“Walian, kejadian subuh tadi, aku dan Teterusan melakukan percakapan tentang sesuatu hal yang penting di wilayah ini. Tidak ada permufakatan lain.”
Jawaban Tonaas menggeleng kepala Walian, tandanya tidak beres, tidak cuma benar.
“Tonaas, jika pertemuan dengan Teterusan hanya berupa percakapan penting, mengapa Teterusan menyuruh prajuritnya menyeret dengan tingkah sadis anak Dayat Wanto harus disepah, ditinju, diarak seperti binatang? Apa maksudnya?” Balas Walian.
Tonaas dan Teterusan gugup. Sehingga sama-sama menjawab,
“..Ka – re – na ........”
“Ayo jawab yang tegas. Mumpung kalian dipilih sebagai Kepala Wilayah dan Pasukan, di depan bala rakyat pantaskah jawaban yang kalian beri sepotong-sepotong?”
Tonaas dan Teterusan diam. Kikuk.
Walian menuju Dayat Wanto mencari jawaban alternatif.
“anak Dayat, apakah kau tahu apa penyebab prajurit Waraney menyeret kamu kesini?” tanya lembut Walian.
“ya. Penyebabnya karena.....” kini Dayat berdiri berhadapan rakyat. “Karena aku yang MEMBUNUH SELINGKUHAN TONAAS. Yang tidak lain tanteku sendiri, pembantu Tonaas.” Jawabnya lantang mengakibatkan riuh gemuruh kicau penduduk tak henti melampiaskan amarah.
“Tonaas keji. Tonaas pengkhianat hukum adat. Tonaas pantas dihukum mati. Tonaas tukang selingkuh. Tonaas-Teterusan Pembohong. GANTI TONAAS. GANTI TONAAS. BAKAR TONAAS. BUANG TONAAS beserta Teterusan KRONINYA.” Teriak penduduk sore itu.