Pemerintah mencurahkan sumber daya yang besar. Hal ini tentu saja menyenangkan masyarakat yang merindukan kembalinya sentuhan pemerintah yang lebih nyata.
Namun terhadap tepuk tangan dan sorak sorai kaum Keynesian ini, kita sejenak berbisik, sampai kapan negara 'jor-jor'-an mengucurkan dana. Penyelamatan ekonomi dengan pengeluaran publik (belanja negara) tidak lebih dari sekedar mempertahankan tatanan sosial ekonomi yang bersifat sementara. Teori Keynes pun mendapat kritikan tajam juga saat itu.
Mestinya kini, pemerintah dan kita berusaha mempersiapkan 'gaya hidup baru' (the new lifestyle). Kita berusaha beradaptasi saja dengan perjuangan panjang menghadapi Covid-19 ini. WHO pun sudah mengatakan virus ini akan bersama kita dalam waktu yang lama (Detik 23/4).Â
Mungkinkan, ke depan kita akan merasa penyakit ini seperti flu biasa, (seperti kata Wagub NTT, saat awal ketika virus ini muncul di China), dengan begitu ekonomi kita sedikit demi sedikit pulih dan membaik. Kehidupan sosial ekonomi kita mulai tertata dengan 'gaya hidup baru'masyarakatnya.
Konkretnya, saat -- saat ini kita sudah diperkenankan 'gaya hidup baru itu', secara sadar atau tidak. Membiasakan cuci tangan hingga kerja dari rumah.Â
Ke depan, sekolah tanpa gedung, kampus tanpa ruangan kuliah, kantor hanya di atas tombol-tombol laptop, dan mau makan dan belanja hanya geser -- geser layar hp. Rumah ibadah pun di layar kaca saja.Â
Bisa jadi, ke depan negara sebesar genggaman tangan. Urusan administasi kependudukan tidak seribet sekarang, kita mungkin tidak perlu RW, desa, kecamatan, kabupaten dan propinsi. Kita terpusat. Kita tidak ada lagi sekat -- sekat dan kluster berdasarkan wilayah, yang ada hanya Indonesia.
Toh, semuanya bisa jadi demikian karena 'isi periuk'kita tidak ditanggung pemerintah seterusnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H