Permasalahan pemisahan harta dalam Pernikahan menjadi isu yang biasa diterapkan dalam Pernikahan campuran (antara Warga Negara Asing (WNA) dan Warga Negara Indonesia (WNI)). Â Tetapi seiring perkembangan jaman, isu pemisahan harta juga mulai di praktik-kan pada Pernikahan dengan status warga negara yang sama, seperti yang terjadi di Indonesia saat ini.
Sejak 1974, Negara telah mengatur bahwa harta benda seorang wanita maupun pria yang terikat dalam sebuah Pernikahan menjadi harta milik bersama, sebagaimana yang dijelaskan dalam Pasal 35 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan (UU Perkawinan) sebagai berikut :
1. Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama.
2. Harta bawaan dari masing-masing suami dan istri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah di bawah pengawasan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain
Pemahaman yang diberikan dalam UU Perkawinan tersebut, menjelaskan secara eksplisit bahwa setelah seorang wanita dan laki-laki melangsungkan Perkawinan tanpa menentukan hak lainnya (membuat kesepakatan sebelum menikah), maka harta benda yang mereka miliki digolongkan sebagai harta bersama.
Klausul penetapan harta bersama yang diatur UU Perkawinan itu, menjadi polemik dalam kehidupan rumah tangga saat ini. Ada yang beranggapan hal tersebut menguntungkan, tetapi banyak pula yang beranggapan bahwa perjanjian Pra-nikah akan menciptakan perselisihan yang serius dalam rumah tangga sebuah keluarga. Untuk itu, Perjanjian pra-nikah bukan hanya dibuat karena egosentris salah satu pasangan saja, tetapi harus secara matang dilihat dari keperluan dan tujuannya.Â
Pada Pernikahan Campuran
Perjanjian Pra-Nikah sangat penting dilakukan pada Pernikahan campuran, hal ini dimaksudkan agar pasangan yang berkewarganegaraan Indonesia tetap dapat memiliki asset yang berada di wilayah Indonesia. Seperti kepemilikan tanah ber-status Hak Milik maupun Hak Guna Bangunan (HGU). Hal ini dikarenakan Pasal 26 Ayat 3 Undang-Undang No.5 Tahun 1960 Tentang Pokok-Pokok Agraria  (UU PPA) melarang kepemilikan tanah oleh WNI yang kehilangan status kewarganegaraanya akibat dari Pernikahan, pewarisan ataupun dengan cara lain-nya
Pada Pernikahan Biasa
Pekerjaan seorang suami mendasari pentingnya Pernikahan untuk dibuat, terlebih jika seorang suami dikategorikan sebagai businessman.Dengan adanya perjanjian Pernikahan, Suami akan merasa lebih nyaman dalam melakukan kegiatan bisnisnya, karena pihak istri tidak akan dilibatkan dalam setiap transaksi bisnis yang dilakukan suaminya, baik dalam hal utang, piutang maupun tuntutan atas adanya kepailitan (Jika menjadi pemegang saham). Hal ini sangat penting untuk dipikirkan kembali, karena dengan adanya harta yang terpisah, maka harta benda seorang istri tetap aman dan tetap dapat memenuhi kebutuhan hidup anak jika terjadi hal yang tidak diinginkan.
Banyak yang menganggap bahwa perjanjian pra-nikah berusaha menakar cinta abadi dalam sebuah pernikahan, tetapi setiap permasalahan harus dilihat lebih luas dengan menggunakan sudut pandang yang luas pula. Para pasangan yang hendak menikah harus mempertimbangkan dengan benar tentang tujuan yang digunakan dalam perjanjian pra-nikah ini. Jangan sampai perjanjian pra-nikah yang telah dibuat malah menimbulkan masalah dalam rumah tangga.
Lalu bagaimana jika, membuat perjanjian Pra-Nikah akan dilakukan setelah menikah? Beruntung, karena sejak adanyanya Putusan Mahakamah Konstitusi  Nomor 69/PUU-XIII/2015 Tahun 2015, setiap pasangan dapat membuat perjanjian pra nikah pada waktu sebelum dilangsungkan, atau selama dalam ikatan Pernikahan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H