Mohon tunggu...
Roman Rendusara
Roman Rendusara Mohon Tunggu... Petani - Memaknai yang Tercecer

Seorang anak kampung, lahir dan bertumbuh di Rajawawo, Ende. Pernah dididik di SMP-SMA St Yoh Berchmans, Mataloko (NTT). Belajar filsafat di Driyarkara tapi diwisuda sebagai sarjana ekonomi di Universitas Krisnadwipayana, Jakarta. Terakhir, Magister Akuntansi pada Pascasarjana Universitas Widyatama Bandung. Menulis untuk sekerdar mengumpulkan kisah yang tercecer. Blog lain: floreside.wordpress.com.

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Homo Economicus, Homo Cooperativus, dan Koperasi Kredit

27 Agustus 2020   12:39 Diperbarui: 28 Agustus 2020   11:59 459
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Masalah utama dalam wacana ekonomi sekarang ini adalah hubungan yang timpang antara perilaku ekonomi dan moralitas. Kita mengakui bahwa kita makhluk yang bermoral. Kita tahu , mana yang baik dan mana yang tidak baik untuk dilakukan sesuai standar-standar moral yang berlaku dalam masyarakat kita. Namun beberapa kali kita secara sadar atau tidak, menyangkal kemanusiaan kita sebagai makhluk bermoral.

Dalam perilaku dan tindakan ekonomi menjadi contoh yang nyata. Dorongan motif ekonomi (untuk memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya dengan biaya seminimal mungkin) kadang mengabaikan moralitas. Seringkali etika bisnis hanya sebuah catatan tak bermakna saat kuliah. Berhadapan dengan dunia nyata yang penuh persaingan kita membuangnya jauh-jauh.

Fenomena kelumpuhan moralitas dalam perilaku ekonomi seperti ini sering dijumpai dalam diskusi 'homo economicus'.

Homo Economicus

Siapakah 'homo economicus'? Awalnya sebuah fiksi yang ditemukan oleh para ekonom. Model 'homo economicus' adalah karakter dari novel Robinson Crusoe oleh Daniel Defoe, yang dibayangkan sebagai metafora untuk orang Inggris yang menemukan tanah 'perawan' (tanpa penghuni).

Pada 1950-an, seorang ekonom Inggris, Lioel Robbins mempresentasikan 'homo economicus' sebagai model untuk memaksimalkan kesejahteraan, ibarat sebuah perusahaan yang berusaha sekuat kemampuan demi memperoleh keuntungan yang maksimal, dan dengan mengorbankan biaya yang sekecil-kecilnya.

Meski rasionalisasi perilaku ekonomi ini dicegat oleh sosiolog Pierre Bourdieu. Bagi Bourdieu, 'homo economicus' adalah monster antropologis. Sebab seorang individu memiliki supremasi ultimate melampau kelompok sosialnya. 'Homo economicus' lebih mengejar kepentingan pribadi di atas kebutuhan kolektif dan sosial. Penarikan tabungan di lembaga keuangan, termasuk Koperasi Kredit, oleh nasabah/anggota secara beramai-ramai yang menimbulkan rush, adalah contoh perilaku 'homo economicus'. Terutama menghadapi krisis keuangan akibat pandemi Covid-19 ini, lembaga-lembaga keuangan bergandeng tangan menjaga likuiditas agar tidak terganggu.

Homo Cooperativus

'Homo cooperativus' adalah sebuah pendekatan alternatif. Bisa jalan keluar dari fenomena 'homo economicus' yang sudah jauh merasuk setiap sendi kehidupan manusia. Istilah 'homo cooperativus' pernah diuraikan Georg Draheim, seorang pemikir Jerman pada 1950-an. Menurut Draheim, 'homo cooperativus sebagai atribut yang melekat setiap individu dengan kepentingan pribadi (self-interest) yang sekaligus sadar penuh, bahwa untuk mencapai kepentingan esensial dalam kehidupan, setiap individu membutuhkan orang lain. Motif ekonomi setiap individu perlu didukung dengan kesadaran, bahwa manusia perlu bekerja sama, demi memenuhi kebutuhan kolektif bersama. Kebutuhan bersama adalah kesejahteraan dan kebahagiaan.

'Homo cooperativus' adalah 'homo economicus' yang tercerahkan. Ia tetap memiliki motif-motif pribadi untuk mencapai kesejahteraan. Sekaligus ia yakin akan nilai, pengalaman sosial dan penghayatan hidup sebagai manusia yang saling bekerja sama, tolong-menolong dan gotong-royong.

Unsur-unsur 'homo cooperativus' menurut Draheim selalu dilekatkan pada nilai, prinsip dan jati diri koperasi. Termasuk Koperasi Kredit. Meski sejarah pemikiran dan eksistensi koperasi lebih dulu lahir sebelum Draheim mewacanakannya.

'Homo cooperativus' adalah keadaan yang terbayangkan, bagaimana masa depan kemanusiaan di tengah era kapitalis ini? Kapitalisme mendasar pada hasrat berkompetisi yang kuat. Secara ekonomi, setiap orang sibuk memperkaya diri, dan mengejar keuntungan sebesar-besarnya. Kapitalisme meniadakan kerja sama sekaligus memupuk egoisme yang kuat demi survive.

Hemat saya, 'homo cooperativus' adalah simpulan teori Darwin, bahwa manusia bisa bertahan dalam kultur penuh persaingan hanya karena perilaku pro-sosial, sinergisitas dan kerja sama. Tanpa ketiga perilaku itu manusia akan punah.

Koperasi Kredit

Koperasi Kredit sejak dirintis Robert Owen (1771 -- 1858) dan berlanjut pada Friedrich Wilhelm Raiffeisen (1818 -- 1888) selalu memegang teguh pada nilai: menolong diri sendiri, tanggungjawab pribadi, demokrasi, kesamaan, solidaritas dan kepemilikan bersama. Sementara prinsip-prinsip dasar koperasi adalah keanggotaan yang sukarela dan terbuka, pengawasan yang demokratis oleh anggota, partisipasi ekonomi anggota, otonomi dan keswadayaan, pendidikan, pelatihan dan informasi, kerjasama di antara koperasi dan kepedulian terhadap komunitas.

Titik temu gagasan 'homo coperativus' dan koperasi adalah solidaritas yang dilahirkan oleh perilaku pro-sosial dan mau bekerja sama. Solidaritas menguat jika kita mau peduli terhadap kepentingan kolektif. Solidaritas pula melahirkan, salah satunya, sikap altruistik.

Contohnya, dalam pandemi Covid-19 ini anggota Koperasi Kredit yang mampu secara ekonomis, tidak menarik simpanannya. Sebab jika menarik simpanan secara besar-besaran akan mengakibatkan gangguan likuiditas. Gangguan likuiditas berdampak pada pelayanan pinjaman kepada anggota lain yang sangat membutuhkan menjadi terkendala.

Model perilaku ekonomi alternatif seperti 'homo cooperativus' mesti didorong menjadi gerakan nasional oleh pemerintah. Tidak terlalu penting, memberi cap Kabupaten/Propinsi Koperasi pada wilayah kabupaten/propinsi tertentu, sementara koperasi di wilayah tersebut 'mati suri' dan pertumbuhan selalu negatif baik dari segi keanggotaan dan aset. Kebanggaan sebagai 'Kabupaten Koperasi' adalah euforia semu, ketika di saat yang sama koperasi 'babak belur'dihajar kebijakan pajak yang cenderung 'rakus'.

Paling penting adalah kebijakan pajak yang rasional, penguatan capacity building bagi insan koperasi, komitmen digitalisasi koperasi didukung sarana dan prasarana, serta tegas membasmi rentenir berbendera 'koperasi'.

Hemat saya, jika serius dilakukakan, maka 'keadaan terbayangkan' akan menjadi nyata. Kesejahteraan bersama tercapai. Kebahagiaan pun terwujud.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun