Masalah utama dalam wacana ekonomi sekarang ini adalah hubungan yang timpang antara perilaku ekonomi dan moralitas. Kita mengakui bahwa kita makhluk yang bermoral. Kita tahu , mana yang baik dan mana yang tidak baik untuk dilakukan sesuai standar-standar moral yang berlaku dalam masyarakat kita. Namun beberapa kali kita secara sadar atau tidak, menyangkal kemanusiaan kita sebagai makhluk bermoral.
Dalam perilaku dan tindakan ekonomi menjadi contoh yang nyata. Dorongan motif ekonomi (untuk memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya dengan biaya seminimal mungkin) kadang mengabaikan moralitas. Seringkali etika bisnis hanya sebuah catatan tak bermakna saat kuliah. Berhadapan dengan dunia nyata yang penuh persaingan kita membuangnya jauh-jauh.
Fenomena kelumpuhan moralitas dalam perilaku ekonomi seperti ini sering dijumpai dalam diskusi 'homo economicus'.
Homo Economicus
Siapakah 'homo economicus'? Awalnya sebuah fiksi yang ditemukan oleh para ekonom. Model 'homo economicus' adalah karakter dari novel Robinson Crusoe oleh Daniel Defoe, yang dibayangkan sebagai metafora untuk orang Inggris yang menemukan tanah 'perawan' (tanpa penghuni).
Pada 1950-an, seorang ekonom Inggris, Lioel Robbins mempresentasikan 'homo economicus' sebagai model untuk memaksimalkan kesejahteraan, ibarat sebuah perusahaan yang berusaha sekuat kemampuan demi memperoleh keuntungan yang maksimal, dan dengan mengorbankan biaya yang sekecil-kecilnya.
Meski rasionalisasi perilaku ekonomi ini dicegat oleh sosiolog Pierre Bourdieu. Bagi Bourdieu, 'homo economicus' adalah monster antropologis. Sebab seorang individu memiliki supremasi ultimate melampau kelompok sosialnya. 'Homo economicus' lebih mengejar kepentingan pribadi di atas kebutuhan kolektif dan sosial. Penarikan tabungan di lembaga keuangan, termasuk Koperasi Kredit, oleh nasabah/anggota secara beramai-ramai yang menimbulkan rush, adalah contoh perilaku 'homo economicus'. Terutama menghadapi krisis keuangan akibat pandemi Covid-19 ini, lembaga-lembaga keuangan bergandeng tangan menjaga likuiditas agar tidak terganggu.
Homo Cooperativus
'Homo cooperativus' adalah sebuah pendekatan alternatif. Bisa jalan keluar dari fenomena 'homo economicus' yang sudah jauh merasuk setiap sendi kehidupan manusia. Istilah 'homo cooperativus' pernah diuraikan Georg Draheim, seorang pemikir Jerman pada 1950-an. Menurut Draheim, 'homo cooperativus sebagai atribut yang melekat setiap individu dengan kepentingan pribadi (self-interest) yang sekaligus sadar penuh, bahwa untuk mencapai kepentingan esensial dalam kehidupan, setiap individu membutuhkan orang lain. Motif ekonomi setiap individu perlu didukung dengan kesadaran, bahwa manusia perlu bekerja sama, demi memenuhi kebutuhan kolektif bersama. Kebutuhan bersama adalah kesejahteraan dan kebahagiaan.
'Homo cooperativus' adalah 'homo economicus' yang tercerahkan. Ia tetap memiliki motif-motif pribadi untuk mencapai kesejahteraan. Sekaligus ia yakin akan nilai, pengalaman sosial dan penghayatan hidup sebagai manusia yang saling bekerja sama, tolong-menolong dan gotong-royong.
Unsur-unsur 'homo cooperativus' menurut Draheim selalu dilekatkan pada nilai, prinsip dan jati diri koperasi. Termasuk Koperasi Kredit. Meski sejarah pemikiran dan eksistensi koperasi lebih dulu lahir sebelum Draheim mewacanakannya.