Surau merupakan lembaga pendidikan tertua di Minangkabau yang memegang peranan sangat penting sebelum terjadinya modernisasi pendidikan di Sumatera Barat.
Sebutan nama “surau” sebenarnya sudah ada sebelum Islam masuk ke Minangkabau pada akhir abad ke-16 M. Namun waktu itu, surau berfungsi sebagai tempat peribadatan Hindu-Budha. Setelah masuknya Islam, maka surau pun beralih fungsi sebagai tempat peribadatan umat Islam.
Fungsi surau setelah berkembangnya Islam di Minangkabau juga mengalami perluasan dari yang semula hanya sebagai tempat peribadatan menjadi: 1) Tempat belajar berbagai macam cabang ilmu agama Islam; 2) Tempat bermusyawarah; 3) Tempat diskusi berbagai isu sosial yang terjadi di masyarakat; 4) Tempat belajar adat Minangkabau; 5) Tempat laki-laki Minang yang sudah balig berakal maupun yang sudah bercerai untuk tidur pada malam hari; serta 6) Tempat belajar ilmu bela diri pencak silat.
Namun setelah terjadinya Perang Paderi, maka lembaga pendidikan surau di Minangkabau pun mengalami kemerosotan yang sangat signifikan akibat pemerintahan Hindia Belanda yang membatasi ruang gerak umat Islam untuk beribadah termasuk mengenyam pendidikan di surau. Salah satu strategi kolonial Belanda di bawah saran Snouck Hurgrounje untuk melemahkan peranan surau sebagai lembaga pendidikan agama Islam yaitu dengan mendirikan sekolah sekuler modern tandingan pertama di Sumatera Barat yang bernama Kweek School (Sekolah Rajo/Sekolah Guru) di Kota Bukittinggi tahun 1873.
Pendirian sekolah tersebut telah mampu menyaingi sedikit demi sedikit lembaga pendidikan surau, sebab bagi siapa yang belajar di sekolah Belanda, maka akan dapat bekerja sebagai pegawai negeri, hakim, jaksa, serta penjaga gudang di pemerintahan Hindia Belanda. Model sekolah sekuler Belanda yang jauh lebih modern, membuat masyarakat Minang akhirnya banyak yang tertarik untuk masuk ke sekolah Belanda ketimbang tetap bertahan belajar di surau.
Untuk mempertahankan eksistensi pendidikan agama Islam, para ulama Minangkabau tamatan surau pun akhirnya bersepakat untuk mentransformasi pendidikan surau menjadi bentuk madrasah pada akhir abad ke-19 agar dapat bersaing dengan sekolah-sekolah sekuler Belanda.
Modernisasi pendidikan surau menjadi madrasah ternyata berdampak salah satunya pada semakin ditinggalkannya budaya-budaya surau oleh masyarakat Minangkabau. Salah satunya yaitu ditinggalkannya budaya surau yang dikenal dengan istilah “mamakiah.”
Mamakiah merupakan suatu istilah yang merujuk pada Pakiah (sebutan untuk santri surau setelah masa Perang Paderi usai) yang berkeliling daerah untuk menjemput sedekah dari para warga guna memenuhi kebutuhan ekonomi para santri dan guru selama belajar di surau karena guru yang mengajar tidak mengharapkan gaji sebagai imbalan jasanya namun mengajar secara ikhlas. Masyarakat biasa memberi sedekah berupa beras, sembako, ataupun uang. Biasanya kegiatan mamakiah hanya dilakukan oleh santri yang menganut aliran tarikat.
Namun ada hal unik pada masyarakat Desa Galuang, Kecamatan Sungai Pua, Kabupaten Agam, Provinsi Sumatera Barat. Desa yang terletak di bawah kaki Gunung Marapi ini, kendati masyarakatnya bukanlah penganut aliran tarikat jenis apapun namun juga mempunyai tradisi mamakiah dan hanya satu-satunya di Sumatera Barat di luar penganut aliran tarikat yang masih dilestarikan hingga saat ini berdasarkan survei yang telah dilakukan di lapangan.