Mohon tunggu...
Roman Rendusara
Roman Rendusara Mohon Tunggu... Petani - Memaknai yang Tercecer

Roman Rendusara lahir dan tumbuh sebagai anak kampung di Rajawawo, Kec.Nangapanda, Ende-Flores, NTT. Kini, menetap di kampung sebagai seorang petani, sambil menganggit kisah-kisah yang tercecer. Kunjungi juga, floreside.wordpress.com.

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup

Uih, Gondola Dikira Gerobak Melayang

11 Januari 2016   11:11 Diperbarui: 11 Januari 2016   13:10 51
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

ADA sebuah kata seru terucap dari mulut kami orang Flores, kalau kami pertama kali berkunjung ke kota – kota besar, misalnya ke Jakarta. Entah sadar atau tidak, otomatis kata seru ini keluar: Uiiiiihhhh. Ini adalah ungkapan decak kagum. Heran terhadap sesuatu yang belum kami lihat di Flores.

Uiiiihhhh...itu apa ngero?, tanya adik kelas saya dari Ende terheran-heran, sambil bangkit berdiri dari kursi duduk di atas TranJakarta yang melaju. Saya menghardiknya segera duduk lagi. Ia menurut. Saya belum sempat berbisik menjelaskan, seperti tanpa sadar, tanyanya lagi, “Itu gerobak melayang ko?”. Matanya terus menatap benda aneh itu, yang sedang melayang-layang dan bergelantung di atas gedung bertingkat tinggi itu. Mirip gerobak, kalau kami di Flores biasa untuk mengangkut jerigen-jerigen air.

Sambil melirik kanan-kiri, biar penumpang lain tidak dengar, kata saya pelan, “Itu gondola, ngero.” Lanjut saya, “Itu dipakai pekerja untuk membersihkan kaca di gedung-gedung bertingkat tinggi. Itu digantung dengan tali namanya wire rope dan digerakkan dengan mesin”. Dalam hati, untung saya pernah kerja sebagai cleaning service. Makanya tahu lumayan banyak soal ini barang (gondola). Adik kelas saya pun mengangguk-angguk, mengerti. “Ngero saya kira gerobak melayang” katanya dengan logat Ende kental manis.

Di waktu yang lain, Elnus. Ia lulus sebuah kampus sangat terkenal hanya untuk di Flores, ke Jakarta ia menghadiri acara wisuda adik kandungnya, mewakili orang tua yang tidak bisa jalan jauh: kalau naik bis akan muntah, naik pesawat jadi pusing tak karuan, dan naik kapal laut akan jadi seperti ayam terjangkit penyakit musiman. Jadilah, mau tidak mau, Elnus nekat, meski belum pernah ke Jakarta sebelumnya.

Elnus ingin sekali ‘pesiar’ (jalan-jalan) keliling Jakarta, melihat jalan, gedung bertingkat, apartemen, taman rekreasi, mall-mall, carefour, ITC dan WTC. Dan tak ketinggalan Monumen Nasional (Monas) dan Gereja Katedral Jakarta. Sebab, bagi kami orang Flores, belum lengkap kalau belum lihat Monas dan Katedral Jakarta. Makanya, saya tidak masuk kerja, izin khusus, menjadi pemandu wisata kota untuk Elnus. Tiga hari pas kami ‘pesiar’ ke tempat – tempat itu.

“Uiihhh...kau mau ajak saya ke mana la?” kata Elnus, teman sebangku SMA, ketika kami berdua jalan-jalan ke sebuah gedung bertingkat, tempat setiap hari saya melap kaca-kacanya setelah sibuk membuat teh hangat, lalu meletakkan di atas meja kerja sekretaris direksi yang cantiknya uiiihhhh. Elnus dan saya masuk ke sebuah ruangan kecil, berbentuk kotak, hanya seukuran 1x1 meter. Lalu kotak itu bergerak naik ke lantai tiga. Elnus gemetaran. Mukanya berubah mirip bulan purnama.

Saya tersenyum kecil, sambil berbisik, “teman, ini namanya lift. Di gedung bertingkat ini, mau ke lantai lain kita mesti pakai lift. Eskalator tidak ada. Tangga juga tidak.” Ia mengangguk sambil berseloroh, “Saya kira teman ajak saya mau masuk sel la” Kami ketawa ledak, mumpung berdua saja dalam lift. Memang kami di Flores tidak ada lift. Eskalator tidak ada. Biasanya di gedung berlantai sampai tiga pun kami nekat naik pakai tangga.

“Uiiihhhh...mereka ni foya-foya sekali. Tidak kasihan dengan kita di Flores la”, kata Elnus lagi. Pasalnya, ketika di sebuah mall, meski siang bolong, lampu-lampu neon menyala terang. Banyak ‘mati punya’ (sangat) lagi. Elnus terheran-heran, melihat ratusan lampu neon itu, sebab jangankan untuk menyalakan ratusan batang neon 40 watt, listrik untuk lampu 5 watt saja dibikin meram-meram. Itu listrik kami di Flores. PLN kami seperti kunang-kunang. Selalu kedap-kedip.

Saya sedikit menjelaskan, agak diplomatis, bahwa ini bukan milik PLN. Pemilik mall-mall di sini punya pembangkit listrik sendiri, pasti punya dissel. Mirip generator besar, menyalahkannya cukup dengan menekan tombol-tombol. Bunyi mesinnya pun halus. Tidak seperti kita di Flores, menghidupkan mesin generator harus ‘setengah heng mengengkol’, suara mesin berbatuk-batuk bak motor laut, memekakkan gendang telinga.

Cerita cukup berakhir di sini, adik kelas saya orang Ende yang mengira gondola sama dengan gerobak melayang itu kini sudah menjadi IT hebat. Setamat BSI Jakarta, ia langsung direkrut BPJS Kesehatan. Teman seangkatan SMA saya, Elnus yang terkaget bukan main dengan lift dan lampu neon, kemudian betah tinggal terus di Jakarta. Ia wartawan dan jurnalis sebuah media cetak dan online. Dan saya sendiri, memilih balik ke kampung dengan cita-cita membuat gondola untuk memetik kelapa, tapi belum kunjung jadi.

=================

Catatan:

Tulisan ini berdasarkan kisah nyata. Nama disamarkan. Kata “ngero”= iya (Ende), “la” = iya (Ngada), contohnya: “Jangan begitu ya” sama dengan orang Ende biasa dengan “jangan begitu ngero”, atau “jangan begitu la” bagi orang Ngada. “Ngero” bisa menjadi sapaan kepada sesama lelaki orang Ende seusia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun