1. Masyarakat Nusa Tenggara Timur dan Realitas Pelaksanaan Acara Mewah
Masyarakat di Nusa Tenggara Timur (NTT) kerap dilabeli sebagai masyarakat yang begitu sangat royal. Ini bisa terlihat melalui beragam acara yang penuh dengan nuansa kemewahan.Â
Gaya ini seperti menjadi bumerang oleh karena menurut survei Badan Pusat Statistik, NTT menempati urutan ketiga secara nasional sebagai provinsi termiskin.Â
Mungkin ada yang bertanya, mengapa sampai masyarakat yang dikategorikan sebagai masyarakat miskin itu bisa melakukan acara mentereng nan mahal?Â
Menjawab hal ini, ada dua hal yang perlu disorot. Ada hal positif dan negatif. Hal positif itu yakni adanya kumpul keluarga yang diadakan oleh kerabat atau saudara terdekat untuk membantu keluarga yang akan mengadakan acara secara sukarela.Â
Hal negatifnya yakni adanya kemungkinan bagi keluarga membebani diri dengan hutang yang cukup besar, baik di bank maupun di lembaga-lembaga simpanan lain, misalnya koperasi.Â
Sebagai contoh kasus, pelaksanaan acara pernikahan kerap didahului dengan pemenuhan tuntutan belis atau mahar oleh keluarga keluarga laki-laki. Mau tidak-mau, harus ada cara memenuhi tuntutan itu.Â
Di samping acara pernikahan yang memakan anggaran besar, ada juga acara-acara dengan label rohani, seperti syukur atas keberhasilan, dan sejenisnya juga memakan biaya yang cukup besarÂ
Potensi adanya utang seringkali dipandang sebagai cara untuk memenuhi kebutuhan agar acara terselenggara dengan baik.Â
Bisa jadi faktor ini sebagai upaya memperlihatkan keluarga pamor di tengah-tengah masyarakat.Â
Hanya saja, dalam tulisan ini penulis tidak akan menaruh perhatian pada faktor negatif melainkan pada sumbangan positif yakni adanya topangan keluarga untuk membantu keluarga yang lain yang akan melaksanakan acara.Â
2. Kumpul Keluarga sebagai Budaya Positif
Kumpul keluarga bisa dilihat sebagai bagian dari menaruh empati terhadap sesama yang membutuhkan topangan. Kumpul keluarga juga bisa dipahami sebagai salah satu persyaratan balas jasa untuk hari depan.Â
Bagaimana caranya? Lihat saja pada acara kumpul keluarga untuk penyelenggaraan acara pernikahan.Â
Keluarga lain yang datang memberi dukungan melalui dana dengan nominal tertentu maka itu akan menjadi tolok ukur untuk nanti keluarga yang saat ini dibantu harus juga bisa membantu dengan nominal yang setara ketika nanti keluarga lain yang membantu itu melaksanakan acara yang sama.Â
Jangan lihat ini sebagai beban melainkan sebagai bagian dari meringankan beban tanggungan yang sesama rasakan. Cara ini yang terus dipelihara dan ini juga menjadi salah satu penyokong dana demi jalannya acara.Â
3. Catatan terhadap Budaya Kumpul Keluarga
Meski kumpul keluarga itu ada sisi baiknya, tetapi izinkan penulis memberi beberapa catatan sebagai upaya memantapkan budaya positif kumpul keluarga di kalangan masyarakat NTT.Â
Pertama, andai saja kumpul keluarga itu tidak terfokus pada  acara pernikahan, melainkan juga pada aspek lain seperti menyokong keluarga yang anaknya akan melanjutkan studi maka ini tentu makin bagus.Â
Ini juga akan menjadi langkah nyata untuk mengembangkan potensi sumber daya manusia yang lebih berkualitas.Â
Kedua, perlu juga ditegaskan bahwa kumpul keluarga itu jangan dilihat sebagai beban balas jasa. Jika kemudian pikiran ini dipelihara maka ruang bagi masyarakat untuk berhutang terbuka lebar.Â
Ketiga, ada baiknya masyarakat NTT membiasakan diri untuk menabung agar tidak bergantung pada kumpul keluarga dan utang. Dengan begitu, stigma bahwa acara bisa menjadi sumber kemiskinan bisa dibantah.Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI