Banyak anak, banyak rezeki. Ini adalah ungkapan orangtua dulu, sebelum program Keluarga Berencana (KB) digaungkan. Ungkapan ini dipercaya, banyak anak akan membawa rezeki bagi keluarga. Setiap anak memiliki rezekinya sendiri.
Keyakinan di atas ada benarnya. Bila dirujukkan dengan wilayah perkampungan era pra 80-an. Sebab ketersediaan lahan masih sangat luas. Setiap keluarga masih memiliki banyak lahan garapan. Meskipun sebagai petani, mereka mampu menghidupi beberapa anak.
Ditambah, dengan semakin bertambah usia anak-anak, pekerjaan-pekerjaan rumah dan kebun mulai dibantu. Anak-anak berbagi peran. Mereka berbagi tugas. Anak perempuan biasanya ditugaskan memasak, mencuci, dan membereskan pekerjaan di rumah. Semntara, anak yang laki-laki biasanya membantu orangtua di kebun dan mengurus makanan ternak.
Maka benarlah, banyak anak banyak rezeki. Anak-anak adalah aset. Anak adalah anugerah. Semakin banyak anak, tugas-tugas rumah diselesaikan dengan cepat. Usaha tani dan ternak tidak mungkin terbengkelai. Selain itu, anak dididik untuk bertanggung jawab terhadap tugas yang diberikan, serta belajar mandiri.
Namun, seiring pertumbuhan populasi penduduk, banyak anak bukan lagi sebagai banyak aset (asset). Anak bukan lagi sebagai anugerah dan berkat. Anak justru menjadi biaya (cost). Anak adalah malapetaka dan ancaman kemiskininan keluarga. Bahkan banyak anak sebagai ancaman kemiskinan suatu wilayah/daerah.
Seperti pernyataan Gubernur NTT Viktor B. Laiskodat setahun yang lalu (Sumber: ini). Katanya, orang miskin jangan melahirkan banyak anak. Keluarga miskin jangan melahirkan anak. Pernyataan itu memancing perdebatan hangat.
Sepintas masuk akal. Lantaran sebagai seorang pemimpin di salah satu Propinsi termiskin di Indonesia, Viktor geram menyaksikan data kemiskinan semakin bertambah. Per Maret 2020, NTT menempati posisi kelima dari persentase penduduk miskin terbanyak, 20,90 persen (1,15 juta jiwa). Sementara setelah satu semester pandemi melanda, per September 2020 kemiskinan di NTT meningkat menjadi 21,21 persen (1,17 juta jiwa).
Hemat saya, di lain sisi, larangan bagi keluarga miskin untuk tidak melahirkan anak adalah ungkapan keputusasaan, sulit menemukan solusi dan terkesan gagal mengaplikasikan janji kampanye. Pemerintah NTT seakan kehabisan cara mengurai benang kusut persoalan kemiskinan warganya.Â
Bisa jadi, dasar pernyataan ini adalah kekeliruan cara pandang, bahwasanya, anak-anak (baca: generasi penerus) justru sebagai beban (cost), bukan aset (asset).
Dengan demikian, pandangan terhadap anak-anak yang dilahirkan sebagai beban/biaya cenderung mengabaikan peran anak-anak sebagai generasi penerus bangsa ini. Tidak heran, janji kampanye bahwa setiap tahun akan mengirim 2.000 anak NTT belajar ke luar negeri-menguap bersama angin.