Enny menambahkan, Bank Dunia memprediksi, dengan asumsi pertumbuhan ekonomi global 2020 terkontraksi 5,2 persen, 88 juta-115 juta orang bisa terdorong ke jurang kemiskinan ekstrem. Selanjutnya pada 2021 diprediksi jumlah kemiskinan kronis, hanya berpenghasilan kurang dari 1,9 dollar AS (Rp 29.000) per hari, bertambah lagi 23-25 juta orang. Sekitar 82 persen orang yang mengalami kemiskinan parah ada di negara berpenghasilan menengah, seperti India, Nigeria, dan Indonesia.
Dengan demikian, cara pandang kita terhadap blusukan yang dilakukan Bu Risma di hari-hari awal sebagai Menteri Sosail RI, adalah kepanikan kita. Di tengah kondisi ekonomi yang masih 'berbatuk-batuk', kita mendambakan pemimpin yang bisa menyelesaikan akar persoalan. Kita panik, Bu Risma hanya menyelesaikan hal-hal kecil yang seharusnya peran dan tanggung jawab itu diberikan kepada RT/RW hingga Lurah.
Namun, kita dikuatkan ketika Bu Risma berniat membangun sistem distribusi bantuan secara tunai. Ini poin penting, biar kita tidak terlalu panik. Dan agar mengurangi kebocoran anggaran, dan belajar dari kesalahan sang mantan, Juliari Batubara.
Catatan penting bagi kebijakan Kementerian Sosial adalah membangun sistem yang baik, agak kita tidak terlanjur panik dengan dampak pandemi Covid-19 ini. Pertama, memastikan data kemiskinan yang valid, objektif dan kontekstual. Misalnya, orang miskin tidak dilihat dari tempat tinggalnya di pinggir rel kareta api. Bisa saja, di kampungnya punya rumah mewah.
Kedua, kemiskinan di Jakarta adalah potret kemiskinan nasional. Namun jauh lebih luas dari sekedar Jakarta. Berikan wewenang dan peran lebih kepada Pemda DKI. Tanpa membuat pemerintah daerah tersinggung.
Ketiga, konektisitas antara kebijakan daerah. Dinas Sosial (Dinsos) diberi peran sama tanpa distorsi kewenangan. Sambil menata birokrasi Dinsos yang tidak terlalu berbelit-belit.
Akhirnya, kami menunggu Bu Risma blusukan ke Ende, dan NTT umumnya. Agar kami tidak turut panik.