkin saya akan maklum jika kamu generasi yang lahir ditahun 90 an hingga sekarang.
Tapi, kalau kalian lahir di era 80 an mundur, saya akan geleng-geleng kepala. Masa' sih nggak tahu?, karena buku pelajaran Sekolah Dasar di era orde baru sudah memuat tentang situs Sangiran. Apa sebab?
"Saya hidup di pelosok, mas".
"Bangku sekolah belum menyentuh aku, bro. Aku lebih sering bantu bapak kerja sejak kecil".
"Hei! Bung yang diatas sana!" Saya? "Iya kamu!" O yeah. "Begini, You itu beruntung hidup di Jawa. Segala akses mudah. Lha, kami? Dulu seusia bung, saya harus memupuskan niat sekolah karena keterbatasan fasilitas, biaya. Jadi jangan nyinyir. Ok? Toss dulu".
Iya deh, nggak apa-apa. Setiap individu mempunyai rekam jejaknya sendiri.
Bahkan kemungkinan dipulau jawa sendiri informasi tentang Sangiran tak semua mengetahui secara detail. Dan saya salah satu yang beruntung, karena kata Sangiran sudah tertatah diotak sejak Sekolah Dasar.
Sangiran adalah sebuah dukuh diwilayah desa Krikilan kabupaten Sragen Jawa Tengah, masuk kecamatan Kalijambe yang berbatasan dengan kabupaten Karanganyar.
Bagi para arkeolog, daerah seluas 7 km X 8 km merupakan ikon prasejarah dari masa Pleistosen. Bentang 56 km persegi adalah salah satu situs paling penting di dunia untuk mempelajari fosil manusia, disejajarkan bersama situs Zhoukoudian (China), Willandra Lakes (Australia), Olduvai Gorge (Tanzania) serta Sterkfontein (Afrika Selatan) dan lebih baik dalam hal penemuan daripada yang lain. Para peneliti dari seluruh dunia berbondong-bondong mengeksploitasi wilayah itu dengan beragam muatan kepentingan.
Di sinilah, dulu 1883, peneliti bernama P.E.C schemulling melakukan eksplorasi. Namun setelah itu dilupakan dalam rentang waktu yang panjang.
Awalnya penyebutan itu diberikan karena rasa ketidaktahuan atas fosil yang mereka temukan dengan ukuran besar dan bentuk yang janggal (kala itu). Berjalannya waktu dan keseringan menemukan ragam fosil (karena begitu mudahnya.Â
Kadang muncul sendiri akibat gerusan air hujan) akhirnya menjadi hal biasa. Ini ternyata didengar oleh ahli antropologi berkebangsaan Jerman bernama Gustav Heinrich Ralph Von Koeningswald dan memulai penelitian dilanjut penggalian di wilayah tersebut pada 1934 dengan di bantu seorang carik desa bernama Toto Marsono (kelak menjadi Kepala desa Krikilan).
Seaedar gambaran, kalau naik bus atau omprengan L300 harus ke terminal Tirtonadi dan ambil jurusan  utara( Gemolong atau Purwodadi) nanti bilang sama kernetnya,"Mas, mandap Sangiran"(mas, turun Sangiran).Â
Sebuah gerbang bertulisan SANGIRAN dipinggir jalan Solo-Purwodadi akan nampak menyambutmu. Dari sini masih ada 4 km yang wajib diarungi dengan menyusuri jalan turun naik.Â
Lanjutkan naik ojek pangkalan sampai dititik lokasi. Bagaimana? Pingin sambung menyambung akhirnya sampai atau langsung naik armada online dari penginapan kalian? Pastinya lebih enak naik armada online kan? Atau kalian ingin sewa motor? Kalau itu pilihan terakhirmu kamu malah bisa jelajahi beberapa destinasi lain yang juga didirikan sebagai pendukung Museum Sangiran.Â
Jaraknya paling jauh 11 kilometer; Museum Dayu, klaster Ngebung, Klaster Bukuran, Menara Pandang Sangiran. Nanti kalian akan menemukan petunjuk berupa plang bercat coklat .
Bangunan yang sekarang didirikan diatas lapisan tanah berusia 1,8 juta tahun dan sudah tidak mengandung fosil.
Tapi bisa jadi dikemudian hari, diwilayah ini akan ditemukan fosil yang akan menggegerkan jagat arkeolog. Dunia itu serba kemungkinan. Ditunggu saja.
Jadi jangan heran jika balung buto dijadikan hiasan ditepi sawah, ganjal pintu, mainan anak-anak, saluran pipa air.
Dibantu penduduk sekitar, von Koenigswald menerima temuan-temuan baik berupa atap tengkorak, belalai gajah purba, tulang paha, dan lain sebagainya.
Untuk itu, Â pria yang lahir di Berlin, 13 November 1902 kadang harus merogoh koceknya sebagai imbalan bagi mereka. Kalau lagi bokek diganti dengan tepung ketela (pohong-bahasa jawa). Inilah simbiosis mutualisme versi jadoel..
Beberapa temuannya itu sekarang tersimpan rapi di museum Senckenberg, Frankfurt diantaranya bagian atas tengkorak "Sangiran II" yang ia sebut Pithecanthropus erectus (anggota Homo Erectus, 1,5 juta tahun)
Setelah sebelumnya membayar restribusi sebesar 5 ribu rupiah diloket (siapkan uang pas!). Museum ini hanya buka dari hari Selasa sampai Minggu. Senin Tutup (itu paten! karena capek?). Loket buka jam 08:00 wib s/d 15:30 wib. Sedang Museumnya tutup hingga jam 16:00 wib (mohon diperhatikan biar tidak kecelek).
Hari itu saya beruntung karena pengunjung tidak terlalu ramai. Jadi bisa menikmati dan mengambil foto secara leluasa. Dulu pernah ketika mengantar ponakan bertepatan dengan libur panjang, wah...kojur, umpek-umpekan persis pasar tumpah. Dari pintu loket antrinya mengular.
Berpindah ke ruang sebelah via koridor pendek, terlihat fosil kuda nil purba mengisi sekian meter diorama. Gambar-gambar pendukung tema menempati dinding dengan penjelasannya. Sebuah layar LCD menayangkan beberapa orang yang berhubungan dengan dunia arkeolog menjelaskan pentingnya disiplin ilmu tersebut.
Perjalanan manusia di alampada dipaparkan dengan runut lewat gambar serta tulisan. Kalian juga bisa menatap layar penjelas bagaimana tata surya terbentuk. Disitu juga dipajang pecahan benda langit (meteor purba?) yang dilindungi kotak kaca.
Beberapa kursi tersedia dibeberapa sudut. Dengan meletakkan pantat dijalinan besi, pikiran saya berkecamuk, posisi nabi Adam dalam kancah peradaban manusia dibagian mana ya? Pertanyaan ini sebenarnya puluhan kali dilontarkan banyak orang, dan mengundang perdebatan panjang. Â
Sebuah layar LCD menayangkan video proses rekontruksi fosil, dalam hal ini tengkorak manusia purba oleh beberapa seniman patung palaentologis internasional dipimpin Elisabeth Daynes.
Daunnya yang rimbun membantu menghalau hawa panas siang itu. Dikomplek museum juga dihadirkan beberapa hewan (dalam kandang besi besar) seperti burung Merak, Monyet dan sebagainya.Â
Mungkin sebagai obat kecewa bagi anak kecil yang rewel karena diajak puter-puter hanya melihat benda mati. Dikira akan melihat Dinosaurus sebesar gunung Lawu seperti di Jurrasic Park.
"Tuh lihat, burung merak menari indah. Bulu pantatnya mekrok (menyibak mirip kipas)"
"Huuaaa..."(si anak tetap nangis kejer-kejer).
Beberapa monyet melirik kepadaku, sinis banget. Padahal baru saja ketemu, kenal aja nggak. Cuekin saja.
Celoteh mengisi udara siang. Ibu-ibu muda duduk selonjorkan kaki berupaya menggerus kelelahan raga.
Hari itu saya berjumpa dengan beberapa rombongan pelajar dari beberapa sekolah, SMP hingga SMK. Bahkan 4 bus besar milik dinas perhubungan kota Solo mengantarkan rombongan anak-anak SMP Al-Muayyad kelas VII menjadi bagian kunjungan saya di Museum Fosil Sangiran.
Saya sungguh mengapresiasi pihak-pihak yang menghadirkan museum dengan segala pernik pendukung.
Saya mau kasih saran, mohon tamannya ditambah/diperluas lagi lagi ya.
[Selesai]
~ Dome Sangiran adalah harta karun yang tak ternilai harganya. Kalau kita pernah mendengar istilah emas hitam (minyak bumi), emas putih (timah) maka layak saja kalau untuk fosil disebut emas purba. Kenapa? Ternyata fosil-fosil yang ada di tanah Sangiran sekitarnya (berbau rupiah bahkan dollar) menjadi incaran penyamun lokal dan internasional. Pemburu gelap mencari celah agar dapat memburu "emas" itu.
Kasus terakhir, seorang bule Amerika diciduk aparat karena mencoba menyelundupkan ragam fosil yang kalau dinilai dipasaran internasional menyentuh angka $ 2 juta dollar! Sudah diekspos media nasional maupun lokal.
Cuma kadang saya berpikir, itu yang dijual sebagai souvenir dari fosil asli atau hanya proto saja? Kalau dari fosil asli kok dijual umum? Terpajang tanpa pengaman?
~ Beberapa sumber tulisan diambil dari wikipedia.org, koran Jawa Pos hasil liputan Taufiqurahman, majalah Tempo, sejarahpedia-id.blogspot.com. Ditulis kembali dengan gaya pribadi sesuai suara hati dibalut imajinasi, dibekingi kelincahan jemari, Â ditambah seruput kopi. Makasih telah menyimak.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H