Keempat, pesta yang berkaitan dengan ekonomi. Saya mencontohkan RAT Koperasi dan UBSP (Unit Bersama Simpan Pinjam). Biasanya, setelah acara RAT, makan bersama lalu bergembira senang. Peserta berasal dari kalangan anggota sendiri dan undangan lain. Biaya ditanggung Koperasi dan UBSP tersebut. Biasanya dengan menyewa gedung bagi koperasi dan UBSP yang belum memiliki aula sendiri.
Kelima, pesta yang berhubungan dengan peringatan hari nasional kebangsaan Indonesia. Biasaya saat HUT RI setiap 17 Agustus, setelah perlombaan ada acara makan dan minum bersama. Lalu bergembira ria dengan menari tandak bersama. Pun tidak banyak biaya dikeluarkan, dana dari swadaya masyarakat atau anggaran desa. Perlu diakui, tidak semua tempat melaksanakan pesta ini.
Nah, lima jenis pesta di atas,  ada dua istilah selalu melekat di dalamnya. Ciri khas pesta di Flores adalah minum dan joget. Dua kata ini bagai sepasang suami istri. Minum merujuk pada arak - jenis minuman mengandung alkohol. Masing-masing daerah mengenal dengan istilah berbeda, saya tahu; ‘moke’ (Ende), ‘sopi’ (Manggarai) dan ‘BM-Bakar Menyala’ (Maumere). Biasanya diminum oleh kaum pria yang sudah cukup umur. Sedangkan joget – menari, melengkapi euforia kegembiraan sesuai irama musik.
Akhirnya, saya belum pernah membaca karya tulis ilmiah yang representatif atau membuat penelitian sendiri tentang dampak buruk (negatif) dari budaya pesta di Flores ini. Lebih khusus terkait berapa kerugian ekonomi, biaya di atas hanya dugaan, hasil obrolan saja, berapa generasi muda yang sudah terjerumus dalam gaya hidup instan, berfoya-foya, hedonis dan konsumtif? Saya hanya tahu, solidaritas dan kekeluargaan muncul dalam segelas arak, setarikan asap rokok dan seirama tandak. Dan, generasi muda Manggarai sukses kuliah berkat pesta sekolahnya.
Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI