Mohon tunggu...
Tika Andira
Tika Andira Mohon Tunggu... Freelancer - 作家 / Content Writer

歴史と政治

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

MDTA Galuang, Satu-satunya MDTA yang Masih Melestarikan Budaya Surau "Mamakiah" di Sumatera Barat

24 September 2021   22:26 Diperbarui: 25 September 2021   07:11 535
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Model pendidikan surau di Desa Galuang sendiri semenjak awal abad ke-20 sudah bertransformasi menjadi bentuk madrasah yang sekarang bernama Madrasah Diniyah Takmiliyah Awwaliyah  Galuang. Di mana lama proses belajar di MDTA yaitu selama 5 tahun, mulai dari kelas 1 SD-5 SD. Padahal saat model pendidikan surau masih berjaya, para santri tidak hanya terbatas belajar ilmu agama Islam dasar selama 5 tahun namun dapat belajar hingga tingkat lanjut sampai memiliki ilmu agama Islam yang dalam dan mumpuni, sudah dapat mendirikan surau sendiri hingga santri mendapat gelar Syeikh.

Biasanya tradisi mamakiah di Desa Galuang dilakukan oleh para santri MDTA yang sudah kelas 3 ke atas setiap hari Jumat sekitar pukul 11.00 WIB. Saat mamakiah ada 8 orang santri yang melakukan kegiatan tersebut dan menyebar ke beberapa tempat di area Desa Galuang. Jadi, tiap satu wilayah di Desa Galuang ada 2 orang santri yang mamakiah. Saat melakukan mamakiah, para santri membawa sumpik bareh (tas jinjing besar) yang terbuat dari bahan karung goni plastik tempat wadah menampung beras. Para santri akan mendatangi rumah warga sambil mengucapkan Assalamualaikum dengan nada suara yang khas.

Setelah selesai mamakiah, para santri akan berkumpul di surau ketek (surau kecil) yang terletak di kompleks Masjid Jami dan MDTA Galuang-pada zaman dahulu merupakan area basis kekuatan Tuanku Galuang, salah seorang ulama anggota “Harimau Nan Salapan” pada masa Perang Paderi-untuk mengumpulkan beras yang sudah didapat dengan menyimpannya selama satu bulan di kotak besar dari kayu seperti kotak amal di dalam mesjid dan akan diberikan sebulan sekali sebagai bentuk tambahan gaji bagi para guru madrasah. Sebagai bentuk terima kasih guru kepada para santri yang telah melakukan mamakiah selama satu bulan, maka guru madrasah pun akan memberi mereka masing-masing 2 liter besar beras.

Pada dasarnya, semenjak berubah dari surau menjadi madrasah, para pengajar MDTA sudah memiliki gaji tetap yang berasal dari uang SPP tiap bulan peserta didik serta dari para donatur masjid. Namun Masayarakat Desa Galuang tetap melestarikan budaya surau mamakiah sebagai bentuk terima kasih orang tua santri kepada guru yang sudah mengajari anak-anak mereka ilmu agama di madrasah.

Bagi para pecinta maupun peneliti sejarah yang berminat lebih lanjut untuk melihat lebih dekat ataupun ingin meneliti tradisi mamakiah di Desa Galuang ini, bisa berkunjung setiap hari Jumat sambil menikmati pemandangan alam yang eksotis dengan latar Gunung Marapi dan hamparan Bukit Barisan disekelilingnya serta dapat menikmati kuliner khas Minangkabau yang sangat menggugah selera di tengah iklim desa Galuang yang dingin.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun