Mohon tunggu...
Rio Rio
Rio Rio Mohon Tunggu... Administrasi - Hehehe

Words kill, words give life, They're either poison or fruits- You choose. Proverbs 18:21

Selanjutnya

Tutup

Humaniora featured

Bonus Demografi; Terpeleset Keras di Gagasan Budi Utomo

20 Mei 2021   15:58 Diperbarui: 20 Mei 2022   08:45 523
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
kebudayaan.kemendikbud.go.id

Memang tak dapat di pungkiri, di beberapa bidang spesifik, pemerintah mulai menempatkan orang-orang dengan usia produktif di posisi-posisi penting seperti pembuat kebijakan atau pengambil keputusan, tetapi masalahnya apakah mereka sudah tepat sasaran, tepat mental dan tepat kesadaran akan gagasan kebangkitan nasional hari ini? Atau jangan-jangan malah sengaja di berikan posisi hanya untuk bantalan.

Sanggahan itu menjadi sangat krusial untuk di jawab, terlebih sampai dimana peran negara mendukung gagasan-gagasan mulia Budi Utomo untuk mengedepakan kecerdasan nasional yang merata, apalagi tadi pagi muncul berita yang cukup viral dengan judul "Jalanin Ritual karena diyakini kerasukan Genderuwo, Balita di temanggung tewas" atau agak miris kalau membaca artikel yang membahas "Dampak Tik-tok pada generasi sosial Milineal" atau yang agak lebih seru dengan artikel 2 tahun lalu "Ditegur saat main HP dikelas, murid pukul guru dengan kursi"

Jadi merujuk ke berita tersebut dan tanpa pejelasan yang eksplisit, sudah bisa dikatakan jika gagasan Budi Utomo memang tidak dapat serta merta disandingkan hanya kepada penduduk yang berumur produktif saja namun seseorang juga harus  sadar diri memiliki jiwa intelek.

Mungkin kesulitan seperti inilah yang dirasa pendiri Budi Utomo dulu, sehingga memutuskan untuk bergabung dengan partai politik agar memiliki kekuasaan yang luas untuk mengimplementasikan gagasannya secara merata dan berkeadilan di level nasional.

Produktif tapi intelek atau produktif tapi non intelek

Berbicara muda dan berintelek di jaman Budi utomo dan Zaman now maka akan memiliki gap yang sangat jauh. Apalagi jika "intelek" di kategorikan hanya sebagai orang yang memiliki gelar sarjana. Contoh jika  menghitung secara kasar saja, jika ada 10 universitas nasional di suatu daerah dan masing-masing dapat melakukan wisuda 3 kali dalam setahun dengan rata-rata 200 orang per satu kali periode wisuda, berarti di daerah tersebut setiap tahun akan ada 6000 sarjana baru yang siap mempunya sertifikasi S1.

Contoh ini pun masih belum melibatkan berapa lulusan anak negeri yang kuliah di luar negeri dan datang kembali ke negaranya dengan gelar yang setara.

Sayangnnya, jika berbicara fakta di lapangan, jumlah perguruan tinggi, akademi, dan lainnya yang setara menjamur tanpa kontrol yang ketat dari pemerintah, sampai saya berpikiri apakah tidak cukup baik jika jumlah universitas di buat lebih sedikit sehingga benar-benar dapat menyaring kualitas lulusanya.

Bisakah kita menjawab secara pasti, jika dari 6000 lulusan sarjana yang bertarung mendapakan kerja, berapa orang yang nantinya benar-benar memiliki mental untuk terus ikut serta membangun gagasan Budi Utomo di tempat kerja-nya?

Atau mereka hanya tenggelam pada siklus gaya konsumtif dengan gaji yang di dapatnya? Atau malah memandang uang sebagai tolak ukur intelektual seperti artikel "Viral Fresh Graduate Tolak gaji 8 juta, Ini besaran gaji alumni UI"

Ya uang bukannya tidak penting, siklus kebudayaan yang diwariskan adalah seperti itu adanya. Setiap orang dengan usia produktif akan mencari secara mandiri kebutuhannya sendiri setelah lulus menjadi seorang sarjana.dan lepas dari label seorang "maha" dan "siswa".

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun