Mohon tunggu...
Roman Rendusara
Roman Rendusara Mohon Tunggu... Petani - Memaknai yang Tercecer

Seorang anak kampung, lahir dan bertumbuh di Rajawawo, Ende. Pernah dididik di SMP-SMA St Yoh Berchmans, Mataloko (NTT). Belajar filsafat di Driyarkara tapi diwisuda sebagai sarjana ekonomi di Universitas Krisnadwipayana, Jakarta. Terakhir, Magister Akuntansi pada Pascasarjana Universitas Widyatama Bandung. Menulis untuk sekerdar mengumpulkan kisah yang tercecer. Blog lain: floreside.wordpress.com.

Selanjutnya

Tutup

Financial Artikel Utama

Biar Cukup Kau yang Kaya Saja

30 Oktober 2020   13:49 Diperbarui: 31 Oktober 2020   17:47 632
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Warga berkerumun di depan kantor Bank BRI Kota Tasikmalaya untuk mencairkan BLT UMKM, Rabu (21/10/2020). Sumber: mediaindonesia.com

Perubahan yang cepat dalam Revolusi Industri 4.0 ini mengantar kita kepada disrupsi (disruptive). Disrupsi memutuskan pendekatan-pendekatan dan cara-cara lama ke dalam pendekatan-pendekatan dan cara-cara yang baru. 

Inovasi adalah kekuatan terbesar untuk mengembangkan pendekatan baru, menyederhanakan cara-cara lama yang rumit, mempermudah pekerjaan, dan mempersingkat waktu untuk menyelesaikan tugas tertentu.

Tidak ketinggalan dalam bidang keuangan. Hari-hari terakhir ini, bergaung gema diskusi keuangan tentang inklusi keuangan digital. Bahkan Kompas, tiga hari berturut-turut mengupas tuntas dengan data dan fakta perihal transaksi keuangan berbasis kemajuan teknologi digital ini.

Inklusi Keuangan

Bank Dunia mendefenisikan inklusi keuangan sebagai proporsi individu dan perusahaan yang menggunakan jasa keuangan. Sementara, Alliance for Financial Inclusion (AFI) mengatakan proses memastikan akses penggunaan layanan keuangan perbankan adalah inklusi keuangan. 

Inklusi keuangan selalu diukur dalam tiga dimensi, 1) akses ke layanan keuangan, 2) penggunaan layanan keuangan, dan 3) kualitas produk dan pelayanan keuangan.

Di tengah pandemi Covid-19, kita menyaksikan masih banyak anak bangsa yang belum memiliki rekening bank. Di Ende, Nusa Tenggara Timur (NTT), saya melihat antrian yang mengular di beberapa bank. Tujuan utama adalah membuka rekening bank. Selain itu, mengaktifkan kembali rekening bank yang sudah sejak lama 'menganggur'. 

Pasalnya, sebagai salah satu syarat untuk menerima bantuan PEN dari pemerintah. Ini baru soal pertama, akses ke layanan keuangan.

Dan, suatu malam, saya ditawarkan sebuah produk keuangan, dari sebuah lembaga keuangan, yang saya duga 'bodong'. Berapi-api, si penawar mengatakan, produk yang dibawanya adalah aplikasi konkret dari janji kampanye Joko Widodo tentang fintech (finansial technology). 

Cara kerjanya: calon anggota mendaftar melalui sebuah aplikasi, mengisi sejumlah uang sebagai setoran awal dan memberikan uang kepada si penawar.

Hemat saya, semirip skema Ponzi. Anggota mencari anggota (member get member). Keuntungannya, katanya, ada dua, yakni mendapatkan 50% dari modal yang disetor oleh 'kaki'-nya dan mendapat pahala. Lanjutnya, 10% dari keuntungan akan disalurkan kepada anak-anak miskin dan terlantar melalui panti asuhan.

Saya menjelajahi laman OJK (Otoritas Jasa Keuangan) ketika dia asyik promosi. Dan, 'eureka'. Saya menemukan jawaban pasti. Saya mengatakan kepadanya, bisnis ini ilegal. Dia kaget. Pembicaraan beralih ke topik lain. Ini soal ketiga, hendaknya perlu mempertimbangkan kualitas produk dan pelayanan keuangan.

OJK merilis indeks inklusi keuangan 2019 meningkat mencapai 76,19% dibandingkan dengan tahun 2016 hanya berada di 67,8%. Artinya, terdapat peningkatan akses terhadap produk dan layanan keuangan. Namun indeks literasi keuangan berada pada 38,03%. 

Artinya, tidak semua masyarakat yang menggunakan produk/pelayanan keuangan memiliki pemahaman yang baik tentang produk/layanan keuangan. (Sumber).

Literasi Keuangan Digital

Lebih rendah lagi indeks literasi keuangan digital. Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan tahun 2019 terhadap 4.536 responden, hanya 31,26 persen yang menggunakan jasa layanan financial technology (teknologi finansial/(tekfin). 

Sebanyak 68,74 persen belum menggunakan layanan tekfin. Masyarakat paling banyak menggunakan tekfin berjenis pembayaran (66,6 persen), pe-er to peer lending/pinjaman daring (27,4 persen), asuransi (9,9 persen), dan agregator (9,1 persen).

Adapun alasan masyarakat yang belum menggunakan tekfin adalah tidak membutuhkan (52,7 persen), tidak paham (39,2 persen), tidak percaya (37,4 persen), dan biayanya mahal (13,6 persen). [Munawar dalam 'Tantangan Inklusi Keuangan Digital' (Kompas, 28/10/2020)].

Data, sebagaimana dilansir Kompas 30/10/2020, transaksi keuangan elektronik di Indonesia hingga Agustus 2020 ada 3,021 milyar transaksi dengan total Rp 126.96 triliun. Sementara, per April 2020, terdapat 161 penyelenggara fintech yang terdaftar dan berizin di OJK. Dan selama 2020 hingga September ini, Satgas Waspada Investasi sudah melarang dan membekukan (tutup) 195 entitas investasi illegal.

Mental Instan

Menurut Saal, dkk (2017), dalam Munawar 'Tantangan Inklusi Keuangan Digital' (Kompas, 28/10/2020), ada empat tantangan pengembangan layanan keuangan digital di negara berkembang. 

Tantangan itu adalah rendahnya penetrasi layanan keuangan formal, rendahnya penghasilah dan literasi keuangan, ekosistem teknologi yang belum berkembang, serta lemahnya infrastruktur.

Dalam konteks NTT, beberapa tantangan pengembangan di atas sudah diselesai melalui program pembangunan pemerintahan Joko Widodo sekurangnya lima tahun terakhir ini. Namun mental instan masyarakat-untuk mendapatkan sesuatu dengan cara-cara yang gampang-masih sangat kuat. 

Terlebih, untuk mendapatkan pelayanan keuangan. Ini yang menyebabkan indeks literasi keuangan hanya 27,82%, jauh sangat merangkak dari tingkat nasional (38,03%). (Sumber)

Biar Cukup Kau yang Kaya Su

Akhirnya, tidak heran di NTT menjamur lembaga keuangan illegal. Masih banyak yang berkeliaran bebas. Saya tidak perlu menyebutnya. Saya yakin, sudah ada di catatan Satgas Waspada Investasi NTT.

Memang gerakan literasi kita masih sebatas bangun perpustakaan. Solusi literasi keuangan ditawarkan agar 'cari sendiri-sendiri' sambil dibantu oleh Koperasi Kredit yang masih setia dengan pendidikan kepada anggotanya. 

Yang penting bagi kita, cerdas menerima tawaran-tawaran investasi berbunga tinggi yang diterima dua minggu sekali. Cara terbaik menolak tawaran investasi bodong, katakan: 'biar cukup kau yang kaya su' (biar cukup Anda saja yang kaya).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun