Mohon tunggu...
Roman Rendusara
Roman Rendusara Mohon Tunggu... Petani - Memaknai yang Tercecer

Seorang anak kampung, lahir dan bertumbuh di Rajawawo, Ende. Pernah dididik di SMP-SMA St Yoh Berchmans, Mataloko (NTT). Belajar filsafat di Driyarkara tapi diwisuda sebagai sarjana ekonomi di Universitas Krisnadwipayana, Jakarta. Terakhir, Magister Akuntansi pada Pascasarjana Universitas Widyatama Bandung. Menulis untuk sekerdar mengumpulkan kisah yang tercecer. Blog lain: floreside.wordpress.com.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Sensualitas Apa Saja yang Ada di Tour de Flores 2016?

22 Mei 2016   11:01 Diperbarui: 22 Mei 2016   14:00 528
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: Ferdinandus Setu, Publication of Tour de Flores 2016

TOUR DE FLORES (TdF) 2016 sudah dan sedang berlangsung. Kini memasuki etape ke-4, bergaris finish di kota dingin Ruteng. Sebelumnya, kabar berhebus sangat kuat, di etape ke-3, di Kota Bajawa, para peserta hanya mampir singgah untuk penyerahan hadiah juara etape saja. Mereka tidak bisa bermalam di Kota Labu Jepang itu, beda seperti sebelumnya di Maumere dan Ende. Tetapi faktanya berbalik 180 derajat. Tidak benar. Justru Marianus Sae terlihat memimpin tarian ja’i di acara gala dinner semalam di Kota Peo/Ngadhu itu. 

Di tengah zaman dengan komunikasi yang super lancar ini, berita tersiar cepat. Saya mendengar berita di daerah Ngada pembalap tidak menginap itu justru dari teman-teman yang berada di luar Pulau Flores. Mereka lebih tahu? Jangan heran, ini era ekomunikasi, ketika jari-jari lincah menari di atas layar sentuh telepon pintar, kita tinggal menekan ‘oke/send’. Komunikasi berjalan. Tanpa harus mulut berbusa. Jarak sejauh apapun tembus. Hingga menyeberang lautan. Makanya, kadang berita kedukaan di kampung, saya justru tahu dari orang yang berada di luar pulau ini. Termasuk, soal TdF 2016 dengan segala berita positif-negatif yang menyertainya.

Sebagai sebuah event baru, TdF 2016 ini digrebek sejumlah kritik. Beberapa sangat tajam dan pedas. Ada pula memberikan komentar tidak setuju dengan sangat elegan, sambil memberikan solusi-solusi yang cerdas. Beberapa memberikan komentar tanpa disertai solusi-solusi brilian akan model pengembangan pariwisata Flores yang optimal. Tidak lupa, sebagian besar masyarakat sangat mendukung ajang balap sepeda jelajah pesona Flores ini. Pro-kontra itu kekayaan. Perbedaan itu rahmat.

Sumber gambar: Ferdinandus Setu, Publication of Tour de Flores 2016
Sumber gambar: Ferdinandus Setu, Publication of Tour de Flores 2016
Secara pribadi, saya mengapresiasi gagasan dan pelaksanaan event internasional ini. Sangat berkelas dan sukses bisa dibilang. Sisi lain, menyuguhkan hiburan gratis bagi warga Flores. Selama saya tinggal di Ende, baru pertama kali menyaksikan puluhan ribu warganya. Tumpah ruah sepanjang jalan raya Km 10 – Km 0, di Lapangan Pancasila. Saya menyaksikan 85.110 (data warga Kota Ende menurut BPS 2013) membludak di jalur utama balap sepeda. Antusiasme warga Kota Ende patut diacungi jempol, ingin melihat seperti apa yang namanya Tour de Flores itu. Meski cenderung tidak tertib, masih nekat menyeberang jalur ketika pembalap hampir lewat.

Sumber gambar: Ferdinandus Setu, Publication of Tour de Flores 2016
Sumber gambar: Ferdinandus Setu, Publication of Tour de Flores 2016
Selain apresiasi dan proficiat, ajang balap sepeda melampirkan eksplorasi pesona alam Flores ini, hemat saya bukanlah ‘tour’, dalam arti yang sebenarnya. Tour berarti a trip for pleasure (LAA Dictionary), sambil mengunjungi tempat – tempat wisata di Flores. Lebih jujur jika disebut ‘Race de Flores’. Meski saya tahu ajang ini dibagi dalam dua kelompok, race dan tour. Lebih nampak ramai dan ditunggu warga Flores itu kelompok balap sepedanya, Race de Flores (RdF). Sedangkan Tour de Flores tidak banyak diketahui. Didukung Daihatsu, kelompok Tour de Flores mengunjungi dan mengeksplorasi pesona alam di semua kabupaten. Mereka juga mengunjungi beberapa tempat wisata di Nagekeo dan Manggarai Timur.

Sumber gambar: Ferdinandus Setu, Publication of Tour de Flores 2016
Sumber gambar: Ferdinandus Setu, Publication of Tour de Flores 2016
Nah, setelah menyaksikan Tour de Flores 2016 ini, ditemukan dengan jelas dan vulgar titik-titik sensual Flores yang tersingkap.

Pertama, event yang didukung UCI (Union Cycliste Internasional) membangkitkan motivasi anak-anak kita untuk menjadi pembalap sepeda. Saya sambil senyum terkagum-kagum dengan aksi sekelompok anak seusia SD semalam. Ketika warga Kota Ende berbondong-bondong menyaksikan penampilan Nidji dan Musikimia, mereka kompak bersepeda, melewati dan menjejaki jalur utama TdF kemarin. Sontak mereka menjadi pusat perhatian. Kira–kira pembalap mini sepeda Ende ini berjumlah 20-an. Saya tidak sempat mengambil gambar. Saya pikir, ini dampak nyata TdF 2016, anak-anak sudah menyukai sepeda. Bukan tidak mungkin akan muncul pembalap nasional asli Flores pada TdF tahun–tahun mendatang. Anak–anak Flores tidak kalah jauh. Fasilitas perlu didukung. Tinggal masyarakat dan pemerintah memanfaatkan momen ini. Termasuk saya sudah berencana menggunakan sepeda saja, untuk mengurangi tumpukan lemak di dalam perut. Ini titik sensual TdF yang tersingkap.

Kedua, dengan TdF kemampuan kita berkomunikasi dengan tamu ‘bule’ semakin diasah. Ada tiga anak seusia SMA. Saya tidak tahu berasal dari sekolah mana. Mereka menunggu di sekitar lobi Hotel Flores Mandiri, tempat pembalap dan timnya menginap. Jika ada pembalap atau yang tipikal ‘bule’ yang lewat, tanpa malu mereka mendekat sambil menunjuk HP layar sentuh ke arah bule. Tanpa bicara. Hanya senyum malu-malu. Kadang bule menolak. Pikirnya, mau diberikan HP atau meminta nomor handphone. Ternyata ketiga ABG ini hanya mau ber-‘selfi’ ria dengan bule.

Sumber gambar: Ferdinandus Setu, Publication of Tour de Flores 2016
Sumber gambar: Ferdinandus Setu, Publication of Tour de Flores 2016
Jauh dari lubuk hati, saya menangis, saya kembali ke soal kemampuan berkomunikasi. Ini bukan hanya soal minta foto bersama. Ini bukan soal kemampuan Bahasa Inggris. Lebih dari itu, pendidikan Bahasa Inggris di sekolah-sekolah belum menyentuh etika berkomunikasi dengan bule. Alangkah baiknya, sebelum mengajak foto, kita berbasa-basi dulu. Misal, dimulai dengan senyum dan sapa, welcome to Ende or Flores? Ajak berkenalan dulu. Where are you from? May I introduce myself to you? How do you think about Flores wonderful land? Baru, ajak ber-selfi ria. Meski kita paham, tidak semua bule ramah. Mereka juga menolak berfoto bersama. Baiknya, kita hindari mengajak foto saat mereka capek, termasuk saat hanya memakai handuk menutup bagian bawah perut.

Saya tahu ketiga adik di atas bisa berbahasa Inggris. Saya salut, mereka sudah berani. Gugup dan belum terbiasa saja yang membuat kaku. Sekiranya, event TdF ini menemukan solusi jitu ‘learning by doing’ (John Dewey) dalam berbahasa asing bagi generasi Flores. Generasi Flores bisa berbahasa asing, terutama Inggris, hanya berkomunikasi secara etik perlu diasah lebih optimal. Inilah titik sensual yang tersingkap Tour de Flores 2016.

Ketiga, dengan Tour de Flores 2016 ini semakin jelas terlihat orang Flores cenderung menjadi penonton. Jujur, saya menjerit ingin berteriak sekeras suara toa, ketika restauran dan rumah makan lebih banyak ‘punya’-nya pendatang. Tempat laundry milik non-pribumi. Mau cetak spanduk, kita mesti ke orang perantau di Flores. Kita hanya punya ratusan tukang ojek yang siap mengantar, tapi sayang bule lebih senang ‘lako wa’i’ (jalan kaki). Jangan salahkan Tour de Flores. Jangan bertanya lagi, Tour de Flores untuk apa dan siapa.

Mari kita bertanya, masihkah saya setamat kuliah harus menunggu CPNS sambil mengojek. Tour de Flores mestinya membuat saya semakin berusaha kreatif dan inovatif. Buang rasa malu dengan tetangga hanya karena tidak PNS. Jangan malu kerja sebagai tukang cuci pakaian dan buka warung makan. Kini, tersingkaplah lebih terbuka titik sensual yang lebih berani dari Tour de Flores ini, bahwa saya yang asli Flores lebih menonton, banyak berkomentar dan kritik, tanpa berusaha yang lebih kreatif dan inovatif. Soal kerja kita masih ‘jaga waka’ (jaga gensi).

Akhirnya, sensualitas tidak terletak pada bagian tubuh yang terbuka, tetapi terletak pada bagian tubuh yang sesekali terbuka. Ketiga titik-titik sensual di atas adalah ‘bagian tubuh’ (keseharian hidup) kita. Ia lebih sensual. Sebab disingkap dan dibuka secara vulgar. Dan, yang sensual dan hal-hal termasuk di dalamnya, selalu membutuhkan sentuhan yang lebih berani dan ‘membunuh’. Tour de Flores 2016 telah lebih berani.

Sumber gambar: Ferdinandus Setu, Publication of Tour de Flores 2016

Oleh Roman Rendusara

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun