Mohon tunggu...
Sri Romdhoni Warta Kuncoro
Sri Romdhoni Warta Kuncoro Mohon Tunggu... Buruh - Pendoa

• Manusia Indonesia. • Penyuka bubur kacang ijo dengan santan kental serta roti bakar isi coklat kacang. • Gemar bersepeda dan naik motor menjelajahi lekuk bumi guna menikmati lukisan Tuhan.

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Pelesiran di Bendungan Candi Muncar Girimarto

20 Juni 2018   22:24 Diperbarui: 20 Juni 2018   22:34 2164
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Keberadaan Google map menyumbang manfaat bagi para pelancong. Walau tak sempurna-karena kesempurnaan hanya milik Sang Pencipta-tapi paling tidak aplikasi ini membantu kita mencari keberadaan sebuah titik tujuan-untuk ditindak lanjuti atau disimpan di memori.

Begitulah yang saya alami. Utak-utik peta tersebut mengarahkan saya pada beberapa destinasi wisata. Diantaranya adalah Bendungan Candi Muncar. Dan ternyata lagi, saya pernah jelajah disekitar daerah yang arahnya ke Candi Muncar. Hal itu saya ketahui ketika pada hari Selasa pagi-19 Juni 2018-melakukan pencarian sosok sang bendung.

Dokumentasi Pribadi
Dokumentasi Pribadi
Karena suasana masih berbau lebaran saya antisipasi tidak lewat Wonogiri kota-karena akan khawatir melewati titik kemacetan. Lagian, saya juga akan mendapat gelar goblok-ngapain lewat situ? 

Kok nggak Polokarto-Sukoharjo? Kan lebih deket serta rute tersebut penuh rerindang pohon serta hamparan sawah ladang, jalannya juga mulus-kalian akan dipandu plang penunjuk arah. Terus ikuti panah ke Jatipuro. Dari sini ambil arah ke Jatipurno. Yap! Biar gelar tersebut tidak tersemat saya lewat rute itu.

Begitulah, sesampai di kantor kecamatan Girimarto, pelankan wahana yang kalian naiki-saya harap kalian tidak naik tank atau odong-odong...wakakakakak...., karena beberapa meter akan kita dapatkan jalan yang mengarah ke Candi Muncar.

Oh iya, Girimarto adalah salah satu kecamatan di kabupaten Wonogiri. Wilayah dengan luas 6.236, 6815 ha itu berbatas dengan Kabupaten Karanganyar disebelah utara(situs Buku Pintar Kabupaten Wonogiri). Jadi hawa-hawa sejuk akan kita dapatkan bila mendekati candi Muncar-wilayah ujung dilereng  gunung Lawu selatan.

Dokumentasi Pribadi
Dokumentasi Pribadi
Mari putar gas motor untuk menyesap kekhasan wilayah ini. Diujung hidung kalian akan mencium aroma cengkeh-hamparan cengkeh tampak dijemur dipinggir jalan.

Rute mulus turun naik jangan membuat kalian terlena. Tetap waspada.

Omah Tiban Raden Mas Said akan kita lewati disisi sebelah kiri. Ini sebuah situs sejarah.

Bila kita mendekati tujuan, jalannya sudah berganti cor semen. Petunjuk arah ke Candi Muncar tidak besar dan minim. Jadi penglihatan harus distel tinggi, atau kalau nggak tanya penduduk desa. Kepulan debu berhasil dibuat manakali ban motor

mengupas tanah kering yang menutupi beberapa ruas. Rerumputan juga menempatkan dirinya pada jalan di titik tertentu. Suasana desa membaui mengikuti kemana kita melaju.

Dokumentasi Pribadi
Dokumentasi Pribadi
"kekasihku" Supriafitun 100 NL aku belokkan ke parkiran.

Dari parkiran motor, Bendung Candi Muncar sudah terlihat. Pemandangan julangan bukit hijau berderetan menyapa mata. Lereng-lereng ditanami sayuran. Ciri dari pegunungan ya begitu.

Dokumentasi Pribadi
Dokumentasi Pribadi
Pengunjung pagi-karena belum jam 12-belum begitu ramai. Kondisi parkiran tadi bisa dijadikan indikasinya. Kaki menapaki bumi dusun Siroto( di Google Map, bendung Candi Muncar masuk wilayah dusun Petung, tapi ketika saya berbincang dengan bapak parkirnya masuk wilayah dusun Siroto. Yang bener mana ya? Atau saya salah denger? Sepertinya nggak deh). 

Menelusuri pinggiran bendungan menjadi kewajiban jika ingin mendapatkan view berbeda. Melewati jejeran bambu yang dilintangkan menjadi jembatan kecil diatas aliran air yang terhubung ke bendungan membawa mata menemukan tulisan 'Air Terjun Muncar 1 KM'- terpancang alakadarnya dari sempalan papan kayu kecil.

Dokumentasi Pribadi
Dokumentasi Pribadi
Inilah sebenarnya yang saya tuju. Google map menuliskan spot ini dan menjadi awal mula saya terusik untuk bergerak menyambangi.

1 kilometer adalah jarak pendek. Bergegas langkah kaki mantap menjejak bumi. Walau ini musim kemarau, namun tidak terlalu kentara karena vegetasi membuat barikade dilingkup ini.

Beberapa pengunjung turun-usai dari air terjun-menyapa saya, "Semangat mas!"

"Iya mbak"

"Harusnya kita pakai sepatu kaya' masnya ini", ujar bapaknya sambil mengarahkan mata kekakiku. Saya pikir untuk jarak 1 kilometer tidak berpengaruh deh, mau pakai sepatu atau sandal. 

Melanjutkan pergerakan akan mendapatkan nuansa hutan. Rerimbunan menutupi pandangan mata. Sulur-sulur akar berjuntai dari kanopi dedaunan. Rerumputan berserakan menutupi tanah. Saya merasakan nafas menyempit. Ternyata jalur ini menaik. Pantas saja mbaknya tadi bilang, "Semangat mas". Berhenti menjadi cara agar saya tetap tegar. Atur nafas dulu. Seorang pengunjung melintas berujar, "Masih jauh mas"(tanpa diminta). Masa' sih? Kan hanya 1 KM?

Dokumentasi Pribadi
Dokumentasi Pribadi
Kita akan mendapati tempat duduk-terbuat dari bambu dijalin sedemikian rupa-dibeberapa tempat sebagai pos istirahat. Saya mengalami delusi(persangkaan keliru), saya kira rute ini jalurnya segampang air terjun Jumog atau Grojogan Sewu. Ternyata dibeberapa titik, pengunjung dipaksa merayapi bebatuan yang sedikit tegak. Memang asik sih, tapi juga harus hati-hati. 

Melewati aliran air yang begitu jernih merupakan keniscayaan, karena memang itulah jalurnya. Disinilah saya dipaksa berhenti 6 kali. Yang terakhir nafas makin mengkis-mengkis keringat bercucuran. 

Mungkin faktor usia berpengaruh. Duduk dengan tumpangan batu sambil membasuh muka sambil memainkan air. Kecipak-kecipuk... Segarnya.....  Cukup lama waktu yang saya ambil untuk menstabilkan ritme nafas. 

Setelah cukup, kembali ayunan kaki dihidupkan. Gemericik air-bahkan deru arus deras-menjadi backsound perjalanan saya-dan pengunjung-dengan ditambah bebunyian serangga atau kicauan burung. Benar-benar keren. 

Sayangnya, vandalisme sudah menjajah tempat ini. Beberapa coretan dibebatuan terpampang terang. Juga sampah kemasan berserak dibeberapa tempat. Kesadaran pengunjung belum terbentuk. Rasa cinta lingkungan masih menempati level terendah.

Dokumentasi Pribadi
Dokumentasi Pribadi
Di sebuah jalur, saya berhenti, begitupun yang lain. Dinding batu hitam teraliri air setinggi-kira-kira 3 meter tampil dihadapan menggerojok deras. Inikah air terjun Muncar?

Seutas tali tambang plastik berwarna biru menjuntai dari atas. Tiba-tiba muncul 4 lelaki muda turun pelan-pelan disisi sebelah kiri. Saya heran, naiknya lewat mana? Melihat cara turunnya saja membuat saya ketir-ketir.

"Air terjunnya masih diatas ya?"

"Iya mas"

"Bagus mas?"

"Saya belum sampai kesana"

"Lho? Masnya tadikan sudah diatas?"

"Masih harus beberapa meter lagi untuk sampai. Tapi saya urungkan karena medannya sulit"

What? Jadi hanya sampai disini  langkahmu, kawan? Sepertinya Iya.

"Masnya nggak naik?", tanya perempuan muda kepadaku-yang ada disitu.

"Nggak deh, mbak. Riskan"

Dokumentasi Pribadi
Dokumentasi Pribadi
Jadi seutas tali tambang itu disediakan bagi pengunjung yang akan naik keatasnya. Yang suka petualang perambah rimba pasti suka dengan medan ini. Tapi tidak buat pengunjung kebanyakan. 

Beberapa wisatawan membawa anak isteri. Seharusnya dibuat jalur yang ramah agar keberadaan Air Terjun Muncar gampang dikunjungi. Itu sedang diujudkan oleh pengelola. 

Dari keterangan bapak parkir yang juga penduduk dusun tersebut, ada rencana pembuatan jalan yang lebih baik untuk menuju air terjun. Sip! Sambil istirahat saya mengamati dinding batu itu. Kalau saya nekat pasti badan akan kuyup. Padahal saya bawa tas selempang dan ransel. Menimbang efeknya, saya urungkan niat.

Dokumentasi Pribadi
Dokumentasi Pribadi
Kembali turun menjadi pilihan final. Masih dibutuhkan kehati-hatian agar tidak salah pijak. Sebab tadi diatas ada mbak yang HPnya kecemplung ke air karena salah menempatkan kaki.

Bersua dengan wisatawan lain menjadi penanda bahwa dibawah pasti lebih riuh. Benar saja, sampai di bendungan pengunjung kian masif. Pandangan mata berkeliling mengeksploitasi lingkaran obyek. 

Jernihnya air kian eksotis manakala serombongan ikan mas beragam motif serta ukuran menari-nari menampilkan keberadaan. Ditambah kayuhan dayung dari sang pengemudi getek(rakit bambu). Wisatawan bisa mengelilingi obyek tersebut dengan naik getek bermahar Rp.15 ribu rupiah/rombongan.

Rombongan? Nggak salah denger kamu? Enak dong kalau rombongan 50 orang hanya bayar Rp.15 ribu?

Telinga saya cukup jelas ketika transaksi itu berjalan. Yang dimaksud '/rombongan yaitu kapasitas yang mampu dimuati si getek untuk mengelilingi bendungan. Jelasnya, mungkin begini, satu getek hanya kuat ditumpangi  4 orang- 1 nya pengemudi. 

Jadi perombongan berjumlah 3 orang dibanderol Rp.15 ribu. Sudah jelas? Kalau penumpangnya anak-anak, perdua anak disamakan 1 orang dewasa. Masih belum mengerti? Geblek loe! Yo rasah emosi. Akukan muk takok.

Dokumentasi Pribadi
Dokumentasi Pribadi
Bolehkah ikannya dipancing, mas?

Boleh. Tapi konsekuensinya dirimu digebuki setelah kelenger digantung dipohon pinus paling tinggi. Mau?

Emosi meneeeh....dadi uwong mbok sing sabar.

Pertanyaanmu menyulut emosi!

Bendungan Candi Muncar baru dibuka resmi sebagai obyek wisata sekitar 2 tahun yang lalu. Pengelolanya kaum muda dusun tersebut. Dari keterangan yang saya dapat, pemerintah pusat menggelontorkan dana 82 juta sebagai bentuk dukungan agar obyek tersebut kian moncer. Dilihat dari kondisinya, menurut saya, masih dibutuhkan beberapa sarana penunjang agar tempat tersebut kian menarik wisatawan.

Sebuah jalan baru telah dibuat sebagai alternatif tapi belum 100% jadi-disisi sebelah sana? Maaf saya disorentasi arah mata angin-yang akan menghubungkan antara jalur bendungan ke obyek wisata baru 'Rumah Pohon'(baru dikerjakan).

Masih banyak yang harus dilengkapi. Tapi saya mengapresiasi kaum muda di dusun ini karena tergerak mengelola aset desa sebagai sarana menciptakan lapangan kerja atau perputaran ekonomi, sehingga keberadaan spot ini tidak tersia-sia.

Lebih dari itu, dengan makin kondangnya obyek ini-otomatis wisatawan banyak-hasil home industri atau kebun desa Bubakan banyak diketahui publik hingga terbeli dengan memasarkannya disekitaran obyek wisata. 

Seperti diketahui, desa Bubakan terdiri dari 10, yaitu; dusun Bubakan, Sikalas, Tempel, Kutukan, Petung, Banyuwadang, Jamuran, Candirejo, Buling serta Siroto. Rambak, tahu, tempe dan jamu gendong industri rumahan yang bisa dijajakan di destinasi tersebut. Selain cengkeh, desa tersebut juga penghasil durian, rambutan, kopi, serta sayuran.

Betapa nyaman, ketika menyantap durian di pinggir bendungan atau menyeruput kopi hasil dari bumi Bubakan.[Selesai]

Solo, 20 Juni 2018

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun