Kekalutan pola pikir anak muda
Kekalutan pola pikir menjadi hal yang wajar terjadi di era digitalisasi yang masif dan tak terbendung ini.Â
Belum lagi berbicara tentang faktor usia yang terlalu muda dan akses informasi yang tak terbatas sehingga menjadikan nilai-nilai budaya yang dulu di aggap sakral terus tergerus akibat pola pikir yang terlampau dalam dan tidak terarah.
Jika kembali pada contoh pandangan FreeThinker yang membawa konsep kewajaran atas hubungan sesama jenis, terdapat sebuah kecepatan perubahan paradigma tentang kaum LGBT yang dulu di kucilkan dalam kehidupan bermasyakarat, kini dengan bangga membagikan video kehidupan kesehariannya.Â
Belum lagi tentang "panggung" yang disiapkan oleh publik figur untuk kaum LGBT yang seolah-olah turut setuju untuk menghilangkan nilai-nilai dalam agama dan norma-norma budaya tertentu.Â
Tindakan-tindakan asusila yang menyeret pemuka agama, yang meruntuhkan benteng "agama" di mata kaum millennial yang akhirnya membuat mereka beragama sebagai bentuk formalitas saja.
Kekalutan pola pikir generasi millennial menjadi semakin menjadi-jadi lantaran ilmu di bangku pendidikan formal ataupun ajaran mengenai budaya yang di terima sedari kecil dirasa tidak lagi sesuai untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan dalam kehidupan sosial yang lebih luas.
Pembatasan tindakan
Merdeka dalam berpikir, atau menjadi  seorang free thinker bukan menjadi salah siapa pun, namun setiap pemikiran juga tidak harus di tunjukan dengan cara yang ekstrem. Kelahiran pemikiran seseorang pasti sangat dipengaruhi dengan masalah yang muncul di sekitarnya, lalu di dukung pula dengan situasi dan kondisi yang relevan pada saat itu.Â
Sehingga sangat penting bagi kita untuk melihat konteks secara utuh sebelum mengatakan bahwa sebuah pendapat itu benar atau salah dan menempatkan "rasa" dalam logika berpikir agar nilai-nilai sosial budaya yang baik tetap terjaga.