Mohon tunggu...
Roman Rendusara
Roman Rendusara Mohon Tunggu... Petani - Memaknai yang Tercecer

Roman Rendusara adalah nama pena. Tinggal di Kepi, Desa Rapowawo, Kec. Nangapanda, Ende Flores NTT. Mengenyam pendidikan dasar di SDK Kekandere 2 (1995). SMP-SMA di Seminari St. Yoh. Berchmans, Mataloko, Ngada (2001). Pernah menghidu aroma filsafat di STF Driyarkara Jakarta (2005). Lalu meneguk ilmu ekonomi di Universitas Krisnadwipayana-Jakarta (2010), mengecap pendidikan profesi guru pada Universitas Kristen Indonesia (2011). Meraih Magister Akuntansi pada Universitas Widyatama-Bandung (2023). Pernah meraih Juara II Lomba National Blog Competition oleh Kemendikristek RI 2020. Kanal pribadi: floreside.wordpress.com.

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Apa yang Salah dengan Tukang Obat?

18 November 2020   12:32 Diperbarui: 19 November 2020   02:07 680
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tanaman jeruk nipis di pekarangan rumah. Foto: Roman Rendusara

Sejak menikah tiga tahun lalu, istri dan saya sepakat membeli sebidang tanah di pinggir Kota Ende, Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT) berjarak 2 kilometer dari pusat kota. Lantaran biaya kontrak rumah sebelumnya yang sangat mahal, maka kami sepakat langsung membangun rumah kecil, beratap seng, berdinding bambu anyam, dan lantainya langsung dengan tanah.

Saya seorang karyawan pada sebuah lembaga swasta, sementara sang istri, selain mengurus rumah tangga, juga bertanggung jawab berat: mendidik sang buah hati yang Tuhan berikan kepada kami.

Seiring berjalannya waktu, sang buah hati bertambah usia, ia menjadi anak yang aktif. Ia senang bermain. Ia sangat mandiri. Hal ini membuat tanggung jawab istri mulai berkurang. Hanya tetap memantau ketika ia bermain. Bermain bersama. Sesekali mengajaknya keluar rumah, bermain dengan anak tetangga. Juga, ke pantai dan ke sungai untuk berenang.

Pohon marongge diapit kersen di halaman rumah. Foto: Roman Rendusara
Pohon marongge diapit kersen di halaman rumah. Foto: Roman Rendusara
Di tengah pandemi Covid-19 ini, ketika aktivitas keluar rumah dibatasi, sang istri beraktivitas di rumah saja. Pekarangan kami yang tidak terlalu luas, digunakan sebagai kebun mini keluarga. Ia menanam beberapa jenis sayur.

Selain ditanami beberapa jenis sayur, juga menanam kebutuhan-kebutuhan bumbu masakan. Ada sereh, tapak kuda, sereh merah, jeruk nipis, jeruk sitrum, kemangi, halia, jahe, kunyit kuning, kunyit putih  dan temulawak. Ditambah marongge, binahong merah, dan rosela.

Beberapa kali sang istri menyediakan bubur tapak kuda kepada putri kami, ketika berusia 6-12 bulan. Tanaman tapak kuda meningkatkan fungsi dan mengasah memori otak balita.

Tanaman binahong yang merambat di dinding rumah. Foto: Roman Rendusara
Tanaman binahong yang merambat di dinding rumah. Foto: Roman Rendusara
Sang istri biasa menyuguhkan mie kuah rebus dicampur marongge, atau mie kuah binahong, dan atau mie kuah rosela. Terasa sangat enak.

Marongge meningkatkan imun tubuh terhadap serangan virus. Binahong mampu menurunkan kadar gula dalam darah, mencegah kanker, mengurangi kolesterol, menurunkan efek tekanan darah, mengatasi gagal ginjal, asam urat dan menyembuhkan luka. Sementara bunga rosela berkhasiat tinggi, mengandung vitamin, kalsium, zat besi, magnesium, fosfor, kalium (potasium), dan natrium (sodium).

Terdapat juga miana, lidah buaya, lidah mertua, dan meniran. Miana menyembuhkan diabetes dan mengatasi sakit perut. Lidah buaya biasa kami gunakan untuk mengencangkan kerutan wajah sehingga wajah akan terlihat lebih muda dan bercahaya. Sedangkan lidah mertua, membantu menyediakan udara segar, mengusir bau tidak sedap, mengurangi radiasi dari alat elektronik, dan membangkitkan energi positif.

Suatu sore, hujan baru saja pergi. Kami menghabiskan semangkuk mie kuah rosela yang sedapnya sangat jujur. Di bawah pohon kersen, kami berdiskusi tentang mahalnya biaya obat dan rumah sakit, meskipun kami pemegang kartu KIS (Kartu Indonesia Sehat). Sebagai solusi kesehatan keluarga, apotek hidup adalah salah satu alternatifnya, kata sang istri.

Tanaman jeruk sitrum di pekarang rumah. Foto: Roman Rendusara
Tanaman jeruk sitrum di pekarang rumah. Foto: Roman Rendusara

Apotek hidup adalah cara yang tepat, menyediakan kesehatan keluarga dengan tanaman-tanaman herbal, yang tumbuh di sekitar kita.

Makanya, ketika pilek/flu saya sangat menikmati kuah ikan dengan bumbu sereh, untuk menghangatkan dan menjaga daya tahan tubuh. Atau ketika batuk, kami meminum beberapa tetes air jeruk nipis dicampur kecap manis. Juga, saat lambung sedikit kumat, sang istri segera meracik jamu kunyit.

Beberapa hari terakhir ini, sang istri rajin meramu bahan-bahan herbal yang ada di pekarangan rumah kami, menjadi minyak gosok/urut yang menghangatkan badan. Beraroma terapi khas sereh merah ditambah cengkeh-diambil dari kampung sendiri.

Tidak kalah dengan produk yang sudah punya 'nama'. Oleh sebab alasan perizinan, maka ramuan ini tidak diedarkan, hanya untuk kebutuhan kesehatan keluarga.

Tanaman rosela di samping rumah. Foto: Roman Rendusara
Tanaman rosela di samping rumah. Foto: Roman Rendusara
Saya menyebut sang istri sebagai tukang obat. Ia menanam sendiri tanaman obat-obatan herbal, memanen, dan meramunya menjadi obat-obatan yang berkhasiat tinggi bagi keluarga kecil kami, sekaligus mencegah 'bencana keuangan'-biaya pengobatan yang tinggi.

Lumayan, kami jarang sekali pergi ke dokter dan klinik. Kami jarang membeli obat kalau hanya pilek, flu, batuk, nyeri lambung, sakit perut, dan gejala-gejala sakit lainnya. Dengan demikian, kami mengurangi 'out of pocket' kesehatan.

Data Kesehatan 2019 merilis, rata-rata biaya mengobati sendiri per kapita sebulan yang dibayar sendiri Rp 1.447. Terdiri dari biaya obat tradisional untuk mengobati sendiri per kapita sebulan Rp 397 dan rata-rata biaya obat modern untuk mengobati sendiri per kapita sebulan Rp 1.050.

Nah, ketika ada pihak yang tersinggung, justru istri saya bahagia disebut 'tukang obat'. Tukang obat itu dapat menghemat biaya kesehatan, dan menekan biaya obat. Tukang obat itu menyembuhkan. Tukang obat seperti 'habib' (Arab: kekasih) yang membawa kesehatan bagi keluarga: jiwa maupun raga.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun