Mohon tunggu...
Sri Romdhoni Warta Kuncoro
Sri Romdhoni Warta Kuncoro Mohon Tunggu... Buruh - Pendoa

• Manusia Indonesia. • Penyuka bubur kacang ijo dengan santan kental serta roti bakar isi coklat kacang. • Gemar bersepeda dan naik motor menjelajahi lekuk bumi guna menikmati lukisan Tuhan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Penyeru dari Suku Bayang

20 Januari 2014   13:28 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:39 30
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bersenjata sitar kian terbang tanpa kepalang. Kumal perwujudan nyata. Wadagnya mengandung arsenik. Bila didekati orang-orang dijamin kelabakan. Menusuk lubang-lubang hidung, menghantam pilar sumbu otak.

Belantara kota ini bagian ritual tetap. Penampakan jangan diharap. Mereka laksana halimun. Sesal kedatangan bagi pemegang hegemoni. Syairnya  sederhana bagai pribadi Semar.

Kenapa harus mengiyakan jika sebuah anjuran bertentangan dengan jalan Tuhan?/ Kenapa harus tertawa lebar bila gurauan penuh satire raskal?/ Kenapa selalu manut jika pemimpinnya pendek akal?/ Kenapa harus?/ Dan kenapa harus? bila hatimu mengingatkan: "Kenapa harus?"

Siang merupakan bekal. Kakinya besi hingga mampu menempuh perjalanan ribuan jangkar.

Dari sebuah lembah dibentang gunung, didasari perhitungan kuno, mereka bergerak menyebar menjelajahi tanah Tuhan. Tidak ada batasan. Mereka anak-anak bumi dengan bapak matahari. Birokrasi perjalanan tidak menyentuh akal pikiran. Pembungkus badan berasal dari daun-daun yang dipintal. Kaki tanpa alas. "Ibu akan marah jika kaki beralas". Nirpelajaran yang membolehkan mereka menyakiti sesama.

Suku bayang julukan yang mereka terima dari manusia sistem kota. Di arena berjubel kepala, sitar pasti berbunyi dan mendominasi. Sebuah kekuatan dahsyat mereduksi bunyi-bunyi lain. Tersihir temporer, syair percik kesedihan mengapung disaat negeri singgahnya kuyub permasalahan.

Banyak kasih diputar/ Menghujam benak perempuan baya/ Dibandara ia menyemarakkan langkah/ Dua kali menatah bukit marjan/ Berkirim hasil pertarungan/ Banyak kasih diputar/ Menghujam benak perempuan baya/ Semenanjung Arab sungguh genit/  Perayu para peminat/ Mengumbar tawa bersandiwara/ Perempuan baya bergeming kuat/ Sudah tidak ada kasih baginya/ Perempuan baya terluKa tergolek lemah/ Masuk arena pertarungan dikandang serigala/ Perempuan baya merana/ Gigitan serigala gurun mematikan harga diri/ Ia meradang, serigala dibanting disikat habis/ Mata sepi diadili otoritas tanpa pendamping/ Ia masuk obituari ditebas ketidakadilan.

Seruan suku bayang lebat menghujam. Gendang telinga bergetar, membran hati teriris. Syairnya mendengung lebah menghantam bilik-bilik kekuasaan.

Penguasa!/ Seruput kopimu pagi ini merupakan seruput pahit seorang gembel yang kami temui didepan istana/ Apa agenda hari ini untuk perbaikan yang lebih baik buat tanah warisan?

Semakin matahari bersinar suku bayang diam dalam jalan. Berhenti kala intuisi mengisyaratkan untuk bermain. Angin mengiringi setiap langkah menembus belantara pekat buana.

"Kelompok ini harus diawasi. Mereka teroris, kata-katanya merupakan bom waktu. Menganjurkan perubahan radikal bahkan cenderung provokatif. Kita sudah berubah! Rakyat juga tahu. Kita ini pejabat birokrat. Ada sistem yang mengatur. Tidak sembarangan seperti gumpalan sampah ciliwung"

Kaktus tidak pernah sakit hati tumbuh dikering padang/ Lumut tidak pernah jumawa hidup ditempat mapan/ Manusia seharusnya mampu berseragam jiwa-jiwa tanaman.

"Kalau perlu diberangus!"

"Tapi ada otoritas internasional. Kita tidak bisa meluluhlantakkan secara kasat mata"

"Alaaah..Munir saja bisa kita "kafani", apalagi mereka. Bikin skenario bencana!"

Bila waktu mampu berkata mungkin ia meminta jeda/ Bila kelopak menutup mata bisa jadi itu temporer atau perenial/ Bila manusia tidak melupakan masa ia akan menangguk untung.

"Berapa yang telah kita habiskan hingga meraih tampuk kekuasaan ini?"

"Sekian-sekian milyar, boss"

"Lebihkan sedikit bagian kita. Harus untung! jangan buntung. Rakyat kita goblok-goblok, mereka tidak akan tahu. Negeri masih berlimpah marjan, kekuasaan bagian dari bisnis!"

"Oke, boss'

Langit mendung berkubang nestapa/ Kemangi muda dimulut Rahwana raja/ Digulung liur bacin diantara dua dunia/ Menyedihkan..../ Bukan suratan? Inikah pilihan?/ Sebuah jalan telah mereka masukkan dalam kontrak kehidupan/ Seberapa mahalkah harga sebuah penyesalan?

Kebakaran melanda batang negeri. Gemeretak api merobek pilu rakyat pinggiran. Hitam hangus menangis serak. Suku bayang memandang getir prosesi pembersihan. Semakin riuh jelaga menempel berat.

Didataran lain banjir membuka mulut, longsor menekuk lumat.

"Sukses, boss"

"Semuanya? jangan ABS! tiga karakter ini kerap digunakan untuk menyudutkan kebijakan kita. Nyinyir perilaku mereka"

"Lihat saja beritanya beberapa jam lagi, boss"

"Berapa banyak yang kita tebang? Kamu sisakan sedikitkan? seperti rancang brillian yang disepakati?"

"Sekian ribu hektar, pokoknya sip!"

"Masukkan rekening luar. Ingat, gunakan aplikasi tikus"

Makhluk-Mu ada di bumi-Mu/ Berkubang , telanjang, aneka ragam/ Jelaga disana-sini bercampur peluru binal/ Makhluk-Mu ada di bumi-Mu/ Arogan, berkacak pinggang, mati hati/ Selalu menghirup rahmat-Mu.

Syair-syair tambah membahana mengisi kolong langit. Semarak bertempel-tempel. Telinga-telinga dilingkar penguasa sakit.

"Sumpal mulut mereka!"

"Keberadaan mereka sulit dijamah"

"Habitatnya?'

"Sebuah lembah tenggara kotapraja"

"Bumi hanguskan!"

"Tapi...."

"Tapi apa?!"

"Ada perempuan dan anak-anak"

"Tidak peduli. Kamu mau kekuasaan kita diganggu? itu subversif, legal dimusnahkan!"

"Laksanakan!"

Mulut kumal bersendawa/ Lelah berterak,'Merdeka!'/ Tanpa kata 'mati'/ Bertahun-tahun berbasah wacana kuyub peristiwa/ Sekali merdeka tetap merdeka?/ Tanah berpijak digadai murah? Sumber daya milik siapa?/ Merdeka? dimana kemedekaan dapat ditemukan?/ Ditanah retak penuh epidemi?/ Merdeka telah mati suri ditanah ini.

Disebuah malam tanpa taburan bintang serta nircahaya bulan. Makhluk besi mengangkasa menuju tenggara. Dingin tanpa emosi kaku benalu. Tepat dilembah yang dituju bom tandan dijatuhkan. Semerbak bau mesiu menekak. Bunga api berkalang. Tak ada teriakan kesakitan, hanya syair perlawanan.

Sadar telah kalian ledakkan tanah Tuhan tanpa peri/ Ada telaga ikhlas/ Kenapa memilih kawah membuncah?/ Langit digelapi detasemen gagak/ Tak sanggup menterjemahkan hasrat/ angkara dijadikan senjata/ Merdeka!/ Kata yang semakin samar dari hakekat. [TAMAT]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun