Akibat hal itu, maka wajar saja banyak terdakwa koruptor berjenis kelamin wanita terkesan curhat di dalam pledoi-nya sehingga dapat menggugah perasaan hakim diluar perkara yang dipersidangkan dan diharapkan muncul rasa iba yang dapat mempengaruhi pengurangan putusan.Â
Sementara terdakwan koruptor pria, terlihat sangat gigih dengan definis pledoi, yang diterjemahkan sebagai bantahan atas tuntutan jaksa, sehingga apapun akan dilakukan selama pertimbangan yuridis dalam pledoi itu masuk akal, walapun harus menjutifikasi kebenaran melalui jalan pikirnya sendiri.
Tetapi anehnya saat sadar melakukan tindak pindana korupsi atau menerima gratifikasi, perbedaan kodrat sama sekali tidak terlihat dalam perilaku para terdakwa koruptor. Wanita tidak merasa bahwa dampak dari korupsi akan menyakiti perasaan keluarga dan rakyat miskin sedangkan pria menolak berlogika bahwa setiap akibat ada penyebabnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H