Mohon tunggu...
Roman Rendusara
Roman Rendusara Mohon Tunggu... Petani - Memaknai yang Tercecer

Seorang anak kampung, lahir dan bertumbuh di Rajawawo, Ende. Pernah dididik di SMP-SMA St Yoh Berchmans, Mataloko (NTT). Belajar filsafat di Driyarkara tapi diwisuda sebagai sarjana ekonomi di Universitas Krisnadwipayana, Jakarta. Terakhir, Magister Akuntansi pada Pascasarjana Universitas Widyatama Bandung. Menulis untuk sekerdar mengumpulkan kisah yang tercecer. Blog lain: floreside.wordpress.com.

Selanjutnya

Tutup

Financial Pilihan

Mengimani Koperasi Kredit (Credit Union)

22 Juli 2020   14:22 Diperbarui: 23 Juli 2020   07:27 226
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di bangku sekolah menengah, saya menghafat betul, apa itu iman?, dalam pelajaran Agama. Iman adalah penyerahan diri secara total (penuh) kepada Allah. Iman menuntut pengorbanan tanpa syarat. Paul Tillich (1886-1965), seorang Lutheran yang sering disebut 'apostle to the intellectuals' (rasul bagi kaum intelektual), mengatakan, iman adalah suatu keadaan ditangkap oleh 'kekuatan dirinya sendiri' dengan 'perhatian tanpa syarat' (2001:18). Kegiatan 'memberikan diri kepada sesuatu yang lebih besar' adalah jantung dari iman.

Dalam kehidupan sehari-hari, kita ditangkap oleh sebuah kekuatan yang dahsyat (Allah), yang kemudian menuntut kita untuk memberikan diri sepenuhnya, percaya penuh akan-Nya. Iman memang menuntun perhatian utama kita terhadap sesuatu, bisa Tuhan (Allah), bisa jadi 'sesuatu' yang ideal.

Untuk memahami iman, saya coba mengantar kita pada kisah perumpamaan anak yang hilang (Luk 15:1-32). Anak bungsu digambarkan sebagai anak yang durhaka, meminta jatah warisan orangtua dan hidup berfoya-foya menghabiskan uang warisan. Si sulung bekerja dengan ayahnya dengan tekun. Si bungsu menyadari kesalahannya karena hidupnya terasa sangat sulit, maka ia kembali kepada ayahnya. Si sulung marah, karena sang ayah membuat pesta untuk si bungsu yang boros. Si ayah membujuknya, agar mau ikut pesta karena adiknya yang hilang itu.

Semua kita diundang dalam pesta syukur atas anak hilang, tidak hanya si bungsu yang boros dan si sulung yang iri hari. Kita diajak untuk terlibat dalam proyek besar keselamatan Allah. Allah dilukiskan sebagai ayah yang baik; membuat pesta dan yang mengajak anak sulung untuk ikut masuk dalam kegembiaran pesta itu. Di sini lah momen penting; apakah orang mau terlibat dalam proyek Allah? Apakah orang mau berpartisipasi dalam tindak kreatif Allah?

Pada dan dalam konteks inilah, mengimani Koperasi Kredit (Credit Union)-sebagai salah satu pilar ekonomi yang (masih) ideal itu ditempatkan. Credit Union berasal dari dua kata. Kata 'credere' (Latin: saling percaya) dan 'unio' (Latin: kumpulan). Jadi, Koperasi Kredit (Credit Union) adalah kumpulan orang-orang yang saling percaya. Di Indonesia, Credit Union diterjemahkan dengan Koperasi Kredit. (A.M. Lilik Agung, ed., 2013:2).

Kopdit (CU) dalam beberapa literatur dan pelaksanaannya, adalah koperasi simpan pinjam yang dijalankan secara demokratis dan profit sharing (bagi hasil). World Council of Credit Union (WOCCU) mendefenisikan Credit Union sebagai lembaga keuangan yang bukan mencari keuntungan (not for profit cooperative institutions). Core bisnis Kopdit (CU) adalah simpanan dan pinjaman. Mengutamakan simpanan, bukan pinjaman. Makanya UU Koperasi mencantumkan Kopdit (CU) sebagai jenis Koperasi Simpan Pinjam (KSP).

Kopdit (CU) bisa menjalankan core bisnisnya hanya karena saling percaya (credere). Orang-orang saling percaya untuk menyimpan uang secara bersama-sama, dalam sebuah wadah (lembaga) yang dikelola secara bersama-sama dan dikontrol bersama melalui RA (Rapat Anggota), baik rapat anggota tahunan (RAT) atau rapat anggota khusus (RAK). Atas dasar saling percaya anggota menabung di Kopdit (CU) tanpa ragu, kemudian jika dibutuhkan, anggota meminjam dengan bunga sekecil mungkin.

Kopdit (CU) itu berdiri hanya rasa saling percaya. Tanpa saling percaya, Kopdit (CU) direduksi menjadi lembaga keuangan yang memendam rasa saling curiga, karena tata kelola yang tidak demokratis, kebijakan Pengurus yang cenderung otoriter, laporan keuangan yang tidak transparan dan setoran anggota yang tidak dibukukan tepat waktu.

Bukan hanya rasa saling percaya, tapi mengimani. Karena Yesus bilang, "Mari ikuti lah Aku!". Mengkuti berarti masuk ke dalam. Mengikuti berarti serahkan diri secara total (mengimani). Dan mengikuti, mengerahkan diri secara total serta mengimani Kopdit (CU) berarti keterlibatan. Keterlibatan dalam proyek keselamatan (ekonomis) anggota dan manusia pada umumnya. Sebab keterlibatan adalah akar dari saling percaya dan cinta. Mengimani Kopdit (CU) berarti sungguh-sungguh menjadi pengurus yang bijak, menjadi pengawas yang jujur, menjadi staf yang rajin dan menjadi anggota tidak curiga terus.

Tak bisa dipungkiri, seiring perjalanan waktu, saling percaya dan cinta terhadap Kopdit (CU) tergerus oleh sikap tidak mengimani (tidak terlibat) secara penuh dengan peran sudah diwenangkan masing-masing.

Ada contohnya. Pertama, ada pengurus yang hanya nama. Jarang hadir rapat, alasan sibuk. Apalagi disuruh turun ke kelompok masyarakat untuk sosialisasi/pendidikan anggota hampir tidak ada waktu. Padahal pengurus sudah dipilih oleh anggota yang saling percaya untuk mengurus Kopdit (CU).

Kedua, ada pengawas terlalu banyak curiga dengan tata kelola keuangan Kopdit (CU), sampai-sampai ia tidak ada waktu untuk melakukan pemeriksaan dan membuat laporan hasil pemeriksaan. Berbicara lebih utama daripada bertindak. Ia mendahulukan curiga ketimbang laporan berbasis data yang obyektif.

Ketiga, ada staf manajemen atau pengelola yang tidak jujur, dengan menyalahgunakan setoran uang anggota. Fraud terus terjadi, entah hingga kapan diselesaikan selama 'mengimani Kopdit (CU)' belum menjadi spirit dasar. Ada kesan, ada manajer sibuk menyelesaikan fraud ketimbang berpikir pengembangan Kopdit (CU) yang progresif. Tidak sulit mengimani Kopdit (CU) bagi seorang staf penagihan. Katakan pada diri, 'ini uang hasil keringat orang-orang kecil' yang rela berjemur di pasar-pasar tradisional, demi mendapat seribu-dua ribu rupiah'.

Keempat, ini yang terakhir, untuk anggota. Di Kopdit (CU) ada ungkapan saling percaya, semacam syahadat/credo (aku percaya), 'simpan teratur, pinjam bijak sana, angsur tepat waktu dan jumlah. Anggota yang sudah mulai lupa dengan syahadat ini, ketika ia pinjam, misalnya, setiap hari akan menulis di pintu rumah; "Maaf, sedang tidak berada di rumah", atau di gang masuk sudah ditempel: "Anda memasuki area anjing beranak yang galak". Staf Kopdit (CU) sudah sangat paham dengan yang begini. Bagi anggota, mengimani Kopdit (CU) adalah simpan teratur, pinjam secara bijaksana, angsur tepat waktu dan jumlah, ditambah dengan bersedia waktu mengikuti RAT dan pendidikan anggota.

Ingat, sekali lagi, mengimani berari terlibat. Mengimani Kopdit (CU) menuntut sepenuhnya berperan (keterlibatan) sesuai hak, kewajiban dan wewenang yang sudah dialokasikan, entah sebagai pengurus, pengawas, staf manajemen dan anggota.

Sebab resiko dari sebuah sikap tak mengimani atau perilaku tidak terlibat adalah penghianatan. Maka bubarlah Kopdit (CU) jika ini harus terjadi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun