Mohon tunggu...
Roman Rendusara
Roman Rendusara Mohon Tunggu... Petani - Memaknai yang Tercecer

Seorang anak kampung, lahir dan bertumbuh di Rajawawo, Ende. Pernah dididik di SMP-SMA St Yoh Berchmans, Mataloko (NTT). Belajar filsafat di Driyarkara tapi diwisuda sebagai sarjana ekonomi di Universitas Krisnadwipayana, Jakarta. Terakhir, Magister Akuntansi pada Pascasarjana Universitas Widyatama Bandung. Menulis untuk sekerdar mengumpulkan kisah yang tercecer. Blog lain: floreside.wordpress.com.

Selanjutnya

Tutup

Financial Artikel Utama

Inklusi Keuangan atau Inklusi Perbankan?

4 November 2020   14:52 Diperbarui: 5 November 2020   06:00 415
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sebuah keluarga di NTT sedang menunjukkan buku tabungan pada Koperasi Kredit Bahtera. Foto: Teodorus Y.K Jawa

Seorang anggota Koperasi Kredit sedang mendapatkan pelayanan jasa keuangan. Foto: Teodorus Y. K Jawa
Seorang anggota Koperasi Kredit sedang mendapatkan pelayanan jasa keuangan. Foto: Teodorus Y. K Jawa
Misalnya, di NTT terdapat 493 Koperasi yang aktif. Termasuk di dalamnya Kopdit. Sedangkan, terdapat 138 Kopdit di bawah naungan lima Pusat Koperasi Kredit (Puskopdit)-sebuah koperasi kredit sekunder, memiliki 911.770 anggota dengan total simpanan non saham (tabungan dan deposito) Rp 2,893 triliun. Artinya, 17,24 persen masyarakat NTT menabung di Koperasi Kredit, jika jumlah penduduk NTT 5,4 juta jiwa. Akses masyarakat NTT terhadap kredit (pinjaman) sebesar Rp 4,977 triliun dari Koperasi Kredit.

Survei Bappenas pada 2017 tentang Akses dan Inklusi Keuangan menemukan hanya 31 persen responden yang memiliki rekening bank dan 23 persen penduduk dewasa menggunakan jasa keuangan koperasi simpan pinjam. Hal ini berelasi erat hingga 2019, indeks inklusi keuangan masyarakat NTT sebesar 60,63 persen.

Ke Mana selebihnya?
Jauh sebelum bank mengepakan sayapnya ke pelosok hingga dikenal masyarakat NTT, wadah keuangan berasas solidaritas dan swadaya sudah tumbuh subur. Kesadaran kolektif akan kesamaan nasib untuk bertahan dalam kelaparan akibat kemarau panjang dan gempa bumi 1992 merupakan spirit yang menguatkan hidup berkoperasi.

Tatkala waktu itu, bank-bank, baik bank berplat merah maupun berplat kuning belum menunjukkan batang hidungnya. Mungkin, NTT masih dipandang sebelah mata dengan segala keterbelakangannya.

Dengan demikian, belum terasa adil jika inklusi keuangan diukur hanya dari indikator penetrasi ke perbankan, ketersediaan jasa perbankan dan penggunaan jasa perbankan. Bagaimana pun, lembaga keuangan non bank punya peran yang sama di tengah masyarakat.

Selebihnya, mungkin penetrasi dan penggunaan jasa keuangan oleh koperasi-koperasi. Sambil, tetap berharap, NTT perlahan keluar dari eksklusi perbankan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun