Selama satu tahun lebih, Indonesia berjibaku melawan pandemi Covid-19. Puluhan ribu orang meregang nyawa. Jutaan warga terpapar virus SAR-CoV-2 ini. Dampak lain, ekonomi bertumbuh negatif. Jutaan orang kehilangan pekerjaan. UMKM berjalan tapi terseok-seok. Denyut pariwisata tersendat. Pelayanan kesehatan kian tak ditopang.
Di bidang pendidikan, mayoritas sekolah menyelenggarakan pembelajaran jarak jauh (PJJ). Sebagian daerah terpaksa menutup pembelajaran tatap muka. Penutupan sekolah berdampak pada pembelajaran siswa dengan tingkat yang berbeda. Siswa mengalami ketertinggalan materi pelajaran.
Akses infrastruktur digital dan sumber daya yang tidak memadai, membuat pembelajaran daring cenderung merumitkan siswa dan oragtua/wali. Orangtua yang miskin semakin terpinggirkan. Sebab, tanpa gawai dan akses internet, banyak siswa lebih memilih tidak mengikuti pelajaran.
Pada 2020, sekitar 938 anak usia 7-18 tahun putus sekolah akibat pandemi (KOMPAS, 24/12/2020). Ini berdasarkan pemantauan terhadap 145.000 anak dari 109.000 keluarga miskin di 1.104 desa penerima Program Keluarga Harapan dan bantuan langsung tunai dana desa. Secara nasional, ada sekitar 10 juta keluarga peserta program ini.
Supaya siswa tidak mengalami ketertinggalan materi pelajaran dan tidak terancam putus sekolah, berbagai cara dipilih oleh guru dan sekolah.
Seperti dilakukan oleh Fridus Bay (35), seorang guru di SMPN Soa, Kabupaten Ngada, Nusa Tenggara Timur (NTT). Saat matahari belum tampil sempurna, ia melihat jadwal pelajaran, dan menyiapkan modul dan lembaran kerja siswa (LKS). Ia pun bergegas berangkat ke sekolah.
Di sekolah, para siswa tak satu pun disua. PJJ tidak mungkin dilakukan. Terkendala, tak semua siswa miliki gawai, akses internet lambat, ditambah pulsa data mahal. Fridus  harus menerapkan sistem "jemput bola".
Ia mengunjungi siswanya dari rumah ke rumah. Tak segan, ia menyusuri kebun. Ia menapaki sawah demi sawah. Ia menjumpai siwa-siswanya yang sedang bekerja, membantu orangtua mereka.
Atas pengabdian yang tulus sebagai seorang pendidik di tengah pandemi ini, kisah Fridus diangkat dalam sebuah video klip lagu. "Rindu Ruang Belajar" adalah harapan teramat dalam.Â
Syair-syairnya diucapkan penuh asa, dibalut musik ritmis ala off-beat khas Jamaika. Aksentuasi tempo yang tenang turut membangkitkan harapan. "Rindu Ruang Belajar" menyelip selaksa doa yang tetap terawat demi masa depan generasi bangsa.
Dengan rasa haru kumelihat bocah kecil
berdendang pada alam sembari menanam padi
kaki mulus kini berbalut lumpur hitam
tanpa harapan esok yang tak pasti
Gemercik air sungai membawa kisahnya
tanpa ada lagi guru yang mengarah
hanya pada alam ia mengadu, sampai usia tak 'kan lagi bisa
haruskah ia menyerah, pada selaksa doa ia bertanya
Reff: Â Apakah burung-burung tetap bernyanyi
apakah mentari tetap bersinar
apakah aku tetap tersenyum
kala tinta tak lagi kutulis
dan kertas putih terbang tak tersentuh lagi
CODA: Â demi cerita baru di hari esok tanpa harus tergerus badai dunia karena si kecil punya mimpi.
Kajian Unicef Indonesia bersama Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (KOMPAS, 2/3/2021) menunjukkan, sekitar 70 persen anak yang dipantau berpotensi putus se kolah, 30 persen di antaranya berpotensi tinggi putus sekolah.
Anak-anak di wilayah timur Indonesia berisiko lebih tinggi untuk putus sekolah ketimbang wilayah lain.Â
Faktor penyebabnya, kevakuman pembelajaran tatap muka mendorong siswa lebih memilih membantu pekerjaan orangtua di kebun/sawah, daripada belajar tanpa fasilitas PJJ yang memadai. Selain itu, lemahnya pengawasan orangtua turut mengandil dalam resiko di atas.
Dengan demikian, "Rindu Ruang Belajar" mengingatkan pendidik, siswa dan para orangtua/wali. Bahwa, menatap bangku kosong bukan membuat kita berpangku tangan.Â
Masa depan anak-anak kita tetap digenggam, berkat pendidik (guru) yang ulet, siswa yang tekut dan orangtua/wali yang setia mengawal pembelajaran.
Urbanus Haji Ahmad No (40), salah satu pencipta lagu ini mengatakan, "lagu ini adalah doa". Bersama GANAS (Gabungan Anak Soa) Crew, ia mengajak guru dan murid, agar tetap kembali ke ruang belajar. Belajar bukan hanya untuk nilai-nilai sekolah, tapi untuk kehidupan. Sebab, "non scholae, sed vitae discimus", katanya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H