Mohon tunggu...
Roman Rendusara
Roman Rendusara Mohon Tunggu... Petani - Memaknai yang Tercecer

Seorang anak kampung, lahir dan bertumbuh di Rajawawo, Ende. Pernah dididik di SMP-SMA St Yoh Berchmans, Mataloko (NTT). Belajar filsafat di Driyarkara tapi diwisuda sebagai sarjana ekonomi di Universitas Krisnadwipayana, Jakarta. Terakhir, Magister Akuntansi pada Pascasarjana Universitas Widyatama Bandung. Menulis untuk sekerdar mengumpulkan kisah yang tercecer. Blog lain: floreside.wordpress.com.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Orang Miskin Jangan Banyak Anak?

18 Maret 2021   12:22 Diperbarui: 18 Maret 2021   12:34 2053
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Anak sedang bermain. Foto: Roman Rendusara

Banyak anak, banyak rezeki. Ini adalah ungkapan orangtua dulu, sebelum program Keluarga Berencana (KB) digaungkan. Ungkapan ini dipercaya, banyak anak akan membawa rezeki bagi keluarga. Setiap anak memiliki rezekinya sendiri.

Keyakinan di atas ada benarnya. Bila dirujukkan dengan wilayah perkampungan era pra 80-an. Sebab ketersediaan lahan masih sangat luas. Setiap keluarga masih memiliki banyak lahan garapan. Meskipun sebagai petani, mereka mampu menghidupi beberapa anak.

Ditambah, dengan semakin bertambah usia anak-anak, pekerjaan-pekerjaan rumah dan kebun mulai dibantu. Anak-anak berbagi peran. Mereka berbagi tugas. Anak perempuan biasanya ditugaskan memasak, mencuci, dan membereskan pekerjaan di rumah. Semntara, anak yang laki-laki biasanya membantu orangtua di kebun dan mengurus makanan ternak.

Maka benarlah, banyak anak banyak rezeki. Anak-anak adalah aset. Anak adalah anugerah. Semakin banyak anak, tugas-tugas rumah diselesaikan dengan cepat. Usaha tani dan ternak tidak mungkin terbengkelai. Selain itu, anak dididik untuk bertanggung jawab terhadap tugas yang diberikan, serta belajar mandiri.

Namun, seiring pertumbuhan populasi penduduk, banyak anak bukan lagi sebagai banyak aset (asset). Anak bukan lagi sebagai anugerah dan berkat. Anak justru menjadi biaya (cost). Anak adalah malapetaka dan ancaman kemiskininan keluarga. Bahkan banyak anak sebagai ancaman kemiskinan suatu wilayah/daerah.

Seperti pernyataan Gubernur NTT Viktor B. Laiskodat setahun yang lalu (Sumber: ini). Katanya, orang miskin jangan melahirkan banyak anak. Keluarga miskin jangan melahirkan anak. Pernyataan itu memancing perdebatan hangat.

Sepintas masuk akal. Lantaran sebagai seorang pemimpin di salah satu Propinsi termiskin di Indonesia, Viktor geram menyaksikan data kemiskinan semakin bertambah. Per Maret 2020, NTT menempati posisi kelima dari persentase penduduk miskin terbanyak, 20,90 persen (1,15 juta jiwa). Sementara setelah satu semester pandemi melanda, per September 2020 kemiskinan di NTT meningkat menjadi 21,21 persen (1,17 juta jiwa).

Hemat saya, di lain sisi, larangan bagi keluarga miskin untuk tidak melahirkan anak adalah ungkapan keputusasaan, sulit menemukan solusi dan terkesan gagal mengaplikasikan janji kampanye. Pemerintah NTT seakan kehabisan cara mengurai benang kusut persoalan kemiskinan warganya. 

Bisa jadi, dasar pernyataan ini adalah kekeliruan cara pandang, bahwasanya, anak-anak (baca: generasi penerus) justru sebagai beban (cost), bukan aset (asset).

Dengan demikian, pandangan terhadap anak-anak yang dilahirkan sebagai beban/biaya cenderung mengabaikan peran anak-anak sebagai generasi penerus bangsa ini. Tidak heran, janji kampanye bahwa setiap tahun akan mengirim 2.000 anak NTT belajar ke luar negeri-menguap bersama angin.

Akhirnya, banyak anak, banyak rezeki dan banyak berkat tetap berlaku sampai kapan pun, sejauh kita mengakui anak adalah aset berharga. Sebagai aset, anak akan dirawat, dididik dan dijaga dengan sangat bijak. Tanpa memandang status kelas sosial-ekonomi ekonomi. Toh, bukankah banyak anak orang kaya di negeri ini terlibat koruptor. Artinya, mendidik anak tidak semata-mata dengan uang banyak, melainkan kekayaan hati yang diutamakan.

Sebaliknya, jika kita melahirkan anak dan menganggapnya akan membebani ekonomi keluarga, maka anak dijadikan beban semata. Ia pembawa malapetaka keluarga. Ia penyebab keluarga miskin. Tidak jarang, angggapan ini sebagai biang aborsi dan tindakan kekerasan terhadap anak yang dilakukan oleh orangtuanya sendiri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun