Mohon tunggu...
Roman Rendusara
Roman Rendusara Mohon Tunggu... Petani - Memaknai yang Tercecer

Seorang anak kampung, lahir dan bertumbuh di Rajawawo, Ende. Pernah dididik di SMP-SMA St Yoh Berchmans, Mataloko (NTT). Belajar filsafat di Driyarkara tapi diwisuda sebagai sarjana ekonomi di Universitas Krisnadwipayana, Jakarta. Terakhir, Magister Akuntansi pada Pascasarjana Universitas Widyatama Bandung. Menulis untuk sekerdar mengumpulkan kisah yang tercecer. Blog lain: floreside.wordpress.com.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Ibu dan Koran Bekas untuk Literasi Bacaku

5 Desember 2020   22:53 Diperbarui: 5 Desember 2020   23:03 657
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ayam-ayam itu jarang dijualnya. Mungkin karena letak pasar yang jauh. Bila musim virus, ayam-ayam itu akan mati. Kami bahagia karena bisa makan daging ayam sepuasnya. Tapi, ibu sedih dan susah hati.

Petani yang rajin

Setelah memberikan makan ternak, ibu bergegas ke kebun/ladang. Disinilah, profesi petani dijalaninya. Ibu tidak pernah mengeluh, bahkan sekalipun tak terucap kata-kata putus asa. Semua dilakukan dalam ketekunan yang diam, keuletan yang sungguh. Di ladang ibu menanam padi dan jagung. Panen sekali setahun. Tak lupa, dipinggir ladang ditabur jagung solor dan wijen.

Saya tahu, ibu juga menggarap di lahan milik saudaranya atau keluarga, tanpa biaya sepeser pun. Lahan itu digunakan ibu untuk menanam ubi kayu (singkong) sebagai makanan pokok kami. Ibu tahu, beras gaji 50 kilogram tidak cukup untuk makan sebulan.

Dibantu ayah selepas pulang sekolah, saya juga diajarkan ibu menanam kakao dan vanili di lahan kebun warisan kakek. Ibu berbisik, kakao dan vanili ini untuk 'kau pu' (engkau punya) biaya sekolah. Ibu sungguh cerdas, mempersiapkan investasi dengan menanam tanaman umur panjang untuk masa depan.

Dokter yang menyembuhkan

Bagi saya, ibu juga seorang dokter yang menyembuhkan. Jarak puskesmas jauhnya 20 kilometer, dan akses transportasi masih mengandalkan 'jalan kaki'. Kala itu, masih sangat susah bertemu mantri (tenaga kesehatan)/bidan di Puskesmas. Dokter apalagi, masih lebih mudah menemukan jarum dalam tumpukan sekam.

Banyak tanaman yang bisa dijadikannya obat herbal. Saat berhari-hari sakit kepala tak turun-turun, ibu merebus daun pepaya, dan suruh kami minum. Jika perut sakit atau diare, ibu menyiapkan larutan gula-garam. Sakit perut langsung lari. Dan, jika terkena luka, ibu menyuruh saya memetik daun kirinyuh, diremas-remas ditangan hingga hancur, lalu ditempelkan di luka. Darah langsung berhenti keluar. Dua hari sembuh total.

Koran bekas untuk literasi baca

Di hari yang lain, atau di hari pasca panen padi ladang, adalah waktu istrahat bagi ibu. Saat itu biasa diisi dengan membereskan rumah. Ia membersihkan rayap yang menyelinap di balik dinding bambu itu.

Saya mempunyai seorang kakak sepupu. Ia seorang guru di ibukota kabupaten. Setiap libur ke kampung, ia membawa banyak koran. Ada Harian Kompas dan Flores Pos. Koran-koran itu sudah daluarsa, terbit beberapa bulan yang lalu. Tetap dibawanya. Dia tahu, ayah saya rajin membaca koran.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun