Mohon tunggu...
Roma Wijaya
Roma Wijaya Mohon Tunggu... Dosen - Dosen STAI Syubbanul Wathon Magelang dan Mahasiswa Doktor Dept. Tafsir di Ankara Üniversitesi serta Researcher dari Centre for Studies of Indonesian Students Association in Turkiye (PUSPITUR)

Roma Wijaya adalah dosen yang bekerja di Sekolah Tinggi Agama Islam Syubbanul Wathon Magelang pada program studi Al-Qur'an dan Tafsir. naum saat ini sedang menempuh pendidikan S3 di Ankara Üniversitesi jurusan Tafsir. Roma telah menulis beberapa artikel jurnal yang telah terindeks secara nasional dan tulisan di media online.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Pemikiran Tafsir 'Abdullah Saeed

22 April 2024   06:11 Diperbarui: 22 April 2024   06:27 856
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Al-Qur’an dan umat Islam adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Bagi umat Islam, ajaran etis Al-Qur’an bersifat mutlak dan dapat diaplikasikan di segala ruang dan waktu (shâlih li kull zamân wa makân). Tapi fenomena dewasa ini telah menunjukkan sebaliknya, relevansi Al-Qur’an mulai digugat dan dipertanyakan. Bahkan dalam beberapa kasus ayat al-Qu’an dijadikan sebagai justifikasi terhadap tindakan yang bersifat destruktif atau kelompok-kelompok lain. Persoalan ini menjadi perbincangan panjang di kalangan mufassir dan intelektual muslim dalam mengkaji al-Qur’an.

Menurut Fazlur Rahman, problem utama umat Islam adalah lemahnya penghayatan terhadap relevansi Al-Qur’an untuk masa sekarang. Oleh karena itu, mereka tidak dapat menyajikan Al-Qur’an yang dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan masa kini. Di lain pihak, ketika ajaran Al-Qur’an mulai direkontruksi agar relevan dengan masa sekarang, ternyata ada yang tidak memihak,karena menyalahi teori – teori klasik tradisional.

Polemik tersebut menjadi kegelisahan para mufassir, bagaimana mereka melakukan rekontruksi al-Qur’an agar relevan. Dalam hal ini, Abdullah Saeed menawarkan fresh perspective bagaimana memahami legal-etis Al-Qur’an. Gerakan proyek besar, Abdullah Saeed adalah seorang pemikir Muslim kontemporer datang memberi warna baru dalam kaitannya mengenai  bagaimana cara memahami al-Qur’an dengan memberikan perhatian yang serius terhadap konteks, terutama pada masa pewahyuan dan konteks ketika al-Qur’an ditafsirkan.

  • Kehidupan ‘Abdullah Saeed

Abdullah Saeed merupakan seorang professor Studi Arab dan Islam di Universitas Melbourne merupakan keturunan suku bangsa Arab Oman yang lahir di pulau Maldives pada tanggal 25 September 1964. Pada tahun 1977 Abdullah Saeed menuntut ilmu di Saudi Arabia, kemudian pada tahun 1987 Abdullah Saeed hijrah ke negeri kangguru yaitu Australia untuk melanjutkan belajarnya. Beliau  pernah menjabat sebagai Direktur Pusat Studi Islam Kontemporer di Universitas Mebourne (Fazlurrahman, 1996:xi).

Di Australia ‘Abdullah Saeed mendapatkan beberapa gelar akademik. Pada tahun 1993 dia diangkat sebagai asisten dosen pada jurusan bahasa-bahasa Asia dan antropologi di Universitas Melbourne. Pada tahun 1996 menjadi dosen senior pada Universitas yang sama dan menjadi anggota asosiasi profesor pada tahun 2000.

Kemudian tahun 2003 berhasil meraih gelar profesor bidang Studi Arab dan Islam. Pada tahun 2003 ‘Abdullah Saeed mendapat status Full Professor dan diangkat menjadi the Sultan of Oman Professor of Arab and Islamic Studies. Meskipun sudah diangkat menjadi Professor di the Sultan Oman, dia tetap menjalankan aktifitasnya sebagai Director of the Center for the Study of Contemporary Islam pada Universitas Melbourne.

Teori kontekstual ‘Abdullah Saeed berangkat dari sebuah pertanyaan sederhana , “bagaimana memahamai Al-Qur’an agar daat memenuhi kehidupan masyarakat modern-kontemporer saat ini?”. Dari hal ini lah beliau mengatakan bahwa penafsiran seblumnya hanya beorientasai pada legal linguis. Persoalan tersebut menafikan aspek konteks yang menjadi tolak ukur memenuhi kebutuhan masyarakat saat ini (Saeed, 2006).

Berikut di antara karya-karya Saeed: “Qur’an: Tradition of Scholarship and Interpretation”, Interpreting the Qur'an: towards a contemporary approach, Islamic Thought an Introduction, Approaches to the Qur’an in Contemporary Indonesia, dan lainnya (Zaini, 2011).

  • Abdullah Saeed dipengaruhi Oleh Pemikiran Fazlurrahman

Metode penafsiran al-Qur’an Fazlur Rahman adalah proses penafsiran al-Qur’an yang bermuara pada suatu gerakan ganda (double movement); dari situasi kontemporer menuju era al-Qur’an diturunkan, lalu kembali lagi ke masa sekarang dan metode penafsiran al-Qur’an Abdullah Saeed adalah proses penafsiran al-Qur’an yang bermuara pada metode kontekstual, yang cara kerjanya sama dengan metode double movement-nya Fazlur Rahman

Ada beberapa indikasi dan bentuk keterpengaruhan ‘Abdullah Saeed atas ide-ide Rahman: ‘Abdullah Saeed pernah menulis sebuah artikel yang membahas tentang kerangka penafsiran al-Qur’an yang ditawarkan oleh Rahman; Adanya kemiripan pandangan tentang dunia al-Qur’an: Adanya kemiripan dalam model interpretasi al-Qur’an, yakni teori gerakan ganda (double movement)-nya Rahman dengan kontekstual (contextual)-nya Saeed.

  • Makna Teks al-Qur’an Menurut Abdullah Saeed 
  • Dari beberapa pendekatan pemahaman yang diberikan oleh Abdullah Saeed, antara satu pemahaman dengan pemahaman yang lainnya memiliki diferensiasi yang tidak mempertemukan masing-masing pemikiran ini. ‘Abdullah Saeed mengelompokkan penafsiran kedalam tiga kelompok, yaitu: Tektualis: kelomok ini meyakini bahwa makna al Qur’an itu sudah fixed dan harus diaplikasikan secara universal. Contohnya,  Kaum Salafi, Madzhab Dzhohiriyyah.
  • Semi tektualis: kelompok ini berusaha membela makna literal al - Qur’an dengan cara menggunakan idiom-idiom modern serta memakai argumentasi yang rasional. Contohnya, al-Ikhwan al-Muslimin di Negara Mesir dan juga Jama’at Islami di Negara India. Kontektualis: Kelompok ini memposisikan diri berada dalam golongan yang mendorong pada pemahaman al-Qur’an dengan tidak mengesampingkan konteks politik, sosial, kesejarahan, budaya serta termasuk di dalamnya adalah ekonomi, di mana al Qur’an diturunkan, dipahami serta sesudahnya diaplikasikan. Tipologi seperti ini merupakan tipologi yang juga diikuti oleh Fazlurrahman, Nasr Hamid Abu Zayd dan tentunya oleh Abdullah Saeed sendiri (Saeed, 2016: 177).

Model Penafsiran ‘Abdullah Saeed

  • ‘Abdullah Saeed melakukan beberapa tahapan dalam proses penafsiran, yaitu (Saeed, 2016: 296): Encounter with the World of the text (perjumpaan dengan dunia teks). Critical Analysis: Linguistic, literary context, parallel texts, and precedents (Analisis Kritis: linguistik, konteks literer, bentuk literer, teks yang berkaitan, dan preseden).
  • Meaning For the first recipients, Socio-historical context, worldview, Nature of the message: legal, theological, ethical, message: contextual versus universal relationship of the message to the overall message of the Qur'an (makna bagi penerima pertama: konteks sosio-histori, pandangan dunia, hakikat pesan: hukum, teologis, etis. Pesan : kontekstual versus universal, dan hubungan pesan dengan keseluruhan pesan al-Qur’an).
  • Meaning for present, Analysis of present context, present context versus socio-historical context, meaning from first recipient to the present, message: Contextual versus universal application today (makna untuk saat ini, analisis konteks saat ini, konteks saat ini versus konteks sosio-historis, makna dari penerima pertama saat ini, pesan: kontekstual versus universal, dan penerapan untuk saat ini).

Kerangka Pemikiran Tafsir Abdullah Saeed

Dirinya menjadikan fenomena cara membaca Al-Qur’an yang fleksibel (seven ahruf) dan proses naskh sebagai sign bahwa Al-Qur’an mengandung flesksibilitas yang tinggi dalam menghadapi kebutuhan masyarakat yang situasional (Saeed, 2006: 150-152). Fleksibilitas ini juga seharusnya berlaku dalam proses interpretasi Al-Qur’an. Lalu melegitimasi kompleksitas makna. Abdullah Saeed mengidentifikasi adanya keragaman bentuk kata dalam bahasa Arab yang tidak bisa diperlakukan secara sama dalam mengggali maknanya (Rahman, 1982: 2-3).

Memahami konteks sosio-historis penafsiran. Al-Qur’an sangat fundamental dalam penafsiran guna menguak makna legal-etis teks dan menentukan relevansinya terhadap kehidupan kontemporer (Saeed, 2016: 231-233).

Kemudian teori yang berbeda adalah merumuskan hirarki nilai ethico-legal teks. Abdullah Saeed mengembangkan konsep hirarki nilai-nilai teks, dengan memfokuskan pada nilai legal-etisnya. Hirarki nilai ini diharapkan dapat mempermudah para penafsir kontekstualis dalam menafsirkan ethico-legal texts. Dalam menentukan hirarki nilai, Abdullah Saeed mendasarkan pada nilai etis "right action" yang merupakan dasar agama sebagaimana yang telah ditekankan Al-Qur’an. Abdullah Saeed mengelompokkan hirarki nilai Al - Qur’an sebagai berikut (Saeed, 2016: 262-275):

Pertama, Obligatory Values Ialah nilai keagamaan yang tidak terikat pada waktu tertentu. Semua Umat Islam menganggapnya sebagai bagian esensial dari Islam. nilai ini dikelompokkan dalam tiga sub kategori, yaitu: (1) nilai-nilai yang berhubungan dengan sistem kepercayaan (belief); (2) nilai-nilai yang berhubungan dengan praktik religius, salat misalnya; (3) nilai-nilai yang berkaitan dengan status halal-haram, yang dinyatakan secara spesifik dalam Al-Qur’an.

Kedua, Fundamental Values merupakan nilai-nilai tertentu yang berhubungan dengan hak asasi manusia. Misalnya, hak untuk perlindungan hidup dan properti. Nilai etis yang berada dalam level ini bersifat dinamis, sesuai dengan kebutuhan masyarakat.

Ketiga, Protectional values adalah nilai-nilai etis yang mendukung tercapainya fundamental values. misalnya larangan mencuri adalah bentuk proteksi terhadap properti individu yang merupakan bagian dari fundamental values.

Keempat, Implementational values adalah aturan spesifik yang digunakan dalam implementasi Protectional values. Larangan mencuri dalam implementasinya berbentuk potong tangan misalnya. Nilai dalam level ini berdasarkan konteks kultural dan bisa berubah. Menurut Abdullah Saeed, aturan tersebut bukanlah objek fundamental Al-Qur’an, melainkan pada tujuannya sebagai pencegahan terhadap perilaku yang tidak diharapkan.

Kelima, Instructional values ialah nilai-nilai etis yang terdapat dalam Al-Qur’an yang dihubungkan dengan problem tertentu pada masa pewahyuan. Ayat Al-Qur’an yang berada dalam level ini sangat banyak dan variatif. Misalnya, instruksi poligami, instruksi menjadikan pria sebagai penjaga perempuan, instruksi untuk tidak menjadikan non muslim sebagai teman

Contoh Penafsiran

  •       Kasus perzinaan, al – Qur’an menyebutkan :
  • وَاللَّذَانِ يَأْتِيَانِهَا مِنْكُمْ فَآذُوهُمَا فَإِنْ تَابَا وَأَصْلَحَا فَأَعْرِضُوا عَنْهُمَا إِنَّ اللَّهَ كَانَ تَوَّابًا رَحِيمًا

            “Dan terhadap dua orang yang melakukan perbuatan keji di antara kamu, maka berilah hukuman kepada keduanya, kemudian jika keduanya bertobat dan memperbaiki diri, maka biarkanlah mereka. Sesungguhnya Allah Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang”. (Q.S. an-Nisa’ 4: 16)

        Allah memerintahkan kepada kita jika keduanya bertaubat dan memperbaiki diri, mereka harus dibiarkan (tidak dituntut) serta tidak diberikan hukuman. Kondisi obyektif tersebut menunjukkan bahwa bentuk hukuman yang ditetapkan al – Qur’an, apakah potong tangan, cambuk atau hukumnan mati pada dasarnya bukan merupakan tujuan utama al – Qur’an. Dari sudut pandang ini, yang terpenting atau yang menjadi misi utama al – Qur’an adalah mencegah terjadinya tindakan yang terlarang pertamanya, apabila memang tindakan terlarang dilakukan, maka al – Qur’an masih memberikan kesempatan untuk bertobat. Namun demikian, hukuman tetap harus berjalan dengan syarat pelaku berjanji tidak melakukannya lagi (Saeed, 2016: 268-269).

  • Kesimpulan 

Keberlangsungan hukum Islam dalam lintasan sejarah guna mempertahankan eksistensinya sangat ditentukan oleh generasi intelektual. Bagaimana tidak, sumber utama dalam mengkaji hukum Islam adalah Al-Qur’an yang lahir 1433 tahun yang lalu. Reinterpretasi yang dapat menyegarkan kembali dogma-dogma di dalamnya merupakan sebuah keharusan. Abdullah Saeed menawarkan bagaimana memahami Al-Quran yang di tuangnya dalam beberapa karyanya antara lain lnterpreting the Qur'an: Towards a Contemporary.

Abdullah Saeed adalah salah satu pioner yang ingin menjadikan Al-Quran sebagai kitab suci yang selalu dapat digunakan seiring berputar nya waktu. Walaupun metode metode yang beliau berikan tidak terlepas dari Fazlur Rahman . Budaya berpikir seperti ini hendaknya menjamur agar menjadikan al-Qur’an sebagai kitab yang selalu dikaji bukan hanya untuk mengungkap berbagai kandungan universal yang termaktub didalamnya. Namun nilai moral yang terkandung di dalamnya harus terealitaskan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun