Mohon tunggu...
Rio Rio
Rio Rio Mohon Tunggu... Administrasi - Hehehe

Words kill, words give life, They're either poison or fruits- You choose. Proverbs 18:21

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Artikel Utama

Merdeka dalam Berpikir Batasi dalam Bertindak

18 Agustus 2022   11:20 Diperbarui: 25 Agustus 2022   12:30 769
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
illustration by; dreamstime.com [ID169041681] (c) kostas1gr

Sudah tujuh puluh tujuh tahun hak berpendapat setiap orang dijamin oleh negara sebagaimana juga tertuang dalam pasal 28 E ayat (3) Undang- Undang Dasar 1945.

Tetapi bagaimana menguji efektifitas pasal tersebut di tengah masifnya perkembangan teknologi dan gelombang bonus demografi yang menciptakan mayoritas warga negara di dominasi usia 16-24 tahun? 

Apakah harus membandingkan data orang-orang yang di tangkap karena melanggar rambu-rambu berpedapat yang tetuang dalam peraturan turunan seperti Undang-Undang ITE?

Berpendapat dijelaskan sebagai buah pikir seorang individu yang di bangun melalui fakta, pengalaman, wawasan, ataupun respons atas norma-norma umum yang tumbuh dan berkembang sebelumnya. 

Pemikiran yang dalam, panjang, dan luas tentunya akan menciptakan opini yang kuat pula, sehingga tak jarang hasil pemikiran itu dijadikan sebuah kebenaran bagi sebuah kelompok atau organisasi bahkan dianggap menjadi masalah baru dalam tatanan kehidupan sosial.

Masifnya perkembangan teknologi dan di dukung dengan mayoritas penduduk dengan usia produktif, menjadikan jagat dunia maya sebagai tempat paling nyaman dan mudah untuk menyampaikan pendapatnya tanpa harus bertemu langsung. 

Saking berpengaruhnya, sejak beberapa tahun kebelakang pendapat publik di ranah dunia maya sampai dijadikan indikator pertimbangan utama bagi pemerintahan sebelum melakukan perubahan atas kebijakan tertentu. 

Lalu, apakah dengan begitu, sebuah pendapat yang lahir dari pemikiran kritis selalu menjadi ancaman bagi nilai-nilai sosial dan budaya yang sudah tumbuh sebelumnya?

Tabu Vs Free Thinker

Indonesia memang menjamin hak dalam berpendapat setiap warga negaranya, namun berpikir adalah kebebasan manusia sebagai mahluk sosial. 

Berpikir inilah yang menjadi sebuah "sebab" dan berpendapat sebagai sebuah "akibat" yang sering kali di paksa untuk saling berjalan bersama sehingga banyak terjadi permsalahan yang muncul setelahnya.

Di Indonesia banyak hal-hal yang dianggap tabu yang lahir dari kebiasaan atau norma-norma  tradisional yang terus di jaga sampai turun temurun, contohnya pembatasan informasi tentang seksualitas yang baru boleh di ketahui seseorang ketika ia telah dewasa. 

Salah satu akibat yang terasa karena hal ini adalah  dorongan atas rasa penasaran yang kuat dan akhirnya menyebabkan tingginya tingkat kehamilan di luar nikah, pelecehan seksualitas, tingginya tingkat aborsi atau  kegagalan persalinan karena karena usia muda.

Kini, pendidikan seksualitas malah di galakkan sejak usia dini, agar dapat mengurangi tindakan negatif yang muncul karenanya. 

Namun tidak sampai di situ, informasi tentang seksualitas seperti di atas menjadi terus berkembang dengan konsep yang lebih luas dan lebih dalam, karena salah satu faktor tumbuhnya pemikiran dari kaum Free Thinker.

Menurut Oxford dictionaries Free thinker is a person who forms their own ideas and opinions rather than accepting those of other people, especially in religious teaching atau dapat diterjemahkan bahwa Free Thinker adalah seseorang yang membentuk ide atau pandangannya sendiri daripada harus menerima ide dan pendapat orang lain, terutama dalam ajaran agama.

