Sebuah agitasi berloncatan didalam benak, mirip pukulan stik menghantam senar drum, berulang-ulang, "Motormu lama tidak kau ajak ke wilayah selatan. Nggak kangen? Kembalilah pada jelajahmu. Barisan karang serta sensasi jalan makadam berharap kau sambangi".
Sabtu pagi, di akhir bulan April 2018 menjadi keputusanku untuk menggeber motor 4 tak menuju selatan kota, sebuah kabupaten tetangga yang terkenal dengan sebutan kota Gaplek. Kenapa harus ke kota itu? Bukankah lainnya lebih menarik?
Banyak sebab kenapa saya ingin mengunjunginya kembali. Padahal, sudah puluhan kali menjajahnya. Di antara sebab itu adalah, telapak kaki saya lama tidak dijilati lidah ombak dan ingin merasakan kembali gelitik butiran pasir diujung syaraf kaki.
Ya, saya ingin mengunjungi pantai Nampu. Kenapa kesana? "Karena jaraknya dekat-90 km. Disamping itu, jika diperjalanan berubah pikiran bisa berbelok ke pantai Banyu Tibo atau pantai Buyutan". Keduanya masuk wilayah kabupaten Pacitan.
Jalannya sudah mulus-cuma, disekitar ruas Krisak ada aktivitas pelebaran, mesin backhoe meremukkan pinggiran mengeruk material tanah. Jejeran pohon yang berada dikiri kanan beberapa ditebangi. Biasanya adem karena rindang sekarang panas-dampak pembangunan.
Kehidupan di kabupaten ini saya rasakan tenang. Masyarakatnya low profile. Wilayahnya terbentang seluas, 1.822 km persegi dengan populasi 928.904 jiwa (wikipedia.org), hutan dan pegunungan karst betebaran membekap dalam. Jadi, selama susuri wilayah ini, kita akan disuguhi pepohonan di banyak tempat serta perbukitan.
Wangi tubuhku akhirnya memasuki wilayah Pracimantoro dilanjut menusuk Giritontro sampai akhirnya melesak ke Paranggupito. Menjumpa pertigaan dengan sebatang plang terpancang: pantai Sembukan-pantai Nampu.
Desa Gudangharjo bersedekap menunggu untuk dilintasi. Dan saya sudah menyapanya dari kejauhan. Pandangan mata disuguhi suasana sepi. Muda-mudi itu belum mau menyalip. Sebuah papan kecil berwarna biru dengan tulisan PANTAI KALIMIRAH memaksaku mengubah tujuan.Â
Rem mendadak aku injak. Sepasang anak muda itu kaget, reflek ngerem juga, dan lolos dari insiden. Mereka tetap melaju, sedang saya balik badan untuk mencari tahu tentang nama itu. Memasuki gapuro desa sebagai koridor untuk mencari keberadaan Kalimirah. Deretan rumah penduduk menampilkan keheningan.Â
Waktu segini pastinya mereka ada di alas (hutan). Beberapa halaman rumah ditaburi hamparan kacang tanah dijemur diatas terpal bambu.
Pintu-pintu terbuka dengan memperlihatkan beberapa perabotnya. Semakin masuk ke perkampungan kian memaksa pandangan dipertajam pikiran diperkencang.
Petunjuk ke Kalimirah minim, hanya di luar desa. Belak-belok mengandalkan feeling ternyata dapat bisikan hati agar bertanya saja pada penduduk. Terlihat 3 perempuan sedang melakukan aktifitas peladangan. Motor saya matikan. Langkah kaki menuju ke obyek sasaran.
"Kulo nuwun, bu". Mereka sedang membersihkan gulma atau tumbuhan liar yang ada disekitaran tanaman. Wajah separuh baya tampil di rerimbunan daun. Bercaping untuk menangkis sengatan sinar matahari.
"Wonten nopo, mas?"
"Bade tanglet, bu. Pantai Kalimirah niku arah e pundi nggih?"
"Mase saking pundi?"
"Kulo saking Solo"
"Oooo, mase Solo"
ketiga perempuan itu bergantian memberi petunjuk serta menguatkan agar saya paham dengan keterangan mereka.
"Maturnuwun, bu..."
"Ngatos-atos, mas"
"Oo... nggih"
"Saking mriki mase lurus-Notok-mangke menggok tengen. Pun, lurus mawon"
"O inggih, pak", balasku.
Kembali pada posisi semula. Jalan makadam memanjang mengular. Beberapa petak tanaman akan kita jumpai sepanjang arah. Ciri khas tanaman peladangan disini adalah kacang tanah, jagung, ketela pohon.
Setelah 2 jam lebih beberapa menit diatas motor-usai melahap tanjakan terakhir-sampai juga pada tujuan. Horizon menjadi pemandangan awal. Dari jauh laut sudah terlihat. Biru langit dan biru laut menciptakan garis batas. Jalan makadam berakhir. Disuguhi kebuntuan, "ke mana masuknya?"
Posisi jalan menurun. Ah, nekat. Jalan gronjal memaksa saya berhati-hati. Sedikit kesulitan ketika memarkir motor di jalan menurun. Tampak dua motor teronggok ditutupi dedaunan.
"Pasti ini milik penduduk desa sekitar sini", bisikku.
Akhirnya berhasil juga motor saya letakkan berdekatan dengan milik mereka.
Betapa tidak, tiba-tiba bulu kuduk saya berdiri. Wah, berat nih. Pandangan mata saya edarkan keseluruh penjuru mata angin. Berdiam diri selonjor di bawah papan-terpahat PANTAI KALIMIRAH. Merinding belum juga surut. Kalau menurut suara hati, pasti ada makhluk astral disekitar lokasiku. Bisa jadi mereka memperhatikanku. Komat kamit baca ayat kursi terus-terusan.
Petualang kok jirih (penakut), Ora jirih bro, muk waspada. Takut itu diberikan Tuhan agar kita tidak jumawa. Setelah agak lama suasana menjadi kondusif.
Dari beberapa literatur yang pernah saya baca, laut adalah tempatnya jin main dakon, eh maaf, bersemayam. Selain itu, tempat sepi yang jarang dijamah orang juga spot favorit bagi jin peri perayangan membuat base camp. Seteguk dua teguk menjadi penawar dahaga juga penenang hati. Tadi sempat mampir di Indomart di Pracimantoro. Beberapa botol minuman dan sebungkus roti menjadi pilihan sederhana.
Angin memporak-porandakan rambutku. Dari jauh ombak bergulung-gulung datang dan pergi. Sepertinya memberi bujukan agar aku segera turun. Setapak jalan telah dibuat untuk dilewati.Desir angin mengawal derap kaki menyapa gemuruh ombak.
Pasir putih menyambutku bersama buih berjumpalitan. Menyisir berbagai sudut bagian dari upayaku agar lebih tahu tentang pantai ini.
Melihat kondisinya, bisa dipastikan pantai ini belum banyak dikunjungi wisatawan. Masih alami-masih perawan. Cekungan yang terbentuk menjadi rendezvous beberapa ikan. Tanganku menangkup air menghasilkan bunyi tapi terpangkas gelegar ombak. Beberapa batu berserak dengan berbagai ukuran, warnapun beragam: merah, kuning gading, biru, putih.
Perasaan tenang terapung begitu jari kaki dikerumuni butiran pasir.
"Monggo pak", sapaku.
bapak itu tersenyum. "Rencangi pundi, mas?", tanya si bapak
"Kulo piyambakan"
Wajah kaget tercetak. Sepertinya tidak percaya kalau saya sendirian ke pantai ini.
"Ngatos-atos mas", nasehat petani tersebut, langkahnya dilanjutkan menuju sisi tebing sebelah barat. Ternyata bapak itu tidak sendirian. Menyusul kemudian dua rekannya yang juga memanggul rumput. Saya yakin buat pakan ternak, kalau tidak sapi atau kambing. Bisa juga dua-duanya. Mereka beristirahat dibawah keteduhan.
Petani itu bersama temannya kemudian berjalan ke bagian pantai yangg penuh cekungan sambil menunduk. Tangannya sesekali bergerak menggunakan sabit untuk mencongkel sesuatu. Pas aku tanyai, mereka menjawab sedang cari kerang buat lauk dirumah.
Pantai Kalimirah bermurah hati menyediakan pernik yang bisa dikonsumsi.
Seandainya tahu, paling hanya Nampu dan Sembukan yang familiar. Padahal, masih ada pantai Pringjono, Kwaru, Parangireng, Parangkulon (masuk wilayah desa Gunturharjo) kemudian pantai Klothok, Banyutowo, Mangetan, Nglojok (masuk kedalam desa Paranggupito). Menjadikan sebuah tempat destinasi wisata akan menggerakkan roda ekonomi rakyat.
Ya sudah, datangi saja. Karena belum dikelola kita bebas masuk tanpa tiket. Saya masih ingat bertemu beberapa orang pemburu burung. Sekarang Buyutan sudah dipersolek.
Kecantikannya mampu menarik perhatian wisatawan. Hal sama sepatutnya dilakukan juga untuk pantai Kalimirah serta lainnya. Apalagi dengan-nanti-terbukanya jalur selatan jawa yang membentang di wilayah itu. Diharapkan wisatawan berbondong-bondong ngluruk menikmati pesisir pantai kabupaten Wonogiri. [selesai]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H