Mohon tunggu...
Yohanes Rohmadi
Yohanes Rohmadi Mohon Tunggu... Guru - Berprofesi sebagai guru di SMP Maria Mediatrix Semarang Jawa Tengah.

Yohanes Rohmadi lahir di Kabupaten Pati, Jawa Tengah. Menyelesaiaikan pendidikan akhir di Universitas Sanata Dharma Yogjakarta tahun 1992.

Selanjutnya

Tutup

Seni

Memaknai Lima Menit Biola di Kelas Matematika

9 Maret 2023   09:15 Diperbarui: 10 Maret 2023   10:33 1006
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen "Lima Menit Biola di Kelas Matematika" (LMBdKM) karya Mas Kurnia JR, Kompas Minggu 26 Februari 2023 seolah menyajikan fakta proses pembelajaran di sekolah pada era modern yang menempatkan siswa sebagai manusia yang mendapat pelayanan istimewa dari gurunya. Guru dewasa ini sebagai abdi siswa, dan sekolah pun menghamba pada siswanya. Hal tersebut berbalik dengan proses pembelajaran di era 1980. 

Belajar kala itu menempatkan  peran guru sangat sentral sehingga guru sebagai satu-satunya sumber utama belajar. Posisi siswa sebagai cantrik yang setiap saat bisa kena teguran. Bila siswa kurang beruntung, kerap kali mereka dapat teguran verbal bahkan teguran fisik. LMBdKM juga mengeksplorasi lagu anak-anak sarat etik yang jarang dijumpai dalam proses pembelajaran kontemporer. Cinta dan aktualisasi diri tak lepas diamanatkan dalam cerpen ini.

Tokoh "aku" dalam LMBdKM adalah guru muda yang luwes dan mampu mengaktualisasi diri. Ia melampaui pekerjaan utamanya sebagai guru matematika. Tokoh "aku" sebagai sosok guru modern yang mengerti kebutuhan esensial manusia. Manusia, termasuk siswanya yang membutuhkan cinta, merindukan masa-masa indah yang telah dilaluinya. Di tengah proses pembelajaran yang kaku dan kering, tokoh "aku" mampu membuka simpul-simpul kekakuan menjadi cair  dengan menggesekkan biolanya. Alunan gesekan biolanya mampu mengendurkan pikiran siswa yang tegang sebab sergapan rumus-rumus matematika.

Kadang-kadang untuk mengobati kejenuhan kelas di tengah jam pelajaran, sejenak   kukeluarkan dan kumainkan biola.

Kugesek tak lebih dari lima menit untuk para siswaku.

Ilustrasi karya: Josephine Devina Tjondronoto, Siswa kelas IX F SMP Maria Mediatrix Semarang, Juara 2 Lomba Komik Dinas Arsip dan Perputakaan Kota Semarang Tahun 2022

Realitas tersebut berbeda kontras dengan proses pembelajaran pada 4 dekade silam. Guru semasa itu seolah  jaim. Ada disparitas "bumi langit" antara guru dan siswanya. Alih-alih siswa terhibur, kala itu ketika siswa mendengar suara ketukan sepatu guru, siswa sudah terdiam. Dalam proses pembelajaran saat ini relasi antarpersonal guru dan siswa nyaris tak ada batas. Posisi guru dan siswa punya kesetaraan. Namun, tokoh "aku" sebagai guru  muda yang inspiratif  berkomitmen menjaga situasi kelas tetap hening.

 Tak lebih lima menit. Biola kusimpan kembali dan berkata. "Oke, kita lanjut belajar." Ada yang tersenyum lega, sebagian setengah                 berteriak minta satu lagi, ada yang bertepuk tangan. Setelah itu kelas hening kembali. Hanya suaraku yang terdengar atau siswa yang bertanya dan jawaban pertanyaanku.

Profil tokoh "aku" sebagai pembaru proses pembelajaran di kelas yang lentur dihadapkan dengan tokoh "kepala sekolah". Tokoh "kepala sekolah" sebagai profil produk pendidikan lama yang mengkhawatirkan kelenturan tokoh "aku" ketika mengajar. Tokoh "aku" dinilai sebagai pelanggar ketertiban kelas. Tokoh "kepala sekolah" menginginkan sosok guru di depan siswanya tanpa improvisasi sekecil pun. Aktualisasi menggesekkan biola di tengah pembelajaran matematika oleh tokoh "aku" dianggap bisa menimbulkan sebuah kegaduhan.

Pernah Kepala Sekolah memanggil aku ke ruanggannya. Ia mempersoalkan aksiku. "Saya dengar Anda memainkan biola pada jam pelajaran. Itu melanggar disiplin. Kenapa Anda lakukan itu?"

Aku tak lekas menjawab. Aku tak ingin hal ini berkepanjangan dan jadi bahasan yang tak efektif. Setelah berpikir sejenak seraya menatap jendela di sisi kanan sang kepala sekolah, kujelaskan dengan datar bahwa aku hanya ingin mengendurkan ketegangan ketika rumus-rumus  matematika mulai membuat siswa penat lalu apatis.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Seni Selengkapnya
Lihat Seni Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun