Mohon tunggu...
Roman Rendusara
Roman Rendusara Mohon Tunggu... Petani - Memaknai yang Tercecer

Seorang anak kampung, lahir dan bertumbuh di Rajawawo, Ende. Pernah dididik di SMP-SMA St Yoh Berchmans, Mataloko (NTT). Belajar filsafat di Driyarkara tapi diwisuda sebagai sarjana ekonomi di Universitas Krisnadwipayana, Jakarta. Terakhir, Magister Akuntansi pada Pascasarjana Universitas Widyatama Bandung. Menulis untuk sekerdar mengumpulkan kisah yang tercecer. Blog lain: floreside.wordpress.com.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Ibu dan Koran Bekas untuk Literasi Bacaku

5 Desember 2020   22:53 Diperbarui: 5 Desember 2020   23:03 657
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kemudian, kalori dalam sebutir telur rebus adalah energi yang dibutuhkan tubuh agar bisa beraktivitas dan menjalankan fungsinya dengan baik. Benar kata ibu dulu, biar bisa mengerjakan soal-soal ujian dengan baik.

Bendahara yang jujur

Ibu seorang bendahara keluarga yang jujur. Di lemari triplek lapuk, pada sebuah sisi terselip rapi beberapa amplop putih. Masing-masing amplop ditulis nama-nama kebutuhan: uang sekolah anak, arisan bulanan, biaya hutang koperasi, makan minum, dan kunjungan tamu. Uang gaji bulanan bapak dimasukkan ke dalam amplop itu, sesuai kebutuhan. Jika sedikit sisa, ibu membelikan kami jajan pisang goreng tetangga. Uang sejumlah Rp 100 bisa mendapat enam buah pisang goreng. Kami bahagia bukan main.

Selain itu, kami anak-anak wajib memiliki celengan, terbuat dari bambu. Satu ruas bambu untuk satu celengan. Di atas sebuah buku, dibuatkan lobang khusus untuk memasukkan uang logam. Jika ada kelebihan rezeki, ibu memberikan saya uang logam Rp 25 hingga Rp 100. Dengan catatan, uang itu untuk dimasukkan ke dalam celengan.

Celengan bambu itu boleh dibuka saat amplop bertuliskan: 'uang sekolah anak' telah kosong. Artinya, ibu harus merayu kami anak-anak agar membeli ballpoin dengan uang sendiri.

Kadang saya tidak mau, sebab uang celengan saya biasanya sudah direncanakan untuk beli roti balok, jika tiba-tiba ayah mengajak saya turut bersamanya, pergi terima gaji ke ibukota Kabupaten, dengan jarak puluhan kilometer.

Kadang saya dan adik-adik saya sangat merayakan hidup ketika tamu datang. Makhlum, sebagai seorang guru, banyak tamu datang ke rumah kami. Tamu dari kabupaten maupun kecamatan. Penilik sekolah sering berkunjung ke sekolah. Hampir otomatis, singgah makan siang di rumah, yang jaraknya lebih dekat dengan sekolah.

Uang dalam amplop kebutuhan 'kunjungan tamu' digunakan. Sebagai anak, kami turut menikmati menu ayam goreng, masakan terlezat khas ibu. Meskipun sisa dari piring tamu.

Peternak yang ulet

Ibu juga seorang peternak yang ulet. Setelah kami sarapan pagi dan pergi ke sekolah, ibu memberikan makan kepada ternak. Ia memelihara dan beternak ayam kampung. Jumlahnya tak terhitung, mungkin ratusan. Ayam-ayam itu dibiarkan berkeliaran bebas. Mereka jinak dengan ibu, tapi sangat liar dengan saya. Mereka mencari makan sendiri, di hutan belakang rumah. Lalu berduyun-duyun datang ketika matahari agak condong ke Barat. Mereka hinggap dan bertengger di pohon lemon besar, depan rumah kami pada malam hari.

Hasil peliharaan ibu kami nikmati, misalnya, telur ayam meski saat ujian sekolah. Selebihnya, daging ayam disajikan jika ada kunjungan tamu. Biasanya, ibu memotong ayam jantan terbaik untuk tamu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun