Alih-alih memasuki tahap awal pelaksanaan pembangunan waduk Lambo di Nagekeo, Nusa Tenggara Timur (NTT), justru dihadapkan persoalan yang semakin sulit seperti merentangkan benang kusut. Terungkap Pemda Nagekeo menggelembungkan luas lahan terdampak pembangunan danau buatan tersebut.
Fakta ini terungkap dalam Musyawarah Penetapan Bentuk Ganti Kerugian, pada 8 November 2021. Musyawarah ini bertempat di Aula Hotel Pepita, Mbay, Nagekeo. Berdasarkan surat undangan, acara ini mendapat tembusan berbagai pihak, termasuk Kepala Kantor BPN Prov. NTT, Kepala Balai Wilayah Sungai Nusa Tenggara II di Kupang, dan Pimpinan KJPP DAZ di Jakarta.
Pada musyawarah itu, Persekutuan Masyarakat Adat (PMA) Labolewa menyampaikan beberapa aspirasi. Pertama, mendukung pembangunan waduk Lambo sebagai Program Strategis Nasional.
Kedua, PMA meminta pertanggungjawaban Bupati Nagekeo terkait luas genangan waduk yang tidak sesuai dengan usulan Pemda Nagekeo di bawah kepemimpinan Bupati Elias Djo (periode sebelumnya) seluas 431 ha, namun berubah menjadi 706 ha.
Ketiga, PMA mendesak Bupati agar hak-hak masyarakat adat dipenuhi sesuai dengan peruntukannya. Keempat, meminta kepada BPN/Ketua Pengadaan Tanah agar bekerja secara profesional, transparan, dan jujur terkait dengan pendataan hak-hak ulayat dan tidak sedang membangun konspirasi dengan pejabat, dan atau pihak manapun, serta segera menindaklanjuti pengajuan keberatan nominal bidang tanah yang telah diajukan masyarakat adat.
Kelima, PMA bersedia melakukan sumpah adat di atas tanah ulayat yang diklaim oleh pihak manapun, dan selama hak-hak masyarakat adat belum dipenuhi, maka aktivitas apapun tidak boleh dilakukan karena hingga saat ini belum ada penyerahan ulayat kepada negara.
Selanjutnya, PMA menilai, agenda musyawarah ini adalah bentuk pemaksaan terhadap proses, sebab hak-hak ulayat belum didatakan/diperbaiki sesuai keberatan. Hal ini, kata PMA, sangat mengangkangi prinsip partisipatif dan tidak menghargai kearifan lokal. PMA berharap, pemerintah tidak boleh menggunakan pendekatan kekerasan terhadap masyarakat adat.
Klemens Lae, tokoh muda Nagekeo mengatakan, melalui surat tertanggal 3 Agustus 2015 usulan Pemda Nagekeo kepada Menteri PUPR mencantumkan luas lahan yang disiapkan adalah 431,92 ha, namun kemudian digelembungkan menjadi 706 ha, tanpa kesepakatan masyarakat adat.
Lebih lanjut, Klemens mengungkapkan terdapat suku penyusup atau suku anonim dalam daftar penerimaan ganti rugi. Suku yang dimaksud adalah Wawo Lobo Toro. "Faktanya, suku itu tidak ada," katanya.
"Mestinya Pemda Nagekeo transparan soal ini. Jika tetap dipaksakan, masyarakat adat akan mengalami kerugian dan risiko yang lebih besar," katanya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H