[caption caption="Salah Satu Acara Pesta Sambut Baru di Flores"]Salah Satu Acara Pesta Sambut Baru di Flores (Foto:www.ranselnaraituh.blogspot.com)
BUDAYA pesta akhir-akhir ini sangat fenomenal di Flores. Dari ujung Timur hingga ujung Barat pulau nusa nipa ini tanpa terkecuali. Di kota-kota kabupaten apalagi di kampung-kampung. Umumnya, dikatakan pesta, jika merujuk pada tenda/panggung acara dengan dekorasi yang indah, susunan sound system musik dengan dentuman bass yang menggetarkan tanah, menjulang di dua sisi panggung atau tenda dan undangan yang hadir. Berapa pun jumlah tamu undangan, tergantung ketika keluarga dan para sahabat berkumpul. Perkiraan biaya setiap pesta pun beragam, berkisar 5-100 juta, tergantung jenis pesta.
Saya dapat membagi beberapa jenis pesta berdasarkan maksud upacara. Ada lima jenis pesta. Pertama, pesta yang berhubungan dengan ritual/upacara keagamaan. Kedua, pesta yang berhubungan dengan pendidikan. Ketiga, pesta yang berhubungan dengan upacara adat, syukuran panen dan pemberian makan leluhur. Keempat, pesta yang berkaitan dengan ekonomi. Kelima, pesta berkaitan dengan peringatan hari nasional kebangsaan Indonesia.
Pertama, pesta yang berhubungan dengan ritual/upacara keagamaan. Di Flores umumnya masyarakat menganut agama Katolik, meski umat beragama lain juga mulai tersebar merata di setiap wilayahnya, seperti Islam dan Kristen Protestan. Ada beberapa pesta yang berhubungan dengan ritual keagamaan Katolik, seperti;
Satu, upacara Pembaptisan/Permandian, umumnya pada upacara ini tidak ada pesta seperti yang saya maksudkan di atas. Namun sekedar makan bersama dengan keluarga besar dan tetangga. Tidak banyak biaya dikeluarkan tuan pesta dalam pesta ini.
Dua, Pesta Komuni I, di Flores lebih dikenal dengan Pesta Sambut Baru. Ini seperti pesta massal. Setiap paroki melaksanakannya setahun sekali untuk anak-anak seusia kelas 4-5 SD. Andaikan, ada lima SD di sebuah paroki dengan jumlah murid kelas 4-5 masing-masing sekitar 20 orang, maka penerima Komuni I akan menjadi 100 orang sekaligus. Kita bisa membayangkan dentuman musik bak deretan toko kaset. Semacam adu gensi, anak-anak menuntut orangtuanya harus menyelenggarakan pesta. Trennya orangtua ikut mengamini. Saya sempat bertanya soal biaya, umumnya tidak kurang dari 5-10 juta. Biaya minimal mengandaikan, tuan pesta menyediakan sendiri babi untuk dipotong.
Tiga, Pesta Pernikahan. Pesta jenis ini hampir sama dengan pesta Komuni Pertama, hanya biaya semakin lebih besar. Jumlah undangan ratusan orang. Daging yang biasa dipotong sapi dan babi. Umumnya andai di kota menyewa gedung, soundsystem, MC dan vocal group. Pesta pernikahan lebih direncanakan dengan optimal, dengan dibentuknya panitia khusus oleh pihak keluarga besar kedua mempelai.
Empat, Pesta Tabisan Imam, Perak Imamat, Emas Imamat dan Pancawindu Imamat. Pesta ini untuk mensyukuri rahmat Sakramen Imamat yang diterima oleh seorang pastor, melibatkan umat dalam jumlah besar. Lebih dari 1.000 undangan. Biaya besar. Dua hingga tiga ekor sapi dan babi dipotong. Juga dengan tenda/panggung ukuran besar. Ada soundsystem, MC dan panitia pesta. Sedangkan acara Natal, Paska dan Tahun Baru adalah pesta yang fakultatif.
Kedua, pesta yang berhubungan dengan pendidikan, mengumpulkan keluarga dan uang demi mendukung seorang anak yang akan melanjutkan pendidikan ke jenjang perguruan tinggi. Umumnya, pesta ini terdapat di daerah Manggarai. Perlahan juga bergeser ke Ngada dan Ende. Pesta ini biasa juga disebut arisan pendidikan atau pesta sekolah. Saya beberapa kali hadir dalam pesta ini, beberapa makanan dan minuman (bir) yang disediakan tuan pesta lebih mencondong pada ajang ‘lelang’. Tetap dengan soundsystem, dentuman musik yang keras, mengajak undangan berdansa ria, ja’i dan gawi setelah acara makan.
Ketiga, pesta yang berhubungan dengan ritual/upacara adat, syukur panen dan pemberian makan leluhur. Tidak semua kampung di Flores melaksanakan ritual adat. Contoh saja, di Ende terdapat upacara ‘Kero Jawa’ (syukuran panen) di Kecamatan Nangapanda dan ‘Pati Ka Du’a Bapu Ata Mata’ (pemberian makan leluhur). Upacara ‘Kero Jawa’, biaya dari swadaya, tidak ada soundsystem, hanya menari tandak (gawi:tarian Ende Lio) dari malam sampai subuh, lalu bubar. Sedangkan, upacara ‘Pati Ka Du’a Bapu Ata Mata’ diselenggarakan pemkab Ende, biaya dari pemda dan hanya ber-gawi bersama selepas memberi makan leluhur di puncak Kelimutu. Dua upcara ini setahun sekali. Di Ngada, terdapat upacara ‘reba’, berlangsung sehari atau lebih, beberapa ekor babi tumbang, ayam tak terhitung. Musik gong gendang bertalu berirama ja’i (tariah daerah Ngada).
[caption caption="Salah Satu Acara Pesta 'Reba' di Ngada"]
Keempat, pesta yang berkaitan dengan ekonomi. Saya mencontohkan RAT Koperasi dan UBSP (Unit Bersama Simpan Pinjam). Biasanya, setelah acara RAT, makan bersama lalu bergembira senang. Peserta berasal dari kalangan anggota sendiri dan undangan lain. Biaya ditanggung Koperasi dan UBSP tersebut. Biasanya dengan menyewa gedung bagi koperasi dan UBSP yang belum memiliki aula sendiri.
Kelima, pesta yang berhubungan dengan peringatan hari nasional kebangsaan Indonesia. Biasaya saat HUT RI setiap 17 Agustus, setelah perlombaan ada acara makan dan minum bersama. Lalu bergembira ria dengan menari tandak bersama. Pun tidak banyak biaya dikeluarkan, dana dari swadaya masyarakat atau anggaran desa. Perlu diakui, tidak semua tempat melaksanakan pesta ini.
Nah, lima jenis pesta di atas,  ada dua istilah selalu melekat di dalamnya. Ciri khas pesta di Flores adalah minum dan joget. Dua kata ini bagai sepasang suami istri. Minum merujuk pada arak - jenis minuman mengandung alkohol. Masing-masing daerah mengenal dengan istilah berbeda, saya tahu; ‘moke’ (Ende), ‘sopi’ (Manggarai) dan ‘BM-Bakar Menyala’ (Maumere). Biasanya diminum oleh kaum pria yang sudah cukup umur. Sedangkan joget – menari, melengkapi euforia kegembiraan sesuai irama musik.
Akhirnya, saya belum pernah membaca karya tulis ilmiah yang representatif atau membuat penelitian sendiri tentang dampak buruk (negatif) dari budaya pesta di Flores ini. Lebih khusus terkait berapa kerugian ekonomi, biaya di atas hanya dugaan, hasil obrolan saja, berapa generasi muda yang sudah terjerumus dalam gaya hidup instan, berfoya-foya, hedonis dan konsumtif? Saya hanya tahu, solidaritas dan kekeluargaan muncul dalam segelas arak, setarikan asap rokok dan seirama tandak. Dan, generasi muda Manggarai sukses kuliah berkat pesta sekolahnya.
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H