[BERAWAL DARI “TANGAN DINGIN” PRABOWO DALAM PILKADA DKI 2012]
Gonjang ganjing warga DKI jelang PILKADA 2017, kembali mengingatkan kita proses pelaksanaan PILKADA DKI 2012, saat mana Presiden RI Joko Widodo yang pada saat itu masih menjabat Wali Kota Solo, berhasil diyakinkan oleh Ketua Umum PARTAI GERINDRA, untuk menjadi Calon Gubernur DKI berpasangan dengan Basuki Tjahya Purnama. Alhasil, tidak diduga, PEMILUKADA berlangsung ketat melawan patahana Fauzi Bowo, sehingga pasangan Jokowi – Ahok sukses menempati dan memegang kendali Pemerintahan di Balai Kota, memimpin Ibu Kota Negara, DKI Jakarta. Luar biasa lagi, Jokowi berhasil bertarung bahkan menang dalam PILPRES 2014, dengan sang “arsitek si tangan dingin” Prabowo, dan mengharuskan Ahok menjadi Gubernur DKI Jakarta, karena melanjutkan sisa masa jabatan pasangannya yang terpilih sebagai Presiden RI.
Kini, jelang PILKADA 2017 suasana dan konstalasi politik di Ibu Kota menjadi ramai cenderung memanas karena terobosan langkah politik Gubernur Ahok yang telah deklarasi untuk maju bertarung melalui “jalur maut” independen. Menjadi menarik untuk disimak, karena beberapa hal dan terutama bahwa sebagai Ibu Kota Negara, Jakarta merupakan baromoter kehidupan berbangsa dan bernegara, miniatur Indonesia yang terdiri dari semua Suku, Agama, Raas dan Golongan yang ada di NKRI. Gubernur Ahok, memiliki peluang yang sangat besar seiring dengan prestasi dan rekam jejak yang luar biasa, hampir tidak ada kekurangan sedikitpun khususnya dalam dedikasinya untuk pemerintahan yang bersih, melawan korupsi, mengelola tata pemerintahan (birokrasi) yang bersih. Kecuali itu, kesantunan Ahok dalam tutur kata, dan sedikit catatan atas proses hukum transaksi lahan RS Sumber Waras, Jakarta, yang masih dalam penanganan KPK atas hasil temuan BPK.
Jalur independen memang tidak menyalahi aturan karena merupakan hak sipil setiap warga negara dalam demokrasi dan menjadi langkah alternatif untuk membuka peluang kader-kader partai politik yang berpotensi tetapi tidak tersalurkan oleh partai, dan atau siapa saja warga masyarakat yang ingin maju dalam pesta demokrasi. Siapapun yang akan maju bertarung tentunya harus membangun komunikasi politik dengan dan antar partai dalam mekanisme penjaringan calon, sebaliknya stigma negatif partai politik yang selama ini menjaadi halangan dan sumbatan misalnya soal “uang mahar” tentunya akan terkoreksi dengan adanya jalur independen. Setidaknya dengan adanya jalur independen harus menjadi dorongan setiap partai politik untuk melakukan pembenahan bahkan revolusi mental untuk pendidikan demokrasi yang bermartabat dalam melahirkan pemimpin dan negarawan sejati bersih, jujur, merakyat, dst.
“Jalur Maut” Independen AHOK
Tanpa mengurangi rasa hormat, dan selain kesantunan dalam tutur kata seorang AHOK yang perlu dikoreksi, maka prestasi, ketegasan, dedikasi, loyalitas dan yang paling utama komitmen AHOK untuk mengatakan TIDAK terhadap korupsi, merupakan modal utama dalam memasuki pertarungan DKI-1. Komunikasi AHOK dengan petinggi PDI Perjuangan ditambah dengan dukungan Partai NASDEM, peluang Ahok untuk merebut DKI-1 semakin terbuka dan pasti. Tidak disangka, AHOK lebih memilih halur independen dengan alasan menghormati karya dan kinerja “Teman AHOK” yang sudah bekerja lebih awal mengumpulkan KTP untuk dukungan, yang pada akhirnya harus diulang dari awal karena belum sesuai aturan, tercantum nama pasangan DKI-2 (Cawagub). Hal ini tentunya mengejutkan banyak pihak, terutama semua elit partai politik, bahkan menjadi kajian mendalam apa sesungguhnya sebab akibat kehadiran jalur independen yang sebenarnya merupakan cara “alternatif” dan bukan yang utama dalam mekanisme PILKADA bahkan menjadi ancaman pembangunan demokrasi yang berlandaskan trias politika, pemisahan kekuasaan dibidang: Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif. Memang, jalan masih panjang dan kemungkinan terjadi perubahan sikap Ahok masih terbuka lebar, karena sesungguhnya politik itu dinamis dan dari waktu ke waktu segala sesuatu bisa terjadi. Kalau alasan bahwa partai politik sekarang ini banyak yang tidak becus, maka kesempatan bagi AHOK untuk menunjukkan sikap “kenegarawan” bagaimana “membenahi” parpol dan bukan meninggalkan. Sebab tidak terlaku heran kalau pada akhirnya AHOK akan menjadi musuh bersama semua partai politik, sehingga awal dari kekalahan yang pada akhirnya warga Jakarta ikut menjadi rugi manakala Gubernur impiannya tidak berhasil memenangkan pertarungan. Tidak ada kata terlambat, semoga...!!!
Independen VS Partai Politik
Tidak dapat dipungkiri, jalur maut yang dipilih (sementara) Ahok mengundang aneka reaksi terutama dorongan partai politik untuk menjaring dan mebidik calon yang dainggap mampu, minimal punya indikator sama dengan calon patahana. Sekurangnya sampai sekarang ini, sudah ada 3 mantan Menteri ikut meramaikan PILKADA DKI, Yusril Ihza Mahendra, Adhiyaksa Dault dan Roy Suryo. Selain itu, dari berbagai kalangan antara lain Achmad Dhani dan Sandiaga Uno masuk dalam bursa. Yang menarik, nama yang disebutkan terakhir adalah merupakan “bidikan” sang arsitek tangan dingin Prabowo, untuk diusung Partai GERINDRA. Saatnya untuk menyimak kecerdasan sang arsitek tangan dingin ini dalam membidik jagoannya. Semakin hiruk pikuk, karena patahana Gubernur Ahok seolah menjadi musuh bersama semua partai politik. Apakah Independen mampu mengalajkan Partai Politk? Waktu berjalan yang akan menjawab sesuai dengan dinamika politik yang berkembang sampai pada penetapan Calon Gubernur/Wakil Gubernur yang definitif, apakah melalui jalur maut Independen atau Partai Politik?
Sistim Pemerintahan
Melengkapi fenomena PILKADA DKI 2017, rasanya kurang lengkap kalau tidak melihat sistim pemerintahan dan sistim kepartaian yang berlaku. Kita mengenal Trias politika, yaitu sistim pemerintahan yang memisahkan fungsi dan kewenangan antara Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif. Simak apa kata Presiden Pertama Soekarno, berikut ini:
“Negara Indonesia Bukan Satu Negara Untuk Satu Orang, Bukan Satu Negara Untuk Satu Golongan Walaupun Golongan Karya, Tetapi Kita Mendirikan Negara Semua Untuk Semua, Satu Untuk Semua, Semua Untuk Satu” – Soekarno dalam Buku Negara Paripurna karangan Yudi Latif.
Soekarno mengisyaratkan bahwa Negara Indonesia ini merdeka salah satunya untuk kemakmuran rakyat dan merupakan Negara Kesatuan, dimana kekuasaan terletak pada pemerintah pusat dan tidak pada pemerintah daerah. Namun pemerintah pusat mempunyai wewenang untuk menyerahkan sebagian kekuasaannya kepada daerah berdasarkan hak otonomi (negara kesatuan dengan sistem desentralisasi), tetapi pada tahap terakhir kekuasaan tertinggi ada pada pemerintah pusat.
Dengan demikian, kehadiran dan fungsi legislatif merupakan hal yang utama dalam tata keloloa pemerintahan. Legaislatif terbentuk karena adanya partai politik, sehingga suatu pemerintahan (Eksekutif), tidak akan mungkin berjalan tanpa fungsi legislasi dari parlemen (MPR/DPD/DPR/DPRD). Bagaimana dengan independen? Tentunya menjadi titik lemah saat menjalankan tata kelola pemerintahan tanpa kehadiran legislatif terutama dalam fungsi pengawasan dan anggaran.
Sebelum Amandemen UUD 1945
Pokok-pokok sistem pemerintahan Indonesia berdasarkan UUD 1945 sebelum diamandemen tertuang dalam Penjelasan UUD 1945 tentang tujuh kunci pokok sistem pemerintahan negara tersebut sebagai berikut.
1. Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum (rechtsstaat).
2. Sistem Konstitusional.
3. Kekuasaan negara yang tertinggi di tangan Majelis Permusyawaratan Rakyat.
4. Presiden adalah penyelenggara pemerintah negara yang tertinggi dibawah Majelis Permusyawaratan Rakyat.
5. Presiden tidak bertanggung jawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat.
6. Menteri negara ialah pembantu presiden, menteri negara tidak bertanggungjawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat.
7. Kekuasaan kepala negara tidak tak terbatas
Pemerintahan orde baru dengan tujuh kunci pokok diatas berjalan sangat stabil dan kuat. Pemerintah memiliki kekuasaan besar, sistem Presidensial yang dijalankan pada era ini memiliki kelemahan pengawasan dari DPR tapi memiliki kelebihan kondisi pemerintahan lebih stabil.
Di akhir era orde baru muncul pergerakan untuk mereformasi sistem yang ada menuju pemerintahan yang lebih demokratis. Untuk mewujudkan hal itu dibutuhkan sebuah pemerintahan yang konstitusional yang didalamnya terdapat pembatasan kekusaaan dan jaminan hak asasi. Kemudian dilakukanlah amandemen Undang-undang Dasar 1945 sebanyak 4 kali, tahun: 1999, 2000, 2001, 2002. Berdasarkan Konstitusi yang telah diamandemen ini diharapkan sebuah sistem pemerintahan yang lebih demokratis akan terwujud oleh rakyat dalam satu paket.
Kabinet atau menteri diangkat oleh presiden dan bertanggung jawab kepada presiden.
1. Parlemen terdiri atas dua bagian (bikameral), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Para anggota dewan merupakan anggota MPR. DPR memiliki kekuasaan legislatif dan kekuasaan mengawasi jalannya pemerintahan.
2. Kekuasaan yudikatif dijalankan oleh Makamah Agung dan badan peradilan dibawahnya.
3. Sistem pemerintahan ini juga mengambil unsur-unsur dari sistem pemerintahan parlementer dan melakukan pembaharuan untuk menghilangkan kelemahan-kelemahan yang ada dalam sistem presidensial. Beberapa variasi dari sistem pemerintahan presidensial di Indonesia adalah sebagai berikut;
4. Presiden sewaktu-waktu dapat diberhentikan oleh MPR atas usul dari DPR. Jadi, DPR tetap memiliki kekuasaan mengawasi presiden meskipun secara tidak langsung.
5. Presiden dalam mengangkat penjabat negara perlu pertimbangan atau persetujuan dari DPR.
6. Presiden dalam mengeluarkan kebijakan tertentu perlu pertimbangan atau persetujuan dari DPR.
7. Parlemen diberi kekuasaan yang lebih besar dalam hal membentuk undang-undang dan hak budget (anggaran)
Ada perubahan-perubahan baru dalam sistem pemerintahan dan diperuntukan dalam memperbaiki sistem presidensial. Perubahan baru tersebut, antara lain adanya pemilihan secara langsung, sistem bikameral, mekanisme cheks and balance, dan pemberian kekuasaan yang lebih besar kepada parlemen untuk melakukan pengawasan dan fungsi anggaran.
Pokok-pokok Sistem Pemerintahan Setelah Amandemen UUD-45
1. Bentuk negara kesatuan dengan prinsip otonomi daerah yang luas. Wilayah negara terbagi dalam beberapa provinsi.
2. Bentuk pemerintahan adalah republik konstitusional, sedangkan sistem pemerintahan presidensial.
3. Presiden adalah kepala negara dan sekaligus kepala pemerintahan. Presiden dan wakil presiden dipilih secara langsung
Sistem Kepartaian Di Indonesia
Partai politik lahir di Eropa Barat, dengan meluasnya gagasan bahwa rakyat merupakan faktor yang perlu diperhitungkan serta diikutsertakan dalam proses politik, maka lahirnya partai politik adalah sebagai penghubung antara rakyat dan pemerintah. Di negara yang menganut paham demokratis, rakyat berhak berpartisipasi untuk menentukan siapa saja yang layak menjadi wakil rakyat dan menjadi pemimpin mereka yang nantinya akan menentukan kebijakan umum. Berdasarkan UU No 2 Tahun 2008; Partai Politik adalah organisasi yang bersifat nasional dan dibentuk oleh sekelompok warga negara Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan dan membela kepentingan politik anggota, masyarakat, bangsa dan negara, serta memelihara keutuhan NKRI berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
Tujuan partai politik adalah untuk meraih dan mempertahankan tahta kekuasaan untuk mewujudkan rencana program yang telah disusun oleh mereka sesuai ideologi yang dianut, dengan menjalankan fungsi: 1) Mobilisasi dan Integrasi; 2) Alat pembentukan pengaruh terhadap perilaku memilih; 3) Alat elaborasi pilihan-pilihan kebijakan; dan 4) Alat perekrutan pemilih;
Beberapa pemahaman:
1. Pola perilaku dan interaksi diantara partai politik dalam suatu sistem politik.
2. Pemahaman terhadap karakteristik umum konflik partai dalam lingkungan dimana mereka berkiprah yang dapat digolongkan menurut beberapa kriteria.
3. Pola interaksi partai politik dalam satu sistem politik yang menentukan format dan mekanisme kerja satu sistem pemerintahan.
4. Merupakan interaksi antara partai politik yang perolehan suaranya signifikan.
Sistem Kepartaian Indonesia menganut sistem multi partai. Aturan ini tersirat dalam pasal 6A(2) UUD 1945 yang menyebutkan bahwa presiden dan wakil presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik. Frasa gabungan partai politik mengisyaratkan paling tidak ada dua partai atatu lebih yang bergabung untuk mengusung seorang calon pasangan presiden dan wakil presiden dan bersaing dengan calon lain yang diusulkan partai-partai lain. Ini artinya sistem kepartaian di Indonesia harus diikuti oleh minimal 3 partai politik atau lebih.
Sejak era kemerdekaan, sebetulnya Indonesia telah memenuhi amanat pasal tersebut. Melalui Keputusan Wakil Presiden No X/1949, pemilihan umum pertama tahun 1955 diikuti oleh 29 partai politik dan juga peserta independen. Namun pada masa pemerintahan orde baru, Soeharto memandang terlalu banyaknya partai politik menyebabkan stabilitas poltik terganggu, maka waktu dipandang perlu untuk menyederhanakan jumlah partai politik peserta pemilu. Pemilu tahun 1971 diikuti oleh 10 partai politik dan pada tahun 1974 peserta pemilu tinggal tiga partai politik saja. Soeharto merestrukturisasi partai politik menjadi tiga partai(Golkar, PPP, PDI) yang merupakan hasil penggabungan beberapa partai. Walaupun jika dilihat secara jumlah, Indonesia masih menganut sistem multi partai, namun banyak ahli politik menyatakan pendapat sistem kepartaian saat itu merupakan sistem kepartaian tunggal. Ini dikarenakan meskipun jumlah partai politik masa orde baru memenuhi syarat sistem kepartaian multi partai namun dari segi kemampuan kompetisi ketiga partai tersebet tidak seimbang.
Reformasi 1998, terjadilah liberasasi di segala aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Politik Indonesia merasakan dampak serupa dengan diberikannya ruang bagi masyarakat untuk merepresentasikan politik mereka dengan memiliki hak mendirikan partai politik. Banyak sekali parpol yang berdiri di awal reformasi. Pemilu 1999 partai politik yang lolos verifikasi dan berhak mengikuti pemilu ada 48 partai, sangat jauh berbeda dengan era orba.
Tahun 2004 peserta pemilu berkurang dari 48 menjadi 24 parpol saja. Ini disebabkan telah diberlakukannya ambang batas(Electroral Threshold) sesuai UU no 3/1999 tentang PEMILU yang mengatur bahwa partai politik yang berhak mengikuti pemilu selanjtnya adalah parpol yang meraih sekurang-kurangnya 2% dari jumlah kursi DPR. Partai politikyang tidak mencapai ambang batas boleh mengikuti pemilu selanjutnya dengan cara bergabung dengan partai lainnya dan mendirikan parpol baru. Persentase threshold dapat dinaikkan jika dirasa perlu seperti persentasi Electroral Threshold 2009 menjadi 3% setelah sebelumnya pemilu 2004 hanya 2%. Begitu juga selanjutnya pemilu 2019 ambang batas juga dinaikan lagi atau diturunkan.
Dengan uraian diatas, semoga ada pencerahan dan pemahaman secara mendalam bagaimana menyikapi PILKADA DKI 2017 yang sangat penting karena menjadi barometer untuk PILKADA seluruh daerah lainnya di Indonesia, dan lebih utama lagi bagaimana mewujudkan demokrasi yang bermartabat dan pendidikan politik kepada masyarakat Indonesia seutuhnya, dan akhir kata jangan lupakan sejarah, sekedar mengingat TANGAN DINGIN SANG ARSITEK, yang dalam PILKADA DKI 2017 ini juga sudah menampakkan perannya dengan mengusung sang idolanya. SELAMAT BERTARUNG INDEPENDEN VS PARTAI POLITIK untuk Jakarta Baru.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H