TOUR DE FLORES (TdF) 2016 sudah dan sedang berlangsung. Kini memasuki etape ke-4, bergaris finish di kota dingin Ruteng. Sebelumnya, kabar berhebus sangat kuat, di etape ke-3, di Kota Bajawa, para peserta hanya mampir singgah untuk penyerahan hadiah juara etape saja. Mereka tidak bisa bermalam di Kota Labu Jepang itu, beda seperti sebelumnya di Maumere dan Ende. Tetapi faktanya berbalik 180 derajat. Tidak benar. Justru Marianus Sae terlihat memimpin tarian ja’i di acara gala dinner semalam di Kota Peo/Ngadhu itu.Â
Di tengah zaman dengan komunikasi yang super lancar ini, berita tersiar cepat. Saya mendengar berita di daerah Ngada pembalap tidak menginap itu justru dari teman-teman yang berada di luar Pulau Flores. Mereka lebih tahu? Jangan heran, ini era ekomunikasi, ketika jari-jari lincah menari di atas layar sentuh telepon pintar, kita tinggal menekan ‘oke/send’. Komunikasi berjalan. Tanpa harus mulut berbusa. Jarak sejauh apapun tembus. Hingga menyeberang lautan. Makanya, kadang berita kedukaan di kampung, saya justru tahu dari orang yang berada di luar pulau ini. Termasuk, soal TdF 2016 dengan segala berita positif-negatif yang menyertainya.
Sebagai sebuah event baru, TdF 2016 ini digrebek sejumlah kritik. Beberapa sangat tajam dan pedas. Ada pula memberikan komentar tidak setuju dengan sangat elegan, sambil memberikan solusi-solusi yang cerdas. Beberapa memberikan komentar tanpa disertai solusi-solusi brilian akan model pengembangan pariwisata Flores yang optimal. Tidak lupa, sebagian besar masyarakat sangat mendukung ajang balap sepeda jelajah pesona Flores ini. Pro-kontra itu kekayaan. Perbedaan itu rahmat.
Pertama, event yang didukung UCI (Union Cycliste Internasional) membangkitkan motivasi anak-anak kita untuk menjadi pembalap sepeda. Saya sambil senyum terkagum-kagum dengan aksi sekelompok anak seusia SD semalam. Ketika warga Kota Ende berbondong-bondong menyaksikan penampilan Nidji dan Musikimia, mereka kompak bersepeda, melewati dan menjejaki jalur utama TdF kemarin. Sontak mereka menjadi pusat perhatian. Kira–kira pembalap mini sepeda Ende ini berjumlah 20-an. Saya tidak sempat mengambil gambar. Saya pikir, ini dampak nyata TdF 2016, anak-anak sudah menyukai sepeda. Bukan tidak mungkin akan muncul pembalap nasional asli Flores pada TdF tahun–tahun mendatang. Anak–anak Flores tidak kalah jauh. Fasilitas perlu didukung. Tinggal masyarakat dan pemerintah memanfaatkan momen ini. Termasuk saya sudah berencana menggunakan sepeda saja, untuk mengurangi tumpukan lemak di dalam perut. Ini titik sensual TdF yang tersingkap.
Kedua, dengan TdF kemampuan kita berkomunikasi dengan tamu ‘bule’ semakin diasah. Ada tiga anak seusia SMA. Saya tidak tahu berasal dari sekolah mana. Mereka menunggu di sekitar lobi Hotel Flores Mandiri, tempat pembalap dan timnya menginap. Jika ada pembalap atau yang tipikal ‘bule’ yang lewat, tanpa malu mereka mendekat sambil menunjuk HP layar sentuh ke arah bule. Tanpa bicara. Hanya senyum malu-malu. Kadang bule menolak. Pikirnya, mau diberikan HP atau meminta nomor handphone. Ternyata ketiga ABG ini hanya mau ber-‘selfi’ ria dengan bule.
Saya tahu ketiga adik di atas bisa berbahasa Inggris. Saya salut, mereka sudah berani. Gugup dan belum terbiasa saja yang membuat kaku. Sekiranya, event TdF ini menemukan solusi jitu ‘learning by doing’ (John Dewey) dalam berbahasa asing bagi generasi Flores. Generasi Flores bisa berbahasa asing, terutama Inggris, hanya berkomunikasi secara etik perlu diasah lebih optimal. Inilah titik sensual yang tersingkap Tour de Flores 2016.
Ketiga, dengan Tour de Flores 2016 ini semakin jelas terlihat orang Flores cenderung menjadi penonton. Jujur, saya menjerit ingin berteriak sekeras suara toa, ketika restauran dan rumah makan lebih banyak ‘punya’-nya pendatang. Tempat laundry milik non-pribumi. Mau cetak spanduk, kita mesti ke orang perantau di Flores. Kita hanya punya ratusan tukang ojek yang siap mengantar, tapi sayang bule lebih senang ‘lako wa’i’ (jalan kaki). Jangan salahkan Tour de Flores. Jangan bertanya lagi, Tour de Flores untuk apa dan siapa.