Pohon – pohon bakau melambai. Laut menghempas-hempas bibir pantai sepanjang jalur masuk kota itu. Kota yang biasa dikenal Reinha Rosari menyapa hangat kami dengan teriknya siang itu. Selamat datang di Larantuka, ibukota Kabupaten Flores Timur, NTT.
Kota kecil Larantuka sangat kental dengan nuansa kekatolikan. Maklum dalam catatan sejarah Gereja Katolik, sekitar tahun 1665, Raja Ola Adobala dibaptis dengan nama Don Fransisco Ola Adobala Diaz Vieira de Godinho. Hal ini didukung dengan peristiwa 8 September 1886, Raja Don Lorenzo Usineno II DVG, raja ke-10 Larantuka, menobatkan Bunda Maria sebagai Ratu Kerajaan Larantuka sehingga Larantuka sejak saat itu umum disebut "Reinha Rosari" (Ratu Rosari).
Perjalanan kami tidak berhenti di Larantuka. Bergegas kami menuju pelabuhan yang terletak di selat Flores yang tenang. KM Sadi Dere sudah menunggu, tuk membawa kami ke sebuah pulau yang diapit sebelah Barat oleh Pulau Flores dan Timur oleh Pulau Adonara.
Dermaga Onga Lerang Solor Timur. Foto: Roman Rendusara
Pukul 14.00 WIT tepat. Jangkar dilepaskan. Perlahan KM Sadi Sare malu-malu menjauhi labuh. Kecepatan dinaikkan. Terbatuk – batuk kapal motor itu membelah laut. Tak begitu lama, hanya 45 menit, pulau tersebut berdiri anggun di depan mata. KM Sadi Sare bersandar di dermaga Onga Lerang. Kami pun tiba di Pulau Solor, Flores Timur dan menunju tempat menginap.
Pagi hari di Desa Titehena Kec. Solor Barat. Cuaca cerah. Udara agak panas. Setelah menyeruput kopi dan teh hangat diteman jagung titi (pop corn-nya Solor), kami berkunjung ke SD Filial ditemani Kepsek SDK Kalelu Lusia Mariana Manuk, Kepala UPTD Dinas PPO Kec. Solor Barat Moses L Niron dan Kepala Desa Titehena Rufus Rage Manuk.
Terdesak oleh kondisi SDK Kalelu di Desa Kalelu yang tidak mampu lagi menampung murid lebih dari 200 siswa, serta keterbatasan ruangan dan guru, lahirlah SD Filial. Sekolah ini didirikan pada 2014 berkat usaha secara swadaya oleh masyarakat Desa Titehena dan Desa Kalelu. Terdapat dua ruangan kelas, tanpa ruangan guru. Bangunan pun seadanya, berpijak langsung di atas tanah, beratapkan seng bekas dan berdinding daun lontar. Tiris dan bocor saat hujan menjadi menu yang biasa.
Kondisi bangunan sekolah sebelum roboh. Foto: Dokumen
Tahun pelajaran 2014/2015 gedung SD Filial menampung 37 siswa; kelas I 17 siswa dan 20 siswa di kelas II. Para siswa dididik oleh Ibu Hermina Jedo, seorang guru PNS dan seorang guru honor Lusia Barek Kaha. Kepala sekolah masih disatukan dengan sekolah induk, Ibu Lusia Mariana Manuk.
Kondisi bangunan SD Filial sebelum roboh. Foto: Dokumen
Dalam ruangan kelas terdapat kursi siswa terbuat dari kayu. Meja belajar siswa menggunakan potongan batang pohon lontar, yang ditutup dengan 30cmx30cm lembaran tripleks. Â Beberapa kursi plastik disiapkan oleh orangtua murid. Sedangkan di kelas yang lain, menggunakan meja seperti biasa, sisa dari sekolah tetangga SDK Kalelu. Sarana lain seperti papan tulis, alat tulis, buku pelajaran dan penunjang KBM lainnya didatangkan dari SDK Kalelu.
Meja dari potongan batang lontar. Foto: Dokumen
Bangunan sekolah ditambah satu ruangan untuk kelas III memasuki tahun pelajaran 2015/2016. Jumlah siswa pun menjadi 54 anak. Siswa kelas I 19 siswa, kelas II 14 siswa dan 21 siswa duduk di kelas III. Seiring penambahan siswa dan ruang kelas maka Komite mengangkat seorang guru Yosefina Moton Keyn sebagai honorer. Meja dan kursi belajar siswa disiapkan oleh masyarakat sendiri.
Pada tahun ketiga ini, tahun pelajaran 2016/2017, SD Filial ingin menambah satu ruangan lagi, namun karena keterbatasan biaya, kelas VI sebanyak 21 siswa menempati gedung PAUD milik Desa Titehena. Kini jumlah siswa 71 anak dan Robertus Anatake Kukun diangkat menjadi guru honorer oleh Komite.
Angin topan merobohkan bangunan SD Filial. Foto: Dokumen
Namun tiga bangunan SD Flilial itu tidak bertahan lama. Angin topan memaksanya tiarap. Bangunan itu roboh pada Minggu malam 5 Pebruari 2017 yang lalu. Tanpa tersisa sedikit pun, rata dengan tanah. Alam seakan memupuskan semangat anak – anak Titehena untuk terus belajar dan belajar. Bencana pun seakan menghapuskan spirit penuh pengabdian guru – gurunya. Keringat dan pengorbanan masyarakat Titehena tersendat. Tak ada lagi semangat untuk membangun kembali. Mereka mengumpulkan puing – puing dengan penyesalan mendalam.
Seorang siswa menyelamatkan kursi. Foto: Dokumen
Tak banyak orang tahu, bahwa di pojok Timur Indonesia, di Pulau Solor, sudah lima bulan siswa – siswi SD Filial kehilangan tempat belajar. Mereka tak memiliki tempat meneduh; untuk menghafal perkalian, tuk mencoret – coret buku gambar sekedar melukis indahnya pantai Solor, tak ada lagi tempat membaca buku, memandang peta buta dan menyimak pelajaran dari guru – guru. Tertinggal hanyalah tiang bendera berdiri menjulang, seolah memberikan ketegaran hati agar tetap semangat dan berharap – sebagaimana pesan tua, ‘selama masih bernafas, selama itu pula, panjatkan harapan’.
Kini yang tersisa hanyalah tiang bendera. Foto: Dokumen
Kini, masyarakat Titehena yang umumnya petani dan sebagian mengais rejeki di tanah rantau (Malaysia) berharap penuh pada semua pihak untuk peduli terhadap nasib dan masa depan 71 anak – anak mereka. ditemani Kepsek SDK Kalelu sekaligus SD Filial Lusia Mariana Manuk, Kepala UPTD Dinas PPO Kec. Solor Barat Moses L Niron dan Kepala Desa Titehena Rufus Rage Manuk senanda berharap, ada pihak yang peduli terhadap kondisi SD Filial kini.
Semoga.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H
Lihat Sosbud Selengkapnya