Mohon tunggu...
Rio Rio
Rio Rio Mohon Tunggu... Administrasi - Hehehe

Words kill, words give life, They're either poison or fruits- You choose. Proverbs 18:21

Selanjutnya

Tutup

Humaniora featured

Bonus Demografi; Terpeleset Keras di Gagasan Budi Utomo

20 Mei 2021   15:58 Diperbarui: 20 Mei 2022   08:45 523
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
kebudayaan.kemendikbud.go.id

20 Mei 1908 di catat sebagai hari lahirnya organisasi Budi Utomo. Ya organisasi ini dibentuk dari beberapa mahasiswa STOVIA ((School tot Opleiding van Indische Arsten), Dr Soetomo, Soeraji Tirtonegoro, Goenawan Mangoenkoesoemo, dan tokoh lainnya.

Berdirinya Budi Utomo juga menjadi tonggak perubahan mindset perjuangan dengan gaya old school, sebab para pendiri dan anggota organisasi ini mencetuskan nilai-nilai perjuangan baru yang tidak hanya mengandalkan kekuatan fisik namun menggunakan kekuatan pemikiran.

Gagasan Budi utomo dengan nilai-nilai perjuangan baru, ternyata menarik banyak anggota dan simpatisan dalam waktu yang singkat, tentu saja rata-rata anggotanya adalah kaum tengah alias intelek alias anak muda yang berpendidikan.

Harapannya, mereka dapat turut serta dalam mencerdaskan kehidupan bangsa melalui bidang sosial, pendidikan, pengajaran dan kebudayaan dan dengan tegas menghindari politik, walau pada khirnya pada tahun 1935 organisasi ini melebur ke Partai Indonesia raya (Parindra) yang di pimpin Soetomo karena disadari banyak hal yang diperlukan untuk mencapai gagasan mereka dan harus tetap bekerjasama dengan pemerintah.

Di lain sisi, dengan pergerakan massif dan gagasan "mencerdaskan bangsa", organisasi ini menjadi ancaman bagi bebereapa golongan, khususnya kaum bangsawan yang mengatakan bahwa Budi utomo akan merubah struktur sosial yang ada.

Mungkin pergerakan kontra tersebut sangat tidak asing, karena setiap perubahan yang menuju kemajuan atau modernisasi, memerlukan waktu yang cukup lama untuk di adopsi dan di adaptasi. Dalam bahasa yang lebih ringan dapat dikatakan bahwa, banyak para bangsawan yang takut gagal move on dari zona nyaman.

Bonus demografi 2020 Vs Gagasan Budi Utomo 1908

Menyadur dari United Nations Population Funds bonus demografi adalah kondisi ketika masyarakat berusia produktif lebih banyak dari non-produktif. Usia produktif yang dimakasud adalah rentang umur 15 -- 64 tahun sedangkan non-produktif adalah umur di bawah 15 tahun dan di atas 64 tahun.

Bonus demografi ini akan terjadi hanya sekali sepanjang sejarah, dimana masyarakat berusia produktif menguasi 70% populasi negara. Nah di Indonesia sendiri, bonus demografi ditaksir akan terjadi sepanjang tahun 2020 -- 2030.

Bonus demografi nampaknya menjadi sangat istimewa, apalagi jika negara mengambil hal ini sebagai aji mumpung untuk mengukir kebangkitan nasional dengan gaya anak muda zaman now namun tetap tanpa menyudahi gagasan inti Budi Utomo.

Memang tak dapat di pungkiri, di beberapa bidang spesifik, pemerintah mulai menempatkan orang-orang dengan usia produktif di posisi-posisi penting seperti pembuat kebijakan atau pengambil keputusan, tetapi masalahnya apakah mereka sudah tepat sasaran, tepat mental dan tepat kesadaran akan gagasan kebangkitan nasional hari ini? Atau jangan-jangan malah sengaja di berikan posisi hanya untuk bantalan.

Sanggahan itu menjadi sangat krusial untuk di jawab, terlebih sampai dimana peran negara mendukung gagasan-gagasan mulia Budi Utomo untuk mengedepakan kecerdasan nasional yang merata, apalagi tadi pagi muncul berita yang cukup viral dengan judul "Jalanin Ritual karena diyakini kerasukan Genderuwo, Balita di temanggung tewas" atau agak miris kalau membaca artikel yang membahas "Dampak Tik-tok pada generasi sosial Milineal" atau yang agak lebih seru dengan artikel 2 tahun lalu "Ditegur saat main HP dikelas, murid pukul guru dengan kursi"

Jadi merujuk ke berita tersebut dan tanpa pejelasan yang eksplisit, sudah bisa dikatakan jika gagasan Budi Utomo memang tidak dapat serta merta disandingkan hanya kepada penduduk yang berumur produktif saja namun seseorang juga harus  sadar diri memiliki jiwa intelek.

Mungkin kesulitan seperti inilah yang dirasa pendiri Budi Utomo dulu, sehingga memutuskan untuk bergabung dengan partai politik agar memiliki kekuasaan yang luas untuk mengimplementasikan gagasannya secara merata dan berkeadilan di level nasional.

Produktif tapi intelek atau produktif tapi non intelek

Berbicara muda dan berintelek di jaman Budi utomo dan Zaman now maka akan memiliki gap yang sangat jauh. Apalagi jika "intelek" di kategorikan hanya sebagai orang yang memiliki gelar sarjana. Contoh jika  menghitung secara kasar saja, jika ada 10 universitas nasional di suatu daerah dan masing-masing dapat melakukan wisuda 3 kali dalam setahun dengan rata-rata 200 orang per satu kali periode wisuda, berarti di daerah tersebut setiap tahun akan ada 6000 sarjana baru yang siap mempunya sertifikasi S1.

Contoh ini pun masih belum melibatkan berapa lulusan anak negeri yang kuliah di luar negeri dan datang kembali ke negaranya dengan gelar yang setara.

Sayangnnya, jika berbicara fakta di lapangan, jumlah perguruan tinggi, akademi, dan lainnya yang setara menjamur tanpa kontrol yang ketat dari pemerintah, sampai saya berpikiri apakah tidak cukup baik jika jumlah universitas di buat lebih sedikit sehingga benar-benar dapat menyaring kualitas lulusanya.

Bisakah kita menjawab secara pasti, jika dari 6000 lulusan sarjana yang bertarung mendapakan kerja, berapa orang yang nantinya benar-benar memiliki mental untuk terus ikut serta membangun gagasan Budi Utomo di tempat kerja-nya?

Atau mereka hanya tenggelam pada siklus gaya konsumtif dengan gaji yang di dapatnya? Atau malah memandang uang sebagai tolak ukur intelektual seperti artikel "Viral Fresh Graduate Tolak gaji 8 juta, Ini besaran gaji alumni UI"

Ya uang bukannya tidak penting, siklus kebudayaan yang diwariskan adalah seperti itu adanya. Setiap orang dengan usia produktif akan mencari secara mandiri kebutuhannya sendiri setelah lulus menjadi seorang sarjana.dan lepas dari label seorang "maha" dan "siswa".

Namun yang tak kalah penting adalah, bagaimana mengantarkan dan membulatkan tekad tentang tanggung jawab seorang sarjana untuk turut serta aktif membangun bangsa dengan ktirik-kritik membangun dan ide-ide segar yang di tawarkan walaupun mereka bekerja sebagai buruh, manager, atau pada level dan dibidang apapun pekerjaannya.

Gagasan Budi Utomo dengan Gaya Masa kini

Ya, setelah kesana kemari membahasa kebangkitan nasional di era ini, anehnya hari ini pun belum banyak media streaming online yang muncul membahas kritik untuk membangkitkan kembali semangat peringatan kebangkitan nasional ini. Kebanyakan hanya mengutip berita tentang keguguran salah satu istri influencer yang baru nikah.

Sekali lagi, mencerdaskan bangsa tidak harus turun kejalan lalu mengajari orang-orang yang membutuhkan, mencerdaskan bangsa tidak harus selalu menjadi seorang guru, mencerdaskan bangsa juga tidak harus menunggu punya jabatan, tetapi kebangkitan nasional masa kini menuntut setiap penduduk khusunya dengan umur produktif, untuk  terus ikut serta mencerdaskan bangsa dengan cara-cara yang juga cerdas, misalanya terus belajar dan berkarya yang positif di sosial media, tidak takut untuk mengkritik, menulis sajak-sajak kuat nan elegan seperti rendra diwaktu yang luang, mulai berpikir panjang sebelum bertindak, buat konten mendidik mengomentari dengan sopan, bahkan dapat berjuang melalui kebijakan-kebijakan perusahaan dimanapun ia ditempatkan dan dilibatkan.

Setelah itu, peran negara-lah yang akan kita tuntut apakah akan terus mendukung atau akan mengurung. apakah akan bergandengan atau tetap tunduk kepada kroni priai.

Hmm sudah terlalu jauh dan melebar pembahasan ini, saya harap generasi dengan umur produktif yang merasakan masuk dalam bonus demografi, dapat memulai untuk berpikir kritis dengan gaya-nya masing-masing agar nantinya gagasan Budi Utomo dapat terlahir kembali dengan sampul yang baru dan  prisip yang sama di bawah bendera anak muda yang berwawasan luas, adil dan humanis

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun