Mohon tunggu...
Roman Rendusara
Roman Rendusara Mohon Tunggu... Petani - Memaknai yang Tercecer

Roman Rendusara lahir dan tumbuh sebagai anak kampung di Rajawawo, Kec.Nangapanda, Ende-Flores, NTT. Kini, menetap di kampung sebagai seorang petani, sambil menganggit kisah-kisah yang tercecer. Kunjungi juga, floreside.wordpress.com.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Blusukan Bu Risma dan Kepanikan Kita

15 Januari 2021   09:51 Diperbarui: 15 Januari 2021   09:57 381
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bu Risma sedang blusukan di kolong jembatan. Foto: Pikiran Rakyat Bekasi

Blusukan adalah terminologi Jawa. Berarti keluar-masuk ke tempat-tempat yang kecil. Blusukan adalah pendekatan secara langsung ke masyarakat, berkunjung secara tatap muka. Blusukan memastikan sumbatan informasi yang dikeluhkan publik terhadap kebijakan pemerintah.

Fenomena blusukan tren sejak Jokowi memimpin DKI Jakarta. Blusukan ala Jokowi memberikan dua makna; partisipasi publik dan memastikan titik distorsi organisasi birokrasi.

Bu Risma, yang baru terpilih sebagai Menteri Sosial, langsung 'tancap gas' blusukan. Tidak berbeda jauh dengan blusukan ala Jokowi, Bu Risma mengunjungi dan bertemu sepasang suami-istri di kawasan aliran Kali Ciliwung. Persis di belakang kantornya-Kantor Kementerian Sosial RI, Jakarta.

Bukan saja makna partisipasi publik dan memastikan distorsi kebijakan birokrasi. Blusukan Bu Risma pula membawa pesan, tidak ada orang miskin di sekitar kantor yang berlogo teratai-simbol kesetiakawanan yang suci, ini.

Meski demikian, di tengah pandemi Covid-19 yang belum meredah ini, jabtan Menteri Sosial adalah tanggung jawab besar. Sebab, ekonomi belum pulih sempurna. Angka kemiskinan meningkat. Banyak orang kehilangan pekerjaan. Bukan sedikit orang, bertahan dengan makan seadanya.

Pemulihan ekonomi masih butuh waktu. Secara tahunan masih tercatat positif 2,97 persen pada kuarta lI-2020. Meskipun mengalami kontraksi 5,32 persen pada kuartal II-2020, pertumbuhan ekonomi Indonesia membaik. Pada kuartal III-2020 tumbuh 5,05 persen (q-to-q).

Walau tercatat ada tanda-tanda pertumbuhan dan diproyeksi terus membaik, momentum Natal dan Tahun Baru kemarin justru tak mampu mendongkrak konsumsi rumah tangga di kuartal IV-2020. Tercatat, konsumsi rumah tangga lebih rendah dari kuartal III-2020.

Survei BI (Januari 2021) terhadap penjualan eceran menunjukkan, rata-rata indeks penjualan riil (IPR) kuartal IV 183,77. Indeks ini melemah 5,68 persen dari kuartal III-2020 sebesar 194,83. Survei ini menyasar kelompok peralatan informasi dan komunikasi, serta makanan, minuman dan tembakau.

Artinya, momentum libur Hari Raya Natal dan Tahun Baru, yang diharapkan masyarakat membelanjakan uang untuk konsumsi dan liburan ternyata tidak berhasil. Di akhir tahun lama 2020, orang tidak mau berfoya-foya. Orang tidak mau beli HP baru. Masyarakat cenderung merayakan seadanya. Dan sebagian terpaksa berhenti merokok.

Belum lagi, pasca pengesahan UU Cipta Kerja, yang diharapkan semakin menarik minat investasi masuk ke Tanah Air, justru kita menghadapi tantangan baru. Pandemi Covid-19 telah menyebabkan gelombang pemutusan hubungan kerja atau PHK yang cukup besar.

Enny Sri Hartati, dalam KOMPAS 17/11/2020, menampilkan data Kementerian Ketenagakerjaan, tenaga kerja sektor formal yang dirumahkan dan di-PHK sekitar 3,1 juta orang. Penyebabnya, sektor industri pengolahan yang menjadi tumpuan justru penyerapan tenaga kerjanya minus 1,3 persen. Hampir semua sektor mengurangi pekerja, kecuali sektor pertanian yang masih tumbuh 2,23 persen dan perdagangan 0,46 persen.

Enny menambahkan, Bank Dunia memprediksi, dengan asumsi pertumbuhan ekonomi global 2020 terkontraksi 5,2 persen, 88 juta-115 juta orang bisa terdorong ke jurang kemiskinan ekstrem. Selanjutnya pada 2021 diprediksi jumlah kemiskinan kronis, hanya berpenghasilan kurang dari 1,9 dollar AS (Rp 29.000) per hari, bertambah lagi 23-25 juta orang. Sekitar 82 persen orang yang mengalami kemiskinan parah ada di negara berpenghasilan menengah, seperti India, Nigeria, dan Indonesia.

Dengan demikian, cara pandang kita terhadap blusukan yang dilakukan Bu Risma di hari-hari awal sebagai Menteri Sosail RI, adalah kepanikan kita. Di tengah kondisi ekonomi yang masih 'berbatuk-batuk', kita mendambakan pemimpin yang bisa menyelesaikan akar persoalan. Kita panik, Bu Risma hanya menyelesaikan hal-hal kecil yang seharusnya peran dan tanggung jawab itu diberikan kepada RT/RW hingga Lurah.

Namun, kita dikuatkan ketika Bu Risma berniat membangun sistem distribusi bantuan secara tunai. Ini poin penting, biar kita tidak terlalu panik. Dan agar mengurangi kebocoran anggaran, dan belajar dari kesalahan sang mantan, Juliari Batubara.

Catatan penting bagi kebijakan Kementerian Sosial adalah membangun sistem yang baik, agak kita tidak terlanjur panik dengan dampak pandemi Covid-19 ini. Pertama, memastikan data kemiskinan yang valid, objektif dan kontekstual. Misalnya, orang miskin tidak dilihat dari tempat tinggalnya di pinggir rel kareta api. Bisa saja, di kampungnya punya rumah mewah.

Kedua, kemiskinan di Jakarta adalah potret kemiskinan nasional. Namun jauh lebih luas dari sekedar Jakarta. Berikan wewenang dan peran lebih kepada Pemda DKI. Tanpa membuat pemerintah daerah tersinggung.

Ketiga, konektisitas antara kebijakan daerah. Dinas Sosial (Dinsos) diberi peran sama tanpa distorsi kewenangan. Sambil menata birokrasi Dinsos yang tidak terlalu berbelit-belit.

Akhirnya, kami menunggu Bu Risma blusukan ke Ende, dan NTT umumnya. Agar kami tidak turut panik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun