Mohon tunggu...
Sri Romdhoni Warta Kuncoro
Sri Romdhoni Warta Kuncoro Mohon Tunggu... Buruh - Pendoa

• Manusia Indonesia. • Penyuka bubur kacang ijo dengan santan kental serta roti bakar isi coklat kacang. • Gemar bersepeda dan naik motor menjelajahi lekuk bumi guna menikmati lukisan Tuhan.

Selanjutnya

Tutup

Trip Artikel Utama

Pantai Kalimirah, "Perawan" di Pesisir Wonogiri

22 Mei 2018   22:09 Diperbarui: 23 Mei 2018   04:56 3050
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebuah agitasi berloncatan didalam benak, mirip pukulan stik menghantam senar drum, berulang-ulang, "Motormu lama tidak kau ajak ke wilayah selatan. Nggak kangen? Kembalilah pada jelajahmu. Barisan karang serta sensasi jalan makadam berharap kau sambangi".

Sabtu pagi, di akhir bulan April 2018 menjadi keputusanku untuk menggeber motor 4 tak menuju selatan kota, sebuah kabupaten tetangga yang terkenal dengan sebutan kota Gaplek. Kenapa harus ke kota itu? Bukankah lainnya lebih menarik?

Banyak sebab kenapa saya ingin mengunjunginya kembali. Padahal, sudah puluhan kali menjajahnya. Di antara sebab itu adalah, telapak kaki saya lama tidak dijilati lidah ombak dan ingin merasakan kembali gelitik butiran pasir diujung syaraf kaki.

Ya, saya ingin mengunjungi pantai Nampu. Kenapa kesana? "Karena jaraknya dekat-90 km. Disamping itu, jika diperjalanan berubah pikiran bisa berbelok ke pantai Banyu Tibo atau pantai Buyutan". Keduanya masuk wilayah kabupaten Pacitan.

Dok. Pribadi
Dok. Pribadi
Motor dihidupkan. Melajulah saya sendirian berselempang tas kecil berisi power bank, kabel charge dan HP. Ban berputar merambah bidang jalan yang menghubungkan kota Solo-kabupaten Sukoharjo dan kabupaten Wonogiri.

Jalannya sudah mulus-cuma, disekitar ruas Krisak ada aktivitas pelebaran, mesin backhoe meremukkan pinggiran mengeruk material tanah. Jejeran pohon yang berada dikiri kanan beberapa ditebangi. Biasanya adem karena rindang sekarang panas-dampak pembangunan.

Dok. Pribadi
Dok. Pribadi
Tepian waduk Gajah Mungkur saya lewati, di kejauhan air tampak melimpah-ditingkahi perahu bermanuver menyisakan riak-kalau dilihat kadang berwarna biru, hijau, coklat atau perpaduan antara warna itu.

Kehidupan di kabupaten ini saya rasakan tenang. Masyarakatnya low profile. Wilayahnya terbentang seluas, 1.822 km persegi dengan populasi 928.904 jiwa (wikipedia.org), hutan dan pegunungan karst betebaran membekap dalam. Jadi, selama susuri wilayah ini, kita akan disuguhi pepohonan di banyak tempat serta perbukitan.

Wangi tubuhku akhirnya memasuki wilayah Pracimantoro dilanjut menusuk Giritontro sampai akhirnya melesak ke Paranggupito. Menjumpa pertigaan dengan sebatang plang terpancang: pantai Sembukan-pantai Nampu.

Dok. Pribadi
Dok. Pribadi
Seperti yang saya utarakan di atas, pantai Nampu saya ambil. Ruas jalannya menantang untuk dilalui. Turun naik khas pegunungan seribu. Dibelakang saya ada sepasang muda-mudi menguntit. Prediksi saya mereka akan satu tujuan, ke pantai.

Desa Gudangharjo bersedekap menunggu untuk dilintasi. Dan saya sudah menyapanya dari kejauhan. Pandangan mata disuguhi suasana sepi. Muda-mudi itu belum mau menyalip. Sebuah papan kecil berwarna biru dengan tulisan PANTAI KALIMIRAH memaksaku mengubah tujuan. 

Rem mendadak aku injak. Sepasang anak muda itu kaget, reflek ngerem juga, dan lolos dari insiden. Mereka tetap melaju, sedang saya balik badan untuk mencari tahu tentang nama itu. Memasuki gapuro desa sebagai koridor untuk mencari keberadaan Kalimirah. Deretan rumah penduduk menampilkan keheningan. 

Waktu segini pastinya mereka ada di alas (hutan). Beberapa halaman rumah ditaburi hamparan kacang tanah dijemur diatas terpal bambu.

Pintu-pintu terbuka dengan memperlihatkan beberapa perabotnya. Semakin masuk ke perkampungan kian memaksa pandangan dipertajam pikiran diperkencang.

Petunjuk ke Kalimirah minim, hanya di luar desa. Belak-belok mengandalkan feeling ternyata dapat bisikan hati agar bertanya saja pada penduduk. Terlihat 3 perempuan sedang melakukan aktifitas peladangan. Motor saya matikan. Langkah kaki menuju ke obyek sasaran.

"Kulo nuwun, bu". Mereka sedang membersihkan gulma atau tumbuhan liar yang ada disekitaran tanaman. Wajah separuh baya tampil di rerimbunan daun. Bercaping untuk menangkis sengatan sinar matahari.

"Wonten nopo, mas?"
"Bade tanglet, bu. Pantai Kalimirah niku arah e pundi nggih?"
"Mase saking pundi?"
"Kulo saking Solo"
"Oooo, mase Solo
"
ketiga perempuan itu bergantian memberi petunjuk serta menguatkan agar saya paham dengan keterangan mereka.
"Maturnuwun, bu..."
"Ngatos-atos, mas"
"Oo... nggih"

Dok. Pribadi
Dok. Pribadi
Kembali menempelkan pantat ke jok, sekalian kick stater. Tarik gas... dan menghilang. Disebuah persimpangan desa saya ambil kanan. Tapi ternyata bukan itu jalan ke pantai. Seorang petani tua menyuruh saya berbalik,

"Saking mriki mase lurus-Notok-mangke menggok tengen. Pun, lurus mawon"

"O inggih, pak", balasku.

Kembali pada posisi semula. Jalan makadam memanjang mengular. Beberapa petak tanaman akan kita jumpai sepanjang arah. Ciri khas tanaman peladangan disini adalah kacang tanah, jagung, ketela pohon.

Setelah 2 jam lebih beberapa menit diatas motor-usai melahap tanjakan terakhir-sampai juga pada tujuan. Horizon menjadi pemandangan awal. Dari jauh laut sudah terlihat. Biru langit dan biru laut menciptakan garis batas. Jalan makadam berakhir. Disuguhi kebuntuan, "ke mana masuknya?"

Dok. Pribadi
Dok. Pribadi
Jalan bercor semen hanya sampai disini. Saya celingak celinguk. Ternyata saya alpa pada papan bertulisan 'Parkir Motor Roda Dua'. Mengikuti arah panah dihadapkan pada kondisi jalan yang masih berupa tanah beserta batu karst yang ditata sedemikian rupa. Ada keraguan menyelip.

Posisi jalan menurun. Ah, nekat. Jalan gronjal memaksa saya berhati-hati. Sedikit kesulitan ketika memarkir motor di jalan menurun. Tampak dua motor teronggok ditutupi dedaunan.

"Pasti ini milik penduduk desa sekitar sini", bisikku.

Akhirnya berhasil juga motor saya letakkan berdekatan dengan milik mereka.

Dok. Pribadi
Dok. Pribadi
Udara panas menusuk tajam. Kalau ingin ke pantai harus mengambil jalan setapak. Saya melihat situasi. Ini siang, tapi suasana mencekam.

Betapa tidak, tiba-tiba bulu kuduk saya berdiri. Wah, berat nih. Pandangan mata saya edarkan keseluruh penjuru mata angin. Berdiam diri selonjor di bawah papan-terpahat PANTAI KALIMIRAH. Merinding belum juga surut. Kalau menurut suara hati, pasti ada makhluk astral disekitar lokasiku. Bisa jadi mereka memperhatikanku. Komat kamit baca ayat kursi terus-terusan.

Petualang kok jirih (penakut), Ora jirih bro, muk waspada. Takut itu diberikan Tuhan agar kita tidak jumawa. Setelah agak lama suasana menjadi kondusif.

Dari beberapa literatur yang pernah saya baca, laut adalah tempatnya jin main dakon, eh maaf, bersemayam. Selain itu, tempat sepi yang jarang dijamah orang juga spot favorit bagi jin peri perayangan membuat base camp. Seteguk dua teguk menjadi penawar dahaga juga penenang hati. Tadi sempat mampir di Indomart di Pracimantoro. Beberapa botol minuman dan sebungkus roti menjadi pilihan sederhana.

Angin memporak-porandakan rambutku. Dari jauh ombak bergulung-gulung datang dan pergi. Sepertinya memberi bujukan agar aku segera turun. Setapak jalan telah dibuat untuk dilewati.Desir angin mengawal derap kaki menyapa gemuruh ombak.

Pasir putih menyambutku bersama buih berjumpalitan. Menyisir berbagai sudut bagian dari upayaku agar lebih tahu tentang pantai ini.

Melihat kondisinya, bisa dipastikan pantai ini belum banyak dikunjungi wisatawan. Masih alami-masih perawan. Cekungan yang terbentuk menjadi rendezvous beberapa ikan. Tanganku menangkup air menghasilkan bunyi tapi terpangkas gelegar ombak. Beberapa batu berserak dengan berbagai ukuran, warnapun beragam: merah, kuning gading, biru, putih.

Perasaan tenang terapung begitu jari kaki dikerumuni butiran pasir.

Dok. Pribadi
Dok. Pribadi
Dok. Pribadi
Dok. Pribadi
Seonggok buntalan rumput melayang, tersembul dari balik batu karang. Aku dibuat kaget. Ternyata seorang petani bersenjata sabit memanggulnya diatas kepala.

"Monggo pak", sapaku.

bapak itu tersenyum. "Rencangi pundi, mas?", tanya si bapak

"Kulo piyambakan"

Wajah kaget tercetak. Sepertinya tidak percaya kalau saya sendirian ke pantai ini.

"Ngatos-atos mas", nasehat petani tersebut, langkahnya dilanjutkan menuju sisi tebing sebelah barat. Ternyata bapak itu tidak sendirian. Menyusul kemudian dua rekannya yang juga memanggul rumput. Saya yakin buat pakan ternak, kalau tidak sapi atau kambing. Bisa juga dua-duanya. Mereka beristirahat dibawah keteduhan.

Petani itu bersama temannya kemudian berjalan ke bagian pantai yangg penuh cekungan sambil menunduk. Tangannya sesekali bergerak menggunakan sabit untuk mencongkel sesuatu. Pas aku tanyai, mereka menjawab sedang cari kerang buat lauk dirumah.

Pantai Kalimirah bermurah hati menyediakan pernik yang bisa dikonsumsi.

Dok. Pribadi
Dok. Pribadi
Kalimirah menurut cerita bapak tadi memang akan dikomersialkan. Itu bagus dan harus. Potensi yang ada layak untuk ditampilkan. Salah satu upayanya adalah membangun infrastruktur jalan hingga ke Kalimirah-walau belum selesai. Banyak yang belum tahu kalau Wonogiri mempunyai daerah pantai.

Seandainya tahu, paling hanya Nampu dan Sembukan yang familiar. Padahal, masih ada pantai Pringjono, Kwaru, Parangireng, Parangkulon (masuk wilayah desa Gunturharjo) kemudian pantai Klothok, Banyutowo, Mangetan, Nglojok (masuk kedalam desa Paranggupito). Menjadikan sebuah tempat destinasi wisata akan menggerakkan roda ekonomi rakyat.

Dok. Pribadi
Dok. Pribadi
Ambil contoh, Pantai Buyutan. Tahun 2012 saya bersama beberapa kawan mengunjungi spot tersebut. Masih sepi. Kejadiannya hampir sama dengan cerita saya tentang Pantai Kalimirah. Setelah usai tour ke pantai Klayar, pulangnya kena bujukan sebuah papan kecil bertulisan Pantai Buyutan. 

Ya sudah, datangi saja. Karena belum dikelola kita bebas masuk tanpa tiket. Saya masih ingat bertemu beberapa orang pemburu burung. Sekarang Buyutan sudah dipersolek.

Kecantikannya mampu menarik perhatian wisatawan. Hal sama sepatutnya dilakukan juga untuk pantai Kalimirah serta lainnya. Apalagi dengan-nanti-terbukanya jalur selatan jawa yang membentang di wilayah itu. Diharapkan wisatawan berbondong-bondong ngluruk menikmati pesisir pantai kabupaten Wonogiri. [selesai]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun