Setelah dua tahun vakum berfacebook, saya iseng membukanya. Kaget bukan kepalang. Bak diberondong berulang-ulang, kotak inbox dialiri ratusan pesan. Ternyata, Elin sedang merindu akut dari Negeri Seribu Beton. Katanya, ia kehilangan teman curhat. Hidupnya hampa. Semangatnya hilang. Spiritnya pudar.
Saya memakhluminya. Tetapi perjuangan hidup harus mengutamakan prioritas. Hal-hal lain, seperti cinta dengan segala keistimewaannya akan mengikuti kemudian. Itu pesan orangtua dulu.
Entah siapa yang pertama mengungkapkan cinta, kami pun sepakat menjalin hubungan sebagai pacaran pada 2009 akhir. Tak mempedulikan jarak. Saya di Jakarta. Elin di Hong Kong. Kami menjalani Long Distance Relationship (LDR) antarnegara.
Awal-awal pacaran memang menguras perasaan. Juga menguras isi dompet. Elin masih bersyukur, di Hong Kong tarif sms dan internet sangat murah. Sementara saya di Jakarta, sms dan telpon antarnegara mahal. Messengger dan WA dengan fasilitas video call belum ada.
Kadang saya putus asa. Sebab hanya jauh di mata tapi dekat di telinga. Biaya telpon mahal. Beberapa kali kesulitan beli pulsa data. Terutama rasa cinta sedang mencapai puncaknya dan uang tidak ada. Galau hebat sangat terasa. Namun, Elin tetap meyakinkan, cinta kita harus tetap bersatu-biar cukup air dan minyak saja yang tak mungkin berpaut.
Tepat empat tahun, kuliah saya kelar. Saya menerima ijazah tanpa ikut wisuda bersama teman-teman angkatan. Wisuda hanya seremonial saja. Saya memberitahu Elin. Kami menangis bahagia melalui telpon.
Waktu berlalu. LDR kami lalui bersama. Saling berkomunikasi melalui pesan inbox dan pesan pendek. Terjadi perbedaan pendapat. Semua dijalani dengan cinta yang jujur. Kadang saya mulai mengedip mata ke lain hati. Namun, kami kembali diingatkan dasar hubungan, bahwa hubungan ini bukan atas cinta, namun atas dasar komitmen. Cinta bisa mendua, mentiga dan selanjutnya, tapi komitmen tak bisa dibagi-ceraikan. Ia utuh. Melanggarnya sama seperti menjilat air ludah sendiri.
Kehidupan di ibukota makin sesak. Hari-hari saya berhadapan dengan kemacetan yang 'ukur nenek punya' (parah). Saya pun mulai bosan. Jakarta mungkin bukan masa tua saya. Di akhir 2011, saya kembali ke Flores setelah menyelesaikan Program Profesi Mengajar di UKI-Jakarta. Dengan harapan, bisa menjadi guru di kampung.
LDR dijalanikan dengan jaga jarak 'aman'. Saya hidup di kampung, di Ende-Flores. Elin masih di Hong Kong. Komunikasi tetap dijaga. Meski kadang-kadang terhalang sinyal yang masih tersangkut di pohon kemiri. Kami merawat komitmen dengan prinsip kuat: menuju pernikahan.
Masa libur tak disia-siakan. Bersama keluarga besar, upacara peminangan dilakukan pada Agustus 2015. Upacara diselenggarakan sesuai adat Nagekeo-daerah asal calon istri. Pada awal Oktober 2015, Elin harus segera kembali ke Hong Kong, atas pesan 'bos'-nya, karena mereka kesulitan menemukan tenaga pengganti.