Free Thinker yang membentuk pandangannya sendiri untuk mengupas lebih dalam tentang seksualitas yang tadinya merupakan hal tabu seperti di negara ini, diubah menjadi sebuah pengetahuan umum, dan kembali menjadi luas dan dalam seperti berpandangan untuk menyetujui bahwa LGBT atau hubungan sejenis merupakan hal yang layak dan menjadi umum dalam kehidupan sosial.

Contoh pandangan seorang free thinker tentang pembenaran hubungan seksual antar sejenis tidaklah salah, terlebih ia melihat dari sudut pandang hak asasi seorang manusia yang dapat memilih apapun sesuai khendaknya. 

Namun, pemikiran seperti ini tidak dapat serta merta di bawa ke Indonesia, karena jelas menabrak norma-norma tradisional yang di bangun dari kebudayaan termasuk dari sisi agama.

Selain era globalisasi dan keterbukaan informasi, gaya berpikir Free Thinker dipengaruhi juga oleh mayoritas kaum-kaum intelek yang sempat belajar di negara-negara maju dan datang kembali ke Indonesia.

 Mereka membawa pemikiran-pemikiran baru yang dirasa lebih rasional dan bebas dalam memandang sesuatu tanpa lagi harus melihat nilai-nilai dalam sebuah kehidupan sosial yang masih melekat.

Kekalutan pola pikir anak muda

illustration by; dreamstime.com [ID169041681] (c) kostas1gr
illustration by; dreamstime.com [ID169041681] (c) kostas1gr

Kekalutan pola pikir menjadi hal yang wajar terjadi di era digitalisasi yang masif dan tak terbendung ini. 

Belum lagi berbicara tentang faktor usia yang terlalu muda dan akses informasi yang tak terbatas sehingga menjadikan nilai-nilai budaya yang dulu di aggap sakral terus tergerus akibat pola pikir yang terlampau dalam dan tidak terarah.

Jika kembali pada contoh pandangan FreeThinker yang membawa konsep kewajaran atas hubungan sesama jenis, terdapat sebuah kecepatan perubahan paradigma tentang kaum LGBT yang dulu di kucilkan dalam kehidupan bermasyakarat, kini dengan bangga membagikan video kehidupan kesehariannya. 

Belum lagi tentang "panggung" yang disiapkan oleh publik figur untuk kaum LGBT yang seolah-olah turut setuju untuk menghilangkan nilai-nilai dalam agama dan norma-norma budaya tertentu. 

Tindakan-tindakan asusila yang menyeret pemuka agama, yang meruntuhkan benteng "agama" di mata kaum millennial yang akhirnya membuat mereka beragama sebagai bentuk formalitas saja.

Kekalutan pola pikir generasi millennial menjadi semakin menjadi-jadi lantaran ilmu di bangku pendidikan formal ataupun ajaran mengenai budaya yang di terima sedari kecil dirasa tidak lagi sesuai untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan dalam kehidupan sosial yang lebih luas.

Pembatasan tindakan

Merdeka dalam berpikir, atau menjadi  seorang free thinker bukan menjadi salah siapa pun, namun setiap pemikiran juga tidak harus di tunjukan dengan cara yang ekstrem. Kelahiran pemikiran seseorang pasti sangat dipengaruhi dengan masalah yang muncul di sekitarnya, lalu di dukung pula dengan situasi dan kondisi yang relevan pada saat itu. 

Sehingga sangat penting bagi kita untuk melihat konteks secara utuh sebelum mengatakan bahwa sebuah pendapat itu benar atau salah dan menempatkan "rasa" dalam logika berpikir agar nilai-nilai sosial budaya yang baik tetap terjaga.

Maka selanjutnya, kita sebagai generasi muda tidak takut dalam berpikir kritis, namun tetap terbatas dalam bertindak. Cerminkan sikap bangga sebagai seorang bangsa timur yang beradab tanpa menghilangkan identitas norma-norma sosial budaya dan agama. RP

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun