Mohon tunggu...
Roman Rendusara
Roman Rendusara Mohon Tunggu... Petani - Memaknai yang Tercecer

Roman Rendusara lahir dan tumbuh sebagai anak kampung di Rajawawo, Kec.Nangapanda, Ende-Flores, NTT. Kini, menetap di kampung sebagai seorang petani, sambil menganggit kisah-kisah yang tercecer. Kunjungi juga, floreside.wordpress.com.

Selanjutnya

Tutup

Financial Artikel Utama

Inklusi Keuangan atau Inklusi Perbankan?

4 November 2020   14:52 Diperbarui: 5 November 2020   06:00 415
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sebuah keluarga di NTT sedang menunjukkan buku tabungan pada Koperasi Kredit Bahtera. Foto: Teodorus Y.K Jawa

The Consultative Group to Assist the Poor (CGAP) mendefinisikan inklusif keuangan adalah suatu kondisi dimana semua orang berusia kerja mampu mendapatkan akses yang efektif terhadap kredit, tabungan, sistem pembayaran dan asuransi dari seluruh penyedia layanan finansial.

Sementara, Reserve Bank of India (RBI) mengatakan, inklusi keuangan adalah akses ke produk dan layanan keuangan yang sesuai dan dibutuhkan oleh semua lapisan masyarakat pada umumnya dan kelompok rentan, seperti kelompok yang lebih lemah dan kelompok berpenghasilan rendah pada khususnya, dengan biaya yang terjangkau, adil dan transparan oleh penyedia layanan keuangan.

Konsep inklusi keuangan muncul setelah konsep eksklusi keuangan. Leyshon dan Thrift (1995) mendefinisikan eksklusi keuangan sebagai sebuah proses untuk mencegah kelompok sosial dan individu untuk memperoleh akses terhadap sistem keuangan formal.

Semestinya, inklusi keuangan diukur dalam tiga dimensi, 1) akses ke layanan keuangan, 2) penggunaan layanan keuangan, dan 3) kualitas produk dan pelayanan keuangan.

Namun, dalam prakteknya, fokus pelayanan keuangan adalah perbankan. Hal ini sejalan dengan Alliance for Financial Inclusion (AFI), yang mengatakan, inklusi keuangan adalah proses memastikan akses penggunaan layanan keuangan perbankan.

Tidak heran, indeks inklusi keuangan nasional kita hanya diukur dari berapa banyak orang memiliki rekening bank. Sebagaimana, Sarma (2011), mengatakan, terdapat tiga dimensi inklusi keuangan, 1) penetrasi perbankan, 2) ketersediaan jasa perbankan, dan 3) penggunaan jasa perbankan. 

Kuncinya, penetrasi perbankan adalah indikator utama dalam inklusi keuangan. Selebihnya ketersediaan kantor/cabang dan penyebaran ATM, serta kualitas penggunaan rekening bank seperti pembayaran, transfer, kredit dan deposit.

Inklusi Perbankan?
Jika indikator pengukuran indeks inklusi keuangan demikian, apakah masih disebut inklusi keuangan. Sebaiknya, sebut saja inklusi perbankan. Antitesis dari eksklusi perbankan. Sebab, inklusi keuangan dengan berbagai lembaga keuangannya jauh lebih luas daripada perbankan.

Agak tidak adil bila indikator indeks inklusi keuangan hanya diukur dari lembaga keuangan formal bernama bank. Bagaimana dengan lembaga keuangan lain, lembaga keuangan non bank? Yang secara legal diakui di negeri ini. Lengkap dengan nomor badan hukum dan izin operasionalnya.

Koperasi, misalnya, berdasarkan data 31 Desember 2019, memiliki 22 juta lebih dan modal sendiri Rp 70,923 triliun. Sementara, Koperasi Kredit (Kopdit) mempunyai anggota yang tersebar di 37 Puskopdit se-Indonesia, 3,4 juta, dengan total simpanan non saham sebesar Rp 21,105 trilius. (Sumber: Majalah PICU, No 55/Th 10 Edisi Mei-Juni 2020, hal. 7).

Bukan Monopoli Perbankan
Artinya, inklusi keuangan tidak dimonopoli oleh bukti kepemilikan rekening bank, meskipun belum didukung data berapa anggota Koperasi yang belum memiliki buku rekening bank. Namun, beberapa contoh dalam konteks lokal menjadi sumbangsih studi inklusi keuangan lebih lanjut.

Seorang anggota Koperasi Kredit sedang mendapatkan pelayanan jasa keuangan. Foto: Teodorus Y. K Jawa
Seorang anggota Koperasi Kredit sedang mendapatkan pelayanan jasa keuangan. Foto: Teodorus Y. K Jawa
Misalnya, di NTT terdapat 493 Koperasi yang aktif. Termasuk di dalamnya Kopdit. Sedangkan, terdapat 138 Kopdit di bawah naungan lima Pusat Koperasi Kredit (Puskopdit)-sebuah koperasi kredit sekunder, memiliki 911.770 anggota dengan total simpanan non saham (tabungan dan deposito) Rp 2,893 triliun. Artinya, 17,24 persen masyarakat NTT menabung di Koperasi Kredit, jika jumlah penduduk NTT 5,4 juta jiwa. Akses masyarakat NTT terhadap kredit (pinjaman) sebesar Rp 4,977 triliun dari Koperasi Kredit.

Survei Bappenas pada 2017 tentang Akses dan Inklusi Keuangan menemukan hanya 31 persen responden yang memiliki rekening bank dan 23 persen penduduk dewasa menggunakan jasa keuangan koperasi simpan pinjam. Hal ini berelasi erat hingga 2019, indeks inklusi keuangan masyarakat NTT sebesar 60,63 persen.

Ke Mana selebihnya?
Jauh sebelum bank mengepakan sayapnya ke pelosok hingga dikenal masyarakat NTT, wadah keuangan berasas solidaritas dan swadaya sudah tumbuh subur. Kesadaran kolektif akan kesamaan nasib untuk bertahan dalam kelaparan akibat kemarau panjang dan gempa bumi 1992 merupakan spirit yang menguatkan hidup berkoperasi.

Tatkala waktu itu, bank-bank, baik bank berplat merah maupun berplat kuning belum menunjukkan batang hidungnya. Mungkin, NTT masih dipandang sebelah mata dengan segala keterbelakangannya.

Dengan demikian, belum terasa adil jika inklusi keuangan diukur hanya dari indikator penetrasi ke perbankan, ketersediaan jasa perbankan dan penggunaan jasa perbankan. Bagaimana pun, lembaga keuangan non bank punya peran yang sama di tengah masyarakat.

Selebihnya, mungkin penetrasi dan penggunaan jasa keuangan oleh koperasi-koperasi. Sambil, tetap berharap, NTT perlahan keluar dari eksklusi perbankan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun