Upacara pengadilan adat sudah dimulai. Tonaas dan Walian duduk di kursi khusus. Dan anak kecil di bawa Waraney menghadap Walian.
“siapa namamu?” tanya Walian.
Bibir anak kecil lantas kerut mengkerut, menyusut sama-sama kedua kening. Tak membalas tanya.
“sekali lagi, siapa nama anda?”
Si kecil tidak juga membalasnya. Walian kehilangan kontrol, konyol, mulai tak sabar.
“anak kecil, SIAPA NAMA KAMU?”
Bentak keras Walian dengan volume suara kuat membahana semua telinga. Situasi tegang berubah kasak-kusuk. Seketika kabut menutup mengundang rintik hujan datang. Rambut mereka basah semua.
“anak kecil, kami tak bisa tunggu lama jawabanmu. Kau lihat petir lalu lalang, dan sebentar lagi hujan bertambah deras? Buka sekarang mulutmu, jawab pertanyaanku. Sekali lagi SIAPA NAMA KAMU?”
Sesudah itu Walian menutup sesi bertanya. Ia menuju brankas amunisi perang. Ia mengambil pedang seperti samurai, disekanya berulang-ulang dengan kain merah yang berisi jimat, dan mendekat kepada anak kecil.
“ini kesempatan terakhir. Jawab sekarang. Siapa nama kamu?” Tanya terakhir sang Walian.
“namaku Dayat Wanto.” Jawab kencang si anak kecil berulang sebanyak tiga kali, nanti berhenti karena Waraney menyekap mulut Dayat